Pemanfaatan teknologi digital dalam proses belajar di sekolah belum menyentuh hal substantif. Teknologi belum digunakan untuk mengembangkan nalar, kreativitas, dan kolaborasi.
Pemanfaatan teknologi digital dalam proses belajar di sekolah belum menyentuh hal substantif. Negara dan segenap anggota masyarakat memiliki pekerjaan besar mempelajari cara menggunakan teknologi untuk pendidikan yang mengembangkan nalar, kreativitas, dan kolaborasi, serta tak sekadar memindahkan teks dari buku ke internet.
Ahli Utama Pengembang Teknologi Pembelajaran Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom Kemendikbud) Purwanto Sujiatmojo menyampaikan hal itu dalam seminar ”Teknologi untuk Pendidikan: Menjangkau Anak di Luar Sekolah, Meningkatkan Minat Belajar Bersama”, di Jakarta, Sabtu (16/11/2019). Acara itu diadakan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak, sebuah organisasi mandiri untuk pemenuhan hak-hak anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Talitha Amalia dari Solve Education Indonesia (kiri) menjelaskan mengenai pemanfaatan gim daring sebagai medium pemelajaran bagi anak-anak putus sekolah dalam seminar mengenai teknologi pendidikan di Jakarta, Sabtu (15/11/2019).
”Mayoritas guru kini punya laptop (komputer pangku) dan hampir semua guru memiliki telepon pintar. Namun, ketika ditanya apakah sudah menggunakannya untuk proses belajar, umumnya menjawab belum,” kata Purwanto.
Setiap tahun, Pustekkom memberi Anugerah Kihajar kepada provinsi dan kabupaten/kota yang melakukan terobosan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di bidang pendidikan. Umumnya inovasi yang dilakukan adalah digitalisasi administrasi bagi guru, seperti pencatatan kinerja dan absensi, agar transparan ketika dilakukan rekapitulasi tunjangan serta kenaikan pangkat.
”Kami memotivasi pemerintah daerah, apabila guru-guru tidak lagi disibukkan oleh hal-hal administratif, mereka mempunyai waktu untuk belajar TIK dan memanfaatkannya secara substantif,” ujarnya.
Dari segi pemerintah, lanjutnya, ada situs dan aplikasi Rumah Belajar berisi berbagai materi pemelajaran yang bisa dipilih oleh setiap guru sesuai kebutuhan kelasnya masing-masing. Selain itu, para guru bisa mengunggah video, rekaman suara, ataupun teks tentang terobosan yang mereka lakukan di kelas. Jika lolos uji mutu oleh tim Pustekkom Kemendikbud, materi itu bisa dimasukkan sebagai materi resmi Rumah Belajar dan bisa diakses oleh semua orang secara gratis.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA–Modul pemelajaran digital Rumah Belajar yang disediakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa diakses melalui laman rumahbelajar.kemdikbud.go.id dan aplikasi di Play Store, Solo, Jawa Tengah, Jumat (4/10/2019). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyampaikan, pemelajaran digital di sekolah terus didorong untuk menyongsong Industri 4.0.
Normatif
Peneliti dari program Rise Smeru Institute Shintia Revina mengungkapkan, ada beberapa daerah yang berupaya melakukan digitalisasi pemelajaran. Contohnya kota Yogyakarta, Bukittinggi (Sumatera Barat), dan Kabupaten Gowa di Sulawesi Selatan. Masalahnya, kontennya masih sangat normatif.
Yogyakarta memiliki program Konsultasi Belajar Siswa sejak tahun 2007 yang bisa diakses lewat situs kbs.jogjakota.go.id. Isinya adalah pengayaan berbagai topik pelajaran yang diunggah oleh guru-guru. Terdapat pula aplikasi Jogja Belajar untuk sistem operasi Android.
Di Bukittinggi uji coba kelas digital sedang dilakukan, yakni para guru mengunggah tugas ke internet dan siswa mencari materi secara mandiri di internet. Demikian pula Gowa melalui program Punggawa D’Emba di 18 kecamatannya.
”Digitalisasi masih sebatas mengganti buku teks dan catatan dengan ponsel pintar. Belum ada pemelajaran komprehensif mengenai literasi digital. Bahkan, guru juga tidak memahami kaidah penelusuran dan pengutipan akademik dari sumber-sumber di internet,” ungkap Shintia.
Sejauh ini pemakaian gawai belum menyentuh pengembangan daya pikir kritis dan analitis siswa. Kolaborasi melalui ruang-ruang digital juga belum banyak dilakukan. Selain itu, situs dan aplikasi yang dikembangkan pemerintah daerah banyak dikeluhkan oleh siswa karena fiturnya tidak menarik, ketinggalan zaman, dan koneksinya sering tersendat. Akibatnya, siswa malas mengakses ulang situs itu.
Sesuai kebutuhan
Salah satu lembaga yang mengembangkan pemelajaran digital sesuai kebutuhan target, yaitu siswa, adalah Solve Education. Organisasi yang fokus menangani pendidikan untuk anak-anak putus sekolah dan mereka yang belum pernah mengecap pendidikan formal ini bergerak di delapan negara, antara lain Indonesia, Myanmar, dan India.
Perwakilan Solve Education Indonesia Talitha Amalia menjelaskan, anak-anak jalanan yang mereka temui umumnya memiliki ponsel pintar. Berdasarkan survei yang dilakukan di Indonesia dan Myanmar, anak jalanan dan anak-anak yang terpaksa bekerja mengatakan membeli ponsel pintar merupakan prioritas pertama mereka jika tabungan sudah cukup. Selain untuk bermedia sosial, ponsel pintar dipakai bermain gim daring.
”Kami mengembangkan gim petualangan berjudul Dawn of Civilization yang ringan diakses oleh ponsel pintar mereka. Gim ini hanya bisa dipecahkan melalui permainan strategi pengetahuan ilmiah, seperti matematika dan bahasa,” ucapnya.
Metode ini menarik bagi anak-anak yang putus sekolah karena tidak tampak seperti sedang belajar. Bagi mereka yang berusia 15 tahun ke atas, apabila mencapai skor baik di gim, diberi kesempatan magang di Solve Education ataupun perusahaan-perusahaan mitra untuk mengerjakan tugas-tugas berkaitan dengan TIK. Contohnya, memasukkan data, mengunggah arsip, dan merapikan fitur webtoon. Keterampilan ini bisa digunakan untuk mencari kerja.
Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 18 November 2019