Salah satu syarat berhasil diraihnya bonus demografi adalah masuknya perempuan ke pasar kerja. Namun, hal itu menjadi tantangan berat bagi Indonesia. Meski banyak perempuan memiliki pendidikan tinggi, banyak yang tidak memanfaatkan ilmu dan keterampilannya.
“Banyak perempuan berpendidikan tinggi memilih hanya menjadi ibu rumah tangga. Padahal, dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, mereka masih bisa bekerja di rumah,” kata mantan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Fasli Jalal di Jakarta, Senin (27/4).
Selain masuknya perempuan ke pasar kerja, syarat tercapainya bonus demografi adalah penduduk yang berkualitas, terbukanya lapangan kerja, dan meningkatnya tabungan keluarga. Pada tahun 2015, Indonesia sudah memasuki fase bonus demografi yang akan mencapai puncak pada tahun 2028-2031.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski demikian, sejumlah provinsi, seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur, sudah sejak lama menikmati fase bonus demografi karena limpahan penduduk usia produktif dari provinsi lain. Namun, sejumlah provinsi, seperti Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Barat, diperkirakan tidak akan pernah mendapatkan bonus demografi karena besarnya penduduk yang pergi ke luar daerah untuk merantau.
Menurut Fasli, bekerja di rumah bisa dilakukan dalam berbagai model, tidak hanya dengan berwirausaha. Terlebih lagi, saat ini, teknologi informasi sudah cukup maju sehingga komunikasi dalam bekerja bisa dilakukan tidak hanya dengan bertatap muka.
“Pola kerja alih daya (outsourcing) sebenarnya paling cocok untuk perempuan yang ingin fokus pada keluarga, tetapi tetap bisa mengaplikasikan pengetahuan,” katanya. Dengan pola itu, perempuan bisa menentukan hari apa saja dia bekerja dan berapa lama bekerja dalam sehari. Setelah itu, mereka tetap bisa mengurus keluarga.
Namun, upaya mendorong perempuan bekerja belum menjadi perhatian serius pemerintah. Pemerintah belum menyediakan infrastruktur memadai yang mendorong perempuan bekerja.
Tak punya pilihan
Kepala Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Seni dan Budaya Kongres Wanita Indonesia Hetifah Sjaifudian mengatakan, selama ini, banyak perempuan bekerja karena tidak memiliki pilihan. Banyak dari mereka bekerja karena membantu suami memenuhi penghasilan keluarga.
Di sisi lain, banyak kondisi pekerjaan yang tidak ramah terhadap perempuan. Banyak perempuan bekerja masih mengalami diskriminasi, mulai dari gaji yang lebih rendah, kesempatan jenjang karier yang lebih terbatas, atau izin cuti yang belum sesuai dengan karakteristik perempuan.
Sementara itu, banyak perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga karena pilihan untuk mendidik anak dan mengurus keluarga secara langsung. Mereka tidak mungkin menyerahkan pengasuhan anak kepada pihak lain, baik karena alasan keamanan, pembiayaan, maupun rendahnya kepercayaan.
“Sulit mendorong perempuan masuk pasar kerja jika pemerintah tidak memberikan insentif khusus bagi perempuan,” kata Hetifah.
Karena itu, sebelum mendorong perempuan masuk kerja, pemerintah perlu menyiapkan sejumlah infrastruktur yang mendukung. Menurut Fasli, pemerintah perlu membangun tempat-tempat penitipan anak yang bermutu dan terjangkau di dekat rumah tinggal, kantor, pasar, atau perusahaan sehingga perempuan merasa aman dan nyaman bekerja. Tempat penitipan anak itu harus dilengkapi sarana bermain yang memadai.
Selain itu, ruang menyusui yang dilengkapi lemari pendingin untuk menyimpan air susu ibu (ASI) juga perlu dibuat. Jasa pengiriman ASI juga perlu disediakan sehingga kebutuhan anak tetap terpenuhi.
M Zaid Wahyudi
Sumber: Kompas Siang | 27 April 2015