Tidak sembarangan orang bisa menerbangkan “drone”. Kehadiran “drone” berukuran mini untuk merekam aktivitas keseharian yang bisa dipergunakan secara mudah oleh banyak orang, bahkan oleh mereka yang belum bisa menerbangkan “drone”, tentu menarik. Apalagi, dengan harga jual yang tidak jauh berbeda dengan harga sebuah ponsel.
Datanglah Spark. Spark adalah terobosan dari DJI untuk lebih “memassalkan” drone bagi semua. Produsen drone asal China itu selama ini lebih banyak menawarkan produk untuk kalangan pehobi atau profesional lewat seri Phantom ataupun Inspire dengan harga minimal Rp 15 juta.
Kamera yang dimiliki Spark memang kalah dalam hal resolusi video dan gambar dibandingkan seri lainnya. Namun, satu hal yang pasti, drone seharga Rp 8 juta ini tetap mewarisi keunggulan teknologi dari produk DJI lainnya. Ditambah juga teknologi baru yang dipersiapkan agar quadcopter mini ini bisa digunakan banyak orang dengan mudah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kompas berkesempatan untuk mengoperasikan Spark dan menangkap rasa percaya diri dari DJI untuk menjadikan drone mini ini sebagai produk teknologi yang bakal mudah dijumpai di masa mendatang. Meski demikian, ada beberapa catatan yang harus diberikan untuk Spark.
Satu hal menarik dari Spark saat mengeluarkan dari bungkusnya adalah dimensinya yang kecil, muat dalam genggaman tangan. Meski batang penyangga baling-balingnya tak bisa dilipat seperti seri Mavic Pro, ukurannya cukup kecil untuk bisa disimpan di dalam tas punggung.
Yang bisa dilakukan Spark tapi belum bisa dilakukan seri drone lain dari DJI adalah lepas landas dari telapak tangan pengguna. Tak berhenti sampai di sana, drone akan mengambang di depan penggunanya seperti asisten yang menanti perintah selanjutnya.
“Gesture control”
Pengguna yang ingin mengoperasikannya dalam jarak dekat dapat menjulurkan telapak tangan mereka dan gerakannya akan diikuti oleh Spark (gesture control). Beberapa perintah yang dihasilkan dari gerakan tangan khusus, seperti bingkai sepasang jempol dan telunjuk untuk mengambil gambar dan kibasan tangan dengan cepat akan membuat Spark terbang lebih tinggi.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–Memberi perintah kepada drone melalui gerakan telapak tangan merupakan fitur yang diperkenalkan oleh DJI untuk produk yang menyasar pasar kebanyakan, yakni Spark. Seperti saat diluncurkan Rabu (7/6) lalu, pengguna bisa mengoperasikan drone mulai terbang landas, navigasi dalam jarak dekat, mengambil gambar, dan kembali ke telapak tangan tanpa harus menggunakan pengendali jarak jauh.
Hanya dengan gerakan tangan, pengguna bisa memberi perintah kepada Spark untuk terbang lepas landas, bergerak dalam jarak dekat, mengambil gambar, lalu memintanya kembali hingga mendarat pulang ke telapak tangan. Untuk saat ini, baru foto yang bisa ditangkap oleh Spark menggunakan gerakan tangan dengan resolusi maksimal kameranya, yakni 12 megapiksel.
Fitur pengendali dengan gerakan tangan ini memungkinkan penerbang mengoperasikan Spark tanpa harus bergantung pada pengendali jarak jauh atau ponsel pintar. Selain memudahkan mereka yang ingin menggunakan drone dalam waktu singkat, fitur ini juga memudahkan pengguna awam untuk mencoba tanpa harus belajar menggunakan pengendali yang tidak mudah dikuasai.
Namun, kelebihan Spark justru terungkap begitu pengendali digunakan karena fitur penerbangan pintar yang memungkinkan pengambilan gambar dengan sudut unik bisa diakses. Ada empat manuver bisa dipilih, seperti dronie, yakni terbang menjauh dari pengguna untuk menunjukkan lokasi di sekelilingnya, mengitari pengguna; helix untuk gerakan berbentuk spiral; dan rocket dengan gerakan vertikal dari bawah ke atas.
Teknologi navigasi yang dimiliki Spark diwarisi dari seri yang lebih mahal, seperti deteksi obyek, sehingga tidak perlu khawatir menabrak saat terbang. Meski ukurannya kecil, Spark mampu menepis keraguan soal stabilitas di udara hingga pengambilan gambar berlangsung halus. Sambil terbang, video dengan resolusi maksimal 1.920 x 1.080 piksel bisa diunduh langsung ke ponsel.
Mode sport bisa diakses dari pengendali jarak jauh membuat pesawat terbang tanpa awak (UAV) mini ini bergerak kencang dan bisa dinikmati oleh penyuka ketegangan atau memanfaatkan perangkat pemantau jarak jauh, seperti Goggles. Konsekuensinya adalah risiko yang meningkat karena fitur deteksi obyek tak aktif dalam mode ini.
Kapasitas baterai
Spark pun tidak lepas dari berbagai catatan yang wajib diketahui pemiliknya agar bisa mengantisipasi. Paling utama adalah kapasitas baterai yang hanya memberi waktu terbang sekitar 10 menit. Dengan demikian, pengguna harus segera menerbangkan, mengambil gambar, dan segera diturunkan untuk menghemat tenaga.
Ukurannya yang kecil membuat Spark mudah dibawa-bawa dalam perjalanan ke luar daerah ataupun ke luar negeri. Namun, akan mustahil jika hanya mengandalkan satu unit baterai sehingga harus menyediakan beberapa unit cadangan apabila berada di luar ruangan yang jauh dari colokan listrik.
Spesifikasi Spark membuat produk ini hanya terbatas untuk konsumen biasa. Pengguna profesional yang membutuhkan gambar ataupun video berkualitas lebih baik tak bisa memanfaatkan ukurannya yang kecil, terlebih karena keterbatasan kapasitas baterainya.
Penggunaan Spark yang bisa dioperasikan dari telapak tangan mengharuskan penggunanya memasang pelindung baling-baling.
Untuk memasarkan Spark di Indonesia, DJI menggandeng Erajaya Swasembada selaku pemilik jaringan ritel dan distribusi ponsel serta produk internet of things di Indonesia. Kerja sama ini diluncurkan pada awal Juni sambil meresmikan sesi pemesanan sebelum barang dihadirkan minggu terakhir.
“Kami mendukung distribusi dan ritel dari produk ini. Selain menjual produk, juga ada komponen, termasuk mengupayakan kerja sama untuk layanan purnajual, seperti perbaikan,” kata Hasan Aula, CEO PT Erajaya Swasembada, Rabu (7/6).
Direktur Komunikasi DJI Kevin On menyebut, kehadiran Spark tidak berarti fokus produk DJI selanjutnya akan bergeser ke pasar yang lebih umum. Mereka tetap memiliki divisi yang bekerja membangun rangkaian produk untuk segmen umum, profesional, hingga keperluan khusus, seperti pertanian.
Spark bukanlah drone paling murah harganya, tetapi konsumen bisa diyakinkan dengan fitur dan teknologi yang sudah teruji. Harga Rp 8 juta untuk Spark adalah langkah awal yang bisa membuat drone lebih mudah dijangkau oleh konsumen baru.
Di sisi lain, jika drone menjadi produk massal, ada isu yang harus diselesaikan segera. Munculnya penerbang-penerbang baru dalam jumlah besar yang tidak mengetahui etika menggunakan drone, zona larangan terbang, atau mematuhi aturan penerbangan akan memunculkan masalah. Sosialisasi mengenai aturan hukum menerbangkan drone harus digencarkan.–DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2017, di halaman 25 dengan judul “Mendorong “Drone” untuk Semua”.