Pesawat terbang jadi sarana transportasi yang mutlak diperlukan Indonesia sebagai negara kepulauan. Untuk mewujudkan kemandirian industri pesawat nasional, pemerintah harus konsisten memberikan dukungan dana dan regulasi.
Dalam dialog dengan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, Selasa, (19/7) malam, presiden ketiga RI BJ Habibie mengatakan, ”Di dunia, tak ada industri pesawat terbang yang tidak didukung negaranya. Airbus dan Boeing mendapat dukungan penuh dari Eropa dan Amerika Serikat.”
Kunjungan Menristek dan Dikti beserta panitia Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-21 di kediaman BJ Habibie, di Patra Kuningan, Jakarta, itu untuk mendengar pandangan Habibie tentang kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mendapat masukan terkait Hakteknas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Habibie, industri pesawat di Indonesia perlu dipertahankan sampai tahap kemandirian. Sebagai perintis industri pesawat nasional yang disebut IPTN, ia menilai itu tak mudah dan butuh waktu lama. Sejak 1986, dengan tenaga ahli dan teknisi 20 orang hingga 10 tahun kemudian menjadi 48.000 orang. Mereka dipekerjakan untuk memproduksi N-250 dan N-2130 yang diproyeksikan masuk ke pasaran pada Januari 2000 dan 2003. Setelah krisis ekonomi, terjadi pengurangan besar-besaran sehingga mereka lalu bekerja di industri pesawat terbang di AS, Kanada, Perancis, dan Jerman.
Setelah krisis, industri ini harus dibangun lagi dengan strategi baru. Selain PT Dirgantara Indonesia yang mulai bangkit, Habibie melalui industri pwsawat swasta merintis pesawat R-80. Untuk sampai tahap sertifikasi, tahap yang harus dilalui di antaranya desain awal, desain skala penuh, pembuatan prototipe, dan perlu dana 1 juta dollar AS.
Kajian menyeluruh
Nasir sependapat, industri pesawat yang sempat lesu harus dibangkitkan. Itu perlu kajian semua aspek agar diketahui level ketersediaan teknologi dan sumber daya manusia (SDM). ”Kita harus dorong industri nasional menyediakan lapangan kerja dan memberi nilai tambah,” ujarnya.
”Intinya, bagaimana pengembangan SDM. Dengan mengandalkan kemampuan SDM, bangsa ini bisa maju. Tak ada nilai tambah sumber daya alam yang tinggi tanpa SDM handal. Jika kemampuan SDM meningkat, Indonesia bisa maju,” ucapnya.
Menurut Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kemenristek Dikti Jumain Appe, kemajuan industri pesawat nasional bisa tercapai jika penerapan program konsisten. Perlu kebijakan tentang itu yang berkelanjutan.
”Selajn N-219, harus ada Keputusan Presiden untuk mendukung pengembangan R-80. Jadi, peraturan Presiden tentang pengembangan pesawat R-80 akan diterbitkan. Untuk N-219, ada jaminan keberlanjutan pengembangan ke tahap produksi, lalu didorong mendapat sertifikasi in ternasional. Jaminan pemerintah juga pada pendanaan sampai tahap produksi,” ucapnya.
Habibie mengatakan, jika tak ada jaringan internasional, itu sulit diwujudkan. Agar bisa terbang, harus mendapat sertifikasi Eropa dan AS yang diakui dunia. Jadi, meski punya sertifikasi nasional, harus punya hubungan ke jaringan itu. ”Kalau kebijakan berubah-ubah. Lain menteri lain kebijakan, industri pesawat di Indonesia sulit maju,”ujarnya.
Kebijakan nasional R-80 dibahas para menteri terkait. Riset, penyiapan SDM, dan laboratorium pengujian pesawat, perlu dana Rp 800 miliar. (YUN)
Sumber: Kompas, 22 Juli 2016