Disrupsi Teknologi, Ekspektasi Publik, Kredibilitas Kebijakan

- Editor

Rabu, 12 Desember 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dalam bahasa ilmu ekonomi, istilah disrupsi teknologi atau Revolusi Industri 4.0, yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi, komputasi, robot pintar, dan rekayasa genetika, dapat diterjemahkan sebagai perubahan atau kemajuan teknologi yang dapat menimbulkan perubahan tingkah laku secara luas dalam aktivitas ekonomi, organisasi industri, dan proses pembuatan kebijakan publik.

Revolusi ini sebenarnya adalah pengulangan dari revolusi-revolusi industri sebelumnya. Pada revolusi industri pertama, penemuan mesin uap menggeser porsi pemakaian tenaga manusia dan hewan ke tenaga mesin.

Revolusi industri yang kedua ditandai dengan penemuan energi listrik dan mesin dengan pembakaran dalam (internal combustion engine) yang berbeda dengan mesin uap (external combustion engine). Penemuan ini mengubah wajah transportasi dan komunikasi dengan munculnya kendaraan otomotif, pesawat terbang, dan telepon.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Revolusi industri ketiga ditandai dengan kemunculan teknologi digital dan internet yang penggunaannya memicu reorganisasi pengelolaan industri yang mengancam kelangsungan industri/bisnis konvensional dalam Revolusi Industri 4.0

Pasar yang hilang dan kebijakan publik
Dalam ilmu aljabar ada aturan sederhana. Jika terdapat, misalnya, lima bilangan yang tak diketahui, dibutuhkan lima persamaan (atau lebih) untuk mencari nilai dari setiap variabel yang tak diketahui itu (fully identified). Dalam praktik kebijakan publik, aturan ini sering disebut sebagai Tinbergen Rule (1952). Jika, misalnya, hanya terdapat empat persamaan (underidentified), satu variabel harus ditentukan secara bebas di luar sistem (exogenous) secara arbiter.

Pengertian ini digunakan oleh Dornbusch (1976) untuk menggambarkan fluktuasi nilai mata uang di luar ”fundamental”-nya dengan model Overshooting-nya. Model ini menjelaskan bahwa nilai tukar mata uang dapat mengembara ke mana-mana sebelum bertengger pada keseimbangan sejatinya.

Yang menjadi masalah adalah sulit mengetahui nilai keseimbangan yang sebenarnya karena baik permintaan maupun pasokan mata uang devisa kedua-duanya mengandung komponen ekspektasi. Nilai mata uang akan meloncat terdepresiasi untuk kemudian kembali menguat, seperti pergerakan rupiah dalam delapan bulan terakhir yang menunjukkan gambaran dari fenomena ini.

Gejala loncatan (overshooting) yang sering diributkan orang hanya dengan melihat nilai kurs nominal sebagai krisis walaupun pergerakan kurs dari Rp 2.500 ke Rp 15.000 per dollar AS tahun 1998 jelas berbeda dengan pergerakan dari Rp 13.400 ke Rp 15.200 per dollar AS pada Oktober dan November lalu.

Hilangnya satu persamaan dalam model overshooting sehingga diperlukan solusi arbiter dari satu variabel endogen yang dieksogenkan di atas menyiratkan adanya masalah pasar yang hilang. Kurs rupiah dalam negeri selalu menjadi bulan-bulanan pasar non-deliverable forward (NDF) di Singapura.

NDF merupakan alat lindung (hedging) bagi pebisnis terhadap fluktuasi nilai tukar. Sebagai proxy nilai tukar di masa depan, NDF di Singapura memengaruhi nilai kurs sekarang (spot) di dalam negeri melalui jalur ekspektasi.

Tindakan Bank Indonesia memperkenalkan domestic NDF (DNDF) dengan rentangan (spread) yang lebih rendah dari 50 rupiah sangat tepat dalam mengatasi ”missing market” sehingga nilai future rupiah tidak lagi seperti bola liar.

Kelemahan struktur ekonomi Indonesia di sektor jasa dan di Industri penghasil barang masukan (input) dan setengah jadi untuk industri hilir juga dapat dianalogikan dengan masalah pasar yang hilang. Pasar yang hilang ini diisi oleh arus modal masuk jangka pendek yang naik turun dan keluar masuknya memengaruhi nilai tukar rupiah.

Pelajaran yang dapat diperoleh dari uraian di atas adalah perlu jangkar yang kredibel untuk mengatasi pasar yang hilang. Mengatasi masalah pasar yang hilang dapat juga dilakukan dengan membuat kebijakan yang dianggap kredibel (disepakati) oleh berbagai kelompok kepentingan (time consistency).

