Manusia berjuang keras untuk menjadikan tubuhnya langsing. Padahal secara genetik, manusia dengan perut rata sekalipun memiliki cadangan lemak lebih banyak dibandingkan primata lain seperti simpanse dan monyet. Penelitian menunjukkan, primata selain manusia memiliki kurang dari 9 persen lemak tubuh, sedangkan kisaran lemak tubuh untuk manusia sehat berkisar antara 14 persen hingga 31 persen.
Manusia berjuang keras untuk menjadikan tubuhnya langsing. Padahal secara genetik, manusia dengan perut rata sekalipun memiliki cadangan lemak lebih banyak dibandingkan primata lain seperti simpanse dan monyet. Penelitian menunjukkan, primata selain manusia memiliki kurang dari 9 persen lemak tubuh, sedangkan kisaran lemak tubuh untuk manusia sehat berkisar antara 14 persen hingga 31 persen.
GETTY IMAGES–Simpanse di Kebun Binatang Edinburgh, Skotlandia, 26 Januari 2010. Simpanse memiliki kadar lemak tubuh lebih rendah dibandingkan manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penelitian berjudul “Analisis Komparatif Lansekap Kromatin dalam Jaringan Lemak Putih Menunjukkan Manusia Mungkin Memiliki Potensi Pencoklatan Lemak yang Lebih Sedikit Dibandingkan Primata Lainnya”. Penelitian dimuat dalam jurnal Genome Biology and Evolution yang juga dipublikasikan Science Daily 26 Juni 2019.
Penelitian dilakukan tim ilmuwan dari Universitas Duke, Carolina Utara, Amerika Serikat. Dalam studinya, peneliti membandingkan jaringan lemak putih pada manusia, simpanse (Pan troglodytes), dan monyet rhesus (Macaca mulatta). Untuk memahami bagaimana manusia menