Keberhasilan uji komersial katalis “merah-putih” di Kilang Pertamina Dumai pada Kamis, 15/5/2019 merupakan salah satu tonggak penting bagi program Inovasi Perguruan Tinggi di Industri. Program ini untuk penguatan inovasi dan pengembangan produk katalis karya anak bangsa.
Program pengembangan itu, ujar Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Jumain Appe, Senin (21/5/2019), mengacu pada peta arah pengembangan (roadmap) teaching industry hingga tahun 2026. Dalam hal ini pabrik-katalis pendidikan akan diwujudkan dalam kurun waktu jangka pendek (2017-2019), jangka menengah (2020-2022), hingga jangka panjang (2024-2026).
KOMPAS/YUNI IKAWATI–Kilang Pertamina Dumai
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kegiatan jangka pendek berfokus pada pembangunan pabrik-katalis pendidikan dan percepatan formulasi katalis-katalis. Pada jangka menengah akan dibangun pabrik katalis nasional pada jangka menengah. Adapun sasaran jangka panjang menghasilkan teknologi proses katalis yang baru. Pengembagan industri hingga teknologi katalis ini akan memperhatikan aspek pendidikan, penciptaan inovasi, dan penerapan industri.
Fokus pada tahun pertama adalah pembangunan pabrik-katalis untuk pendidikan atau Teaching Industry yang ditujukan untuk mengakselerasikan kegiatan hilirisasi hasil penelitian dalam bidang teknik reaksi kimia dan katalisis. “Pabrik-katalis untuk pendidikan ini memiliki kedudukan strategis dalam menyelaraskan usaha komersialisasi hasil penelitian dalam bidang teknik reaksi kimia dan katalisis,” kata Jumain.
Riset lanjutan
Subagjo bersama timnya di Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis ITB serta para peneliti dari Rearch and Technology Center Pertamina berhasil mengembangkan katalis “merah putih” sejak tahun 2004. Sejauh ini Subagjo dan rekannya telah menghasilkan delapan jenis katalis untuk proses pengolahan minyak dan gas bumi, serta minyak nabati.
Sebagai pakar katalis dari Program Studi Teknik Kimia ITB, Subagjo mengemukakan rencana selanjutnya dalam pengembangan material proses ini. “Kami tengah mengembangkan katalis untuk mengkonversi gas sintesis, campuran CO dan H2, menjadi BBM,” ujarnya.
Saat ini ia bersama timnya telah mendapatkan katalis dengan kinerja yang baik, yaitu katalis berbasis logam besi dengan berbagai unsur sebagai promoter, yaitu Seng (Zn), Tembaga (Cu) dan Kalium (K). Proses ini ini sangat penting untuk segera diterapkan, karena Indonesia masih memiliki kelimpahan gas bumi, batubara, dan terlebih lagi biomassa yang dapat dikonversi menjadi gas sintesis.
Selain itu, Subagjo dan timnya di Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan KatalisisITB tengah mengembangkan empat jenis katalis lain, yaitu katalis untuk isomerisasi normal-paraffin menjadi iso-parafin, katalis untuk hidrogenasi heksanal menjadi heksanol, dua jenis katalis untuk menghasilkan H2 yang masing-masing dibuat dengan “mereformasi” kukus metanol dan kukus gliserol.
Penelitian, pengembangan, hingga penerapan katalis karya anak bangsa, lanjut Subagjo memerlukan dukungan dari semua pihak baik pemerintah, pihak swasta, perguruan tinggi, praktisi dan masyarakat. Upaya ini telah dilakukan melalui pembentukan Masyarakat Katalisis Indonesia (MKI) pada 2004, sebagai tempat berhimpunnya pakar-pakar katalis dan pihak terkait untuk mengembangkan teknologi katalisis di Indonesia.
Selain menurutnya diperlukan pula pembangunan Pusat Rekayasa Reaksi Kimia dan Katalisis. Suatu wadah untuk melaksanakan kegiatan penelitian dasar hingga terapan untuk pengembangan katalis dan teknologi proses. Pusat Rekayasa ini dapat menjadi episentrum bagi pengembangan aspek komersialisasi dan kerekayasaan serta pengelolaan pengetahuan tentang teknik reaksi kimia dan katalisis.
“Di pusat ini dapat dijalin kerjasama pengembangan teknologi reaksi kimia dan katalisis lebih lanjut sehingga pada gilirannya teknologi proses merah-putih akan menjadi tuan rumah di negeri ini,” harapnya.
Sementara itu Menristekdikti M Nasir akan melakukan kunjungan ke Kilang Pertamina Dumai pekan lalu juga mengharapkan para pihak pengembang katalis terus melakukan optimasi performa katalis hingga melahirkan standar-standar baru. Penerapan katalis perlu diarahkan untuk produksi Bahan Bakar Nabati sehingga bisa kompetitif dibandingkan dengan BBM,” ujarnya.–YUNI IKAWATI
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 22 Mei 2019