Problem time consistency diperkenalkan pertama kali oleh Kydlan dan Presscot (1977) dan memenangkan hadiah Nobel pada 2004. Setiap kebijakan perencanaan dan implementasi kebijakan merupakan interaksi dari berbagai kelompok kepentingan, khususnya pemerintah dan pihak yang berpotensi terkena dampak kebijakan. Dalam bahasa teori permainan (Game Theory) keseimbangan ditentukan oleh pertemuan fungsi reaksi semua pemain.

Masalah time inconsistency terjadi jika ada perubahan preferensi dari salah satu atau semua pihak dalam kelompok kepentingan dalam bagian manapun dari siklus kebijakan, mulai dari perencanaan, deklarasi, implementasi, pengawasan, hingga evaluasi.

Kasus Daftar Negatif Investasi (DNI) menunjukkan bahwa diperlukan modifikasi atas suatu kebijakan jika ada pihak yang merasa waktunya tidak tepat atau tidak sepakat. Kasus ini menunjukkan bahwa umpan balik (feedback loop) bisa saja terjadi di bagian manapun dari suatu proses pembuatan kebijakan.

Keseimbangan ganda
Pada 1960-an konsep ekspektasi rasional diperkenalkan oleh John Muth (1961). Setelah diperkaya oleh Robert Lucas di tahun 1972 (menang Nobel pada 1995), hipotesa ekspektasi rasional menjadi saingan konsep ekspektasi adaptif yang pada saat itu masih menjadi arus utama literatur ilmu ekonomi. Konsep ekspektasi rasional membayangkan bahwa pelaku ekonomi sebagai suatu komputer berjalan yang dapat menggunakan semua informasi yang ada untuk melihat ke depan.

Tak seperti ekspektasi adaptif yang hanya melihat informasi ke belakang dari variabel yang sedang dicari ekspektasinya, ekspektasi rasional yang melihat ke depan bertindak seperti formula matematika untuk menggambarkan perilaku masyarakat di ”masa depan.”

Pada saat itu, sulit membayangkan pelaku ekonomi dapat melakukan disrupsi ekonomi semata-mata akibat sesuatu yang belum terjadi, yang masih ada di benaknya. Namun, sekarang, dengan kemajuan teknologi komunikasi di mana praktis hampir semua orang memegang komputer kecil di tangannya yang telanjur salah kaprah disebut sebagai telepon genggam, realisasi ekspektasi rasional yang dipostulasikan para teoretisi pada 1980-an menjadi sesuatu yang lumrah.

Berlainan dengan model dengan persamaan yang hilang di atas, yang terjadi sekarang adalah terlalu banyak informasi sehingga harus disaring mana yang benar-benar relevan. Informasi publik yang diterima dianalisis secara pribadi dengan reaksi yang berbeda-beda sesuai kemampuannya menyerap dan mengolah informasi.

Dalam bahasa aljabar sederhana, jumlah persamaan yang ada lebih banyak (overidentified atau redundancy) dari variabel-variabel yang harus dicari nilainya. Kondisi ini disebut multiple equilibria atau keseimbangan ganda yang tecermin dari kebiasaan beberapa institusi, misalnya untuk mengeluarkan proyeksi pertumbuhan dalam rentang (range) yang lebar.

Terlalu banyak informasi dapat menimbulkan kebingungan (multiple equilibria) seperti yang terjadi di pasar saham Amerika Serikat (AS) pada Oktober dan November 2018. Biasanya ada hubungan terbalik antara tingkat bunga di AS dan harga saham, tetapi anomali juga terjadi walaupun tingkat bunga sudah dinaikkan, terjadi keanehan di pasar saham AS dengan kenaikan indeks Dow Jones Industrial (DJI). Fenomena ini terjadi karena euforia bahwa AS akan kembali menjadi kekuatan utama industri manufaktur dunia setelah perjanjian dagang AS, Meksiko, dan Kanada (USMCA) yang baru ditandatangani.

Kenaikan tingkat bunga bank sentral AS (The Fed) berikutnya memicu kenaikan bunga kredit pemilikan rumah (mortgage) sehingga mencapai yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir di AS. Hal ini sesuai dengan prediksi teori ekonomi. Yang menarik kemudian adalah dua kasus yang bertolak belakang ini menimbulkan kebingungan investor di AS soal hubungan antara tingkat bunga dan harga saham.

