Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyiapkan sistem penamaan domain bernama DNS Bersama. Hal itu bertujuan membantu Kementerian Komunikasi dan Informatika mempercepat penyebaran informasi alamat laman yang harus diblokir. Sistem itu ditargetkan siap pada Desember.
Selama ini sejumlah penyedia jasa internet terlambat atau tak memblokir laman yang diminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). “Salah satu alasannya, mereka tak tahu karena terlambat mengetahui informasi itu atau surat edaran tak sampai ke mereka,” ucap Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza, di Jakarta, Senin (7/11), di sela rilis hasil Survei Internet APJII 2016.
Kondisi itu dipicu manualnya sistem penyampaian informasi situs yang harus diblokir, yakni Kementerian Kominfo mengirim pemberitahuan ke penyedia jasa akses internet antara lain lewat surat edaran dan surat elektronik. Jadi, APJII mengembangkan DNS Bersama (Bersih-Selektif-Aman) untuk otomatisasi sistem penyampaian informasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jamalul menjelaskan, DNS ialah sistem penyimpan informasi nama host atau domain dalam bentuk basis data tersebar di jaringan komputer. Sistem itu menerjemahkan nama-nama host ke alamat IP atau sebaliknya.
Pihak APJII akan menyediakan dasbor (dashboard) bagi Kementerian Kominfo. Jika ada konten negatif yang perlu diblokir, mereka tinggal memasukkannya ke dalam dasbor dan informasi lalu masuk ke sistem penerima APJII secara otomatis. Selanjutnya, sistem menyebarkan ke sistem penerima para anggota APJII yang kebanyakan merupakan penyedia jasa internet.
Penyediaan DNS Bersama juga untuk membantu penyedia jasa internet. “Jika tak mengindahkan permintaan memblokir situs, penyedia bakal mendapat surat peringatan dan terancam dicabut izinnya,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal APJII Henri Kasyfi Soemartono menambahkan, berdasarkan Survei Internet APJII 2016, ada 101,3 juta pengguna atau 76,4 persen dari 132,7 juta pengguna internet di Indonesia yang masih memandang berinternet tak aman bagi anak. Sekitar 69,2 persen pengguna bahkan menilai, pemblokiran situs tertentu oleh pemerintah selama ini belum cukup.
Ada 24,4 juta pengguna atau 18,4 persen berusia 10-24 tahun. Itu terbanyak ketiga setelah kelompok pengguna internet berusia 35-44 tahun yang berjumlah 38,7 juta jiwa atau 29,2 persen dan kelompok 25-34 tahun (32,3 juta jiwa atau 24,4 persen).
Penyajian informasi
Rilis kemarin untuk memperbarui penyajian informasi dalam rilis survei yang sama pada 24 Oktober sebagai tanggapan terhadap berbagai masukan kepada APJII. Salah satunya terkait keraguan metode survei kerja sama APJII dengan Lembaga Polling Indonesia (LPI).
Peneliti LPI, Yonda Nurtakwa, menyebut, salah satu keraguan dari publik ialah terkait jumlah pegawai negeri sipil pengguna internet. Menurut survei, jumlahnya 14 juta orang. Padahal, total PNS berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi hanya 7 juta orang. Itu karena ada responden pegawai honorer dan pekerja harian lepas yang menyebutkan diri sebagai PNS kepada pengumpul data.
Yonda menjamin data yang ada dalam rilis pertama masih sahih sesuai kaidah ilmiah survei. Meski demikian, dalam pembaruan penyajian survei, tak ada lagi klasifikasi PNS karena dilebur dalam klasifikasi pekerja atau wiraswasta. Alasannya, agar bisa dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya tahun 2014.
Survei 2016 menyebut 62 persen pengguna internet terdiri dari 82,2 juta jiwa sebagai pekerja atau wiraswasta. Adapun 16,6 persen atau 22 juta pengguna adalah ibu rumah tangga dan 7,8 persen atau 10,3 juta pengguna ialah mahasiswa. (JOG)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 November 2016, di halaman 14 dengan judul “DNS Bersama Tekan Jumlah Konten Negatif”.