Lanskap pedesaan melindungi masyarakat dengan segala budaya dan kehidupannya. Salah lanskap perdesaan yang masih dipertahankan adalah sistem pertanian tradisional subak di Bali.
International Council for Monuments and Sites atau ICOMOS pada 18 April 1982 di Tunisia menetapkan tanggal 18 April sebagai International Day for Monuments and Sites. Prakarsa ini kemudian diadopsi oleh Sidang Umum UNESCO yang mengeluarkan resolusi di sidang ke-22 bulan November 1983 berupa rekomendasi kepada setiap negara anggota untuk menyelenggarakan “International Day for Monuments and Sites” yang kemudian disebut Hari Warisan Dunia.
KOMPAS–Lahan pertanian yang dikelola dengan sistem pengairan subak masih bisa ditemukan di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, Rabu (20/7). Subak merupakan salah satu tradisi pertanian di Bali yang diduga kuat merupakan peninggalan tradisi penutur Austronesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peringatan Hari Warisan Dunia 2019 mengangkat tema tema unik, yaitu “Lanskap Perdesaan”. Dengan tema ini, UNESCO mengajak dunia untuk meningkatkan kembali kesadaran mereka tentang pentingnya melindungi lanskap perdesaan.
ICOMOS mengartikan lanskap perdesaan sebagai wilayah daratan dan perairan yang terbentuk akibat interaksi manusia dengan alam yang dimanfaatkan untuk produksi makanan dan sumber daya alam terbarukan lainnya melalui usaha-usaha pertanian, perternakan, perikanan, kehutanan, perburuan, dan ekstraksi sumber daya lainnya. Lanskap perdesaan merupakan sumber daya multifungsi sekaligus suatu sistem budaya, sosial, lingkungan, dan ekonomi yang hidup, berkelanjutan, dan dinamis.
Selain berkelanjutan, lanskap perdesaan juga adaptif dan seringkali mencerminkan interaksi ribuan tahun antara manusia dan alam. Dengan demikian, lanskap perdesaan adalah wadah penyimpanan atas pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang berperan penting dalam era perubahan iklim seperti saat ini.
Kembali lirik subak
Sesuai dengan tema yang diusulkan ICOMOS, yaitu Lanskap Perdesaan, maka Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya akan memusatkan Perayaan Hari Warisan Dunia Tahun 2019 di Bali, salah satu provinsi di Indonesia yang masih mempertahankan lanskap perdesaan berupa sistem pertanian tradisional subak. Sejak 2012, subak telah ditetapkan UNESCO sebagai salah satu warisan dunia.
Tradisi subak yang sudah berlangsung sejak berabad-abad silam adalah wujud nyata warisan budaya di Pulau Bali. Tradisi subak dilandasi falsafah hidup Tri Hita Karana, yaitu menjaga keseimbangan hidup antara manusia, lingkungan alam, dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Falsafah Tri Hita Karana dipraktikkan dalam pola pengaturan pembagian air yang teratur dan seimbang. Di tengah-tengah persawahan, para petani Bali juga membangun pura-pura sebagai tempat persembahan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas kelimpahan rahmat alam yang mereka terima.
Menurut Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Bali, Prof I Wayan Windia, di seluruh Provinsi Bali secara keseluruhan masih ada 1.599 subak dengan total luas mencapai 70.000 hektar. Adapun, luasan subak yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia mencapai 19.519,9 hektar dengan kawasan penunjangnya 1.454,8 hektar.
Secara khusus, Komite Warisan Dunia UNESCO memilih empat klaster kawasan yang mewakili lanskap subak di Bali, meliputi Pura Ulun Danu batur dan Danau Batur di Kabupaten Bangli; lanskap subak dan pura subak di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan di Kabupaten Gianyar; kawasan Caturangga Batukaru di Kabupaten Tabanan dan Buleleng; serta Pura Taman Ayun di Kabupaten Badung.
KOMPAS–Hamparan sawah tampak membentang di kawasan Subak Pulagan, Kelurahan Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali, Kamis (22/9). Kawasan persawahan ini dikelola menggunakan sistem irigasi subak yang dikepalai oleh seorang pekaseh atau ketua subak. Anggota subak Pulagan mencapai 150 petani dengan total luas lahan 110 hektar. Subak Pulagan merupakan salah satu subak yang diakui UNESCO sebagai situs warisan dunia.
Subak terancam
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nadjamuddin Ramly mengatakan, peringatan Hari Warisan Dunia di Bali antara lain akan mengungkap persoalan kerapuhan kawasan/situs warisan dunia dan kerentanan lahan pertanian di masa sekarang. Menurut Najamuddin, fenomena alih fungsi lahan, perubahan lingkungan, dan desakan pembangunan menjadi masalah yang selalu dihadapi oleh warisan dunia, termasuk subak di Bali.
“Demi terjaganya subak, semua pihak harus mempertahankan kelestarian ekosistem di daerah-daerah resapan air, ketersediaan danau atau embung untuk menampung air, dan sebagainya. Dengan terjaminnya pasokan air, maka saluran-saluran irigasi di subak-subak akan tetap lancar. Begitu sudah ditetapkan sebagai warisan dunia, seluruh masyarakat pemilik lahan dan pemerintah daerah setempat semestinya taat untuk menjaga kawasan subak yang ada,” kata Najamuddin.
Sementara itu, menurut Wayan Windia, subak hanya bisa dilestarikan apabila petani sejahtera. Karena itu, seperti harapan UNESCO, semestinya kesejahteraan para petani subak juga diperhatikan.
Indonesia memiliki delapan warisan dunia yang diakui UNESCO, terdiri dari empat situs budaya dan empat situs alam. Empat situs budaya meliputi: Subak, Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Situs Manusia Purba Sangiran, sedangkan empat situs alam terdiri dari: Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Lorentz, dan hutan hujan tropis Sumatera. Dari seluruh warisan dunia tersebut, hutan hujan tropis Sumatera adalah warisan dunia yang masuk kategori terancam sejak delapan tahun terakhir.
Oleh ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 12 April 2019