Seperti yang diprediksi oleh hipotesis ekspektasi rasional, para investor melihat ke depan (forward looking), tetapi dengan begitu banyaknya informasi yang diperoleh melalui gadget elektroniknya, mereka bingung apakah harus menjual, membeli, atau menahan sahamnya. Tingkat bunga yang tinggi merupakan pertanda bahwa dengan makin tingginya biaya dana yang akan berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Sebagai tambahan, walaupun data-data makro, seperti tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi, menunjukkan perekonomian dalam keadaan baik, tetap saja mereka merasa tidak nyaman. Selain tingkat bunga mortgage yang dianggap terlalu tinggi, sebagian investor merasa tidak nyaman dengan bagaimana pemerintahan dijalankan.

Kebingungan ini direkam oleh beberapa berita utama media daring yang mempertanyakan apakah akan segera terjadi resesi dengan tingkat bunga mortgage setinggi itu. Seperti diketahui, sektor perumahan dengan forward dan backward linkage yang luas merupakan penanda awal ke mana perekonomian akan bergerak.

Dipelopori oleh kejatuhan harga saham-saham teknologi, kekhawatiran ini menjadi kenyataan ketika pada 10 Oktober 2018, indeks rata-rata DJI terpuruk lebih dari 800 poin dalam satu hari. Kejatuhan harga-harga saham berulang pada 23 Oktober ketika DJI anjlok lagi 500 poin.

Tampaknya para investor melakukan penyeimbangan (balancing) portofolio mereka dari yang tadinya berbondong ke AS akibat prospek eskalasi perang dagang antara AS dan China mulai berbalik kembali ke negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.

Kemenangan Partai Demokrat AS merebut majelis rendah (The House) dalam pemilihan sela di awal November 2018 yang dinterpretasikan sebagai berita buruk oleh pemodal investasi portofolio AS juga turut memperkuat kecenderungan ini.

Hal yang menarik kemudian adalah berita buruk di satu negara dapat menjadi berita baik di negara-negara lain. Dengan berbagai faktor-faktor dalam negeri, seperti kenaikan tingkat bunga acuan BI yang mencoba mendahului ekspektasi masyarakat (moving ahead of the curve), pertumbuhan dan inflasi yang terjaga membuat rupiah ikut terkena imbas positif. Rupiah menguat dari sekitar Rp 15.200 di pertengahan Oktober 2018 menjadi sekitar Rp 14.300 per dollar AS akhir November.

Rangkaian kenaikan tingkat bunga yang direncanakan The Fed dan jatuhnya indeks harga saham AS pada Oktober-November 2018 membuat beberapa institusi keuangan di AS memprediksikan bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan melambat secara signifikan dari 3,5 persen pada 2018 menjadi 1,75 persen pada 2019 yang tentunya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini mendapatkan perhatian dari Presiden Trump yang berkepentingan untuk perekonomian AS mengalami ekspansi selama mungkin.

Trump kemudian mengkritik pimpinan The Fed secara terbuka melalui Twitter, menyatakan bahwa sebagai presiden dia menyesal mengangkat seseorang seperti Powell yang terbukti ”senang” meningkatkan tingkat bunga.

Pernyataan ini dianggap cukup kredibel karena Trump tercatat sebagai presiden yang sering mengganti bawahannya yang dianggap tidak sejalan dengannya. UU Bank Sentral memang membuka peluang seorang presiden untuk mengganti gubernur bank sentral dengan ”alasan tertentu.”

Hal ini tentunya mengusik tradisi independensi bank sentral AS. Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah pada akhir November 2018 Powell memberikan sinyal bahwa rangkaian kenaikan tingkat bunga di AS akan segera berakhir.

Pasar saham AS memberikan respons positif, indeks DJI meningkat 617 poin sehari setelah pernyataan Powell sehingga dapat menghapus penurunan poin sebelumnya. Negara-negara lain termasuk emerging markets ikut terkena sentimen positif. Tak seperti kasus sebelumnya, modal tetap mengalir ke bagian dunia yang lain karena investor mulai melakukan penyeimbangan portofolionya kembali.

Pembelajaran yang dapat diperoleh di sini adalah kemajuan teknologi informasi yang membuat para investor di AS kebingungan akibat ketidakpastian yang ditimbulkan oleh rencana rangkaian kenaikan tingkat bunga The Fed dilawan dengan suatu pernyataan (announcement atau statement) dengan menggunakan teknologi hasil disrupsi teknologi juga. Komunikasi publik seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Kredibilitas kebijakan dan modal dasar (”initial condition”)
Dunia yang dibayangkan oleh hipotesis ekspektasi rasional 40 tahun lalu sudah tiba di sini dengan bantuan gadget elektronik. Lucas (1972) mengingatkan bahwa dengan banyaknya informasi yang ada sekarang membuat ekspektasi rasional dapat menciptakan situasi policy irrelevance di mana suatu kebijakan menjadi tidak efektif. Dalam kasus yang lebih kini, terlalu banyak informasi dapat menimbulkan kebingungan yang berpotensi menciptakan ekuilibrium ganda yang dapat membuat suatu kebijakan juga menjadi tidak efektif.

