Peringatan dua abad letusan Gunung Tambora mengingatkan kondisi bentang alam Indonesia yang labil dan bisa memicu bencana global. Ini perlu dijadikan momentum meningkatkan kemampuan mitigasi bencana sehingga jumlah korban bisa dikurangi.
“Pelajaran terbesar dari letusan Tambora bahwa gunung api bisa berdampak global. Jadi, bukan hanya masyarakat sekitar yang terdampak gunung api, melainkan juga masyarakat di belahan dunia lain,” kata Kepala Badan Geologi Surono, dalam lokakarya peringatan 200 tahun letusan Tambora di Bima, Nusa Tenggara Barat, Senin (13/4).
Surono mengatakan, letusan Tambora tahun 1815 merupakan yang terbesar dalam sejarah modern dengan jumlah korban di Indonesia sekitar 91.000 jiwa. Letusan Krakatau pada 1883 menelan korban 36.000 jiwa. “Dari letusan Tambora dan Krakatau, jumlah korbannya sudah lebih dari separuh total letusan gunung api di dunia,” katanya.
Acara yang diadakan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)-Badan Geologi itu mengundang peneliti gunung api dari Indonesia, Jepang, dan Australia bertema “Pelajaran dari Letusan Tambora 1815 dan Pengembangan Kapasitas Institusi dan Masyarakat”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akira Takada dari Geological Survey of Japan (GSJ-AIST) Jepang menyebutkan, letusan-letusan besar yang membentuk kaldera di Indonesia terjadi dalam kurun relatif muda. Jepang juga punya letusan kaldera, yang termuda sekitar 10.000 tahun lalu. Di Indonesia, letusan kaldera termuda adalah Gunung Krakatau pada 1883, lalu Tambora pada 1815, dan Samalas di kompleks Rinjani pada abad ke-13.
Penelitian terbaru menunjukkan, letusan Samalas (1257) diduga lebih kuat daripada Tambora dan juga picu dampak global.
Kepala Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api PVMBG I Made Agung Nandaka mengatakan, hingga kini, gunung-gunung pembentuk kaldera di Indonesia itu masih aktif, termasuk Tambora. “Sesuai hukum alam, yang terjadi di masa lalu sangat mungkin terjadi lagi. Harus bersiap-siap,” ujarnya.
Adele Bear dari Geoscience Australia misalnya, mengungkap kelumpuhan global jika letusan Tambora berkekuatan seperti tahun 1815 terjadi lagi. Tiang letusan Tambora setinggi 43 kilometer dan abu letusannya menutupi sebagian besar atmosfer bisa menghentikan transportasi udara.
Surono mengatakan, setelah UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana disahkan, paradigma mitigasi bencana dan pengurangan risiko bencana seharusnya prioritas. “Jika dulu reaktif, sekarang harus lebih fokus untuk mitigasi,” katanya.
Menurut ahli gunung api dari Kyoto University, Masato Iguchi, pemantauan dan ketersediaan alat hanya satu bagian dari mitigasi bencana gunung api. Kesiapan manusia juga vital. (AIK)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 April 2015, di halaman 14 dengan judul “Dua Abad Tambora Momentum Perbaikan”.