Prioritas Kerja Sama Juga pada Pangan, Energi, dan Kesehatan
Sebagai negara kepulauan luas, moda transportasi efisien di laut dan udara menjadi tantangan besar Indonesia. Demi meningkatkan konektivitas, mengatasi ketimpangan harga komoditas, serta ekonomi kawasan timur dan barat, sektor kedirgantaraan patut menjadi fokus, selain pangan.
“Untuk menghubungkan warga dari pulau kecil ke pulau lain, butuh transportasi seperti apa? Apakah udara, apakah laut, mana paling efisien? Penting ada penelitian di bidang itu. Di bidang dirgantara, misalnya, sebenarnya pesawat jenis apa yang paling pas untuk transportasi antarpulau?” kata Presiden Joko Widodo dalam National Innovation Forum 2015 di Graha Widya Bhakti, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Senin (13/4). Acara itu dihadiri para menteri Kabinet Kerja dan Plt Gubernur Banten Rano Karno.
Konektivitas perlu diteliti detail, di antaranya untuk mengatasi kesenjangan harga. Harga semen di Jawa sekitar Rp 60.000 per zak, sedangkan di Papua bisa Rp 2,5 juta per zak. “Riset harus mengatasi ini,” kata Jokowi.
Dalam pemaparan tentang penerapan teknologi kedirgantaraan, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (Persero) Budi Santoso mengatakan, dalam kunjungan Maret lalu, Presiden Jokowi menanyakan apakah PTDI bisa membuat pesawat komersial 50 penumpang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam kajian cepat PTDI dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), pesawat kapasitas itu dapat dibuat, yaitu tipe N245. Untuk rancang bangun pesawat 50 penumpang, PTDI tidak ingin meriset lama, yang nantinya tak diterima pasar, sehingga dimanfaatkan kemampuan kapasitas yang ada.
Menurut Budi, pembuatan pesawat komuter berpenumpang 50 orang itu akan berbasis pada fasilitas produksi CN235 PTDI. Jadi, sekitar 70 persen berbasis pada fasilitas produksi yang dimiliki. Selain itu, tenaga kerja di PTDI juga menguasai teknologi pembuatannya.
Melalui strategi tersebut, pembuatan pesawat bisa menekan biaya pengembangan hingga 20 persen. Waktu yang diperlukan hanya tiga tahun.
“Dari seluruh bagian N245, bagian badan dan interior pesawat mengacu CN235. Sayap menggunakan desain CN295, sedangkan ekor desain N250. Dibandingkan dengan CN235, bagian pintu belakang diperpanjang hingga 5 meter sehingga dapat menambah sepuluh kursi.
content
Tahap pradesain N245 dilakukan Lapan. “Saat ini telah dilakukan tes terowongan angin dengan desain yang ada,” ujar Gunawan Prabowo, Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan.
Tahun 2016, pesawat itu akan diproses sertifikasinya. Diharapkan tahun 2018, N245 terbang perdana. Produksi dan pemasaran pesawat mulai tahun 2019.
Sementara itu, pesawat N219 ditargetkan jadi utuh pada Agustus 2015, sedangkan Mei 2016 mulai uji terbang. Baik N129 maupun N245 telah masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Tahap produksi
Desain produksi N245 dikerjakan perancang dari PTDI setelah rampung proyek N219. “Untuk menyelesaikan pembuatan N245 hingga sertifikasi perlu waktu tiga tahun dan anggaran 150 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,8 triliun,” kata Palmana Banandhi, Manajer Pengembangan Teknologi dan Produk Baru Divisi Pusat Teknologi PTDI.
Dihubungi terpisah, Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI Andi Alisjahbana menambahkan, pesawat itu bersaing dengan pesawat terbang ATR 42 dan Q300. Pesawat N245 punya tangki relatif besar sehingga dapat mendarat di beberapa lokasi tanpa pengisian bahan bakar. Targetnya, penerbangan antarkabupaten di seluruh Indonesia.
Kemarin juga ditandatangani nota kesepahaman pemanfaatan 27 karya inovasi teknologi dari tujuh fokus iptek oleh industri. Fokus riset iptek meliputi pangan, energi, kesehatan dan obat, transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, pertahanan dan keamanan, serta material maju. Untuk bidang pangan unggulan, antara lain, bibit sapi, bibit dan varietas padi, serta kedelai dan sayuran unggulan.
Di bidang kesehatan dihasilkan teknik pengobatan kanker otak dengan Boron Neutron Capture Cancer Therapy dan MRI Contrast Agent berbasis Gadolinium. Teknik itu karya peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional, Universitas Padjadjaran, dan UGM yang akan diproduksi PT Kimia Farma. (YUN/JOG/NDY)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 April 2015, di halaman 14 dengan judul “Dirgantara Jadi Fokus Riset”.