Untuk itu, pemerintah harus dapat bergerak mendahului ekspektasi (moving ahead of the curve atau expectation realignment) dengan ekspektasi dari berbagai kelompok kepentingan sudah selaras (time consistency). Pemerintah ataupun sektor swasta memerlukan unit-unit pemantau yang punya kemampuan analitis data menggunakan data real time yang tersedia dalam bentuk big data.

Tujuannya, untuk dapat mendeteksi benih-benih ekspektasi yang berkembang di masyarakat, jika diperlukan melakukan tindakan awal (preemptive) memberi informasi untuk menuntun ekspektasi dan membedakan antara yang benar dan kabar burung (hoaks). Unit-unit seperti ini harus diisi oleh sumber daya manusia (SDM) yang punya daya nalar kuantitatif (matematika), verbal, inovatif, memecahkan masalah, melihat ke depan, dan mampu bekerja sama dalam kelompok. SDM seperti inilah yang harus dihasilkan oleh sistem pendidikan nasional.

Konsep reputasi dan kredilibitas kebijakan (Barro dan Gordon, 1983) memperluas konsep ekspektasi rasional ke arah pentingnya menentukan kebijakan yang kredibel. Sebagai ilustrasi, dalam contoh penguatan struktur neraca berjalan, misalnya, kebijakan membuat tujuan wisata baru di luar Bali harus dikaitkan dengan modal dasar yang sudah baik.

Neraca perjalanan, misalnya, pada 2017 mencapai surplus sebesar 4,2 miliar dollar AS. Salah satu implementasi awal adalah peluncuran kereta api loop Joglosemarkerto yang rutenya mengelilingi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta melintasi berbagai tujuan wisata yang menarik yang merupakan kombinasi dari berbagai aspek, seperti budaya, kuliner, sejarah, dan pemandangan alam. Contoh konkret seperti ini akan ikut memperkuat kredibilitas suatu target jangka panjang menghasilkan devisa dari pariwisata.

Seperti di negara-negara maju, pariwisata inklusif merupakan usaha untuk meningkatkan taraf hidup dari masyarakat sekitar. Untuk itu, jalan-jalan tol yang sudah diresmikan perlu dilengkapi dengan peta (cetak dan elektronik) dan petunjuk jalan menuju tujuan wisata, kuliner, dan jalur dengan pemandangan indah untuk scenic driving.

Sebagai contoh jalur alternatif jalan bekas perkebunan zaman kolonial di sebelah timur Gunung Merbabu menuju Boyolali dan sekitarnya memberikan pemandangan indah yang belum diketahui khalayak ramai.

Dalam contoh berikutnya, pendapatan sekunder dalam neraca jasa merupakan modal dasar baik untuk memperkuat neraca berjalan. Pada 2017 pendapatan sekunder mencatat surplus bersih sebesar 4,5 miliar dollar AS. Pendapatan sekunder ini merupakan pendapatan sekunder dari tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, termasuk pekerja migran.

Untuk meningkatkan surplus, Indonesia perlu mengubah struktur TKI menuju ke arah tenaga vokasi, seperti perawat, juru las, juru masak, dan awak kapal. Kredibilitas dari kebijakan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia dengan meningkatkan kualitas pendidikan akan lebih kredibel apabila dikaitkan dengan usaha memperkuat neraca jasa.

Dalam kasus lain di negara-negara tetangga, seperti di Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan, peringkat internasional perguruan tinggi digunakan untuk mengharumkan nama negara dan bangsa, meningkatkan produktivitas nasional, dan menghasilkan devisa melalui penerimaan mahasiswa internasional.

Akreditasi dan jaminan kualitas pembelajaran (assurance of learning), riset dasar dan terapan, jalur karier yang transparan, kolaborasi dengan universitas-universitas bereputasi, penggunaan teknologi informasi dalam perencanaan dan pembelajaran, kurikulum yang relevan dengan dunia kerja dan otonomi merupakan kunci keberhasilan kebijakan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang kredibel.

Ari Kuncoro Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, 11 Desember 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Apa Itu Big Data yang Didebatkan Luhut Vs Mahasiswa
Gelar Sarjana
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 13 April 2022 - 21:15 WIB

Apa Itu Big Data yang Didebatkan Luhut Vs Mahasiswa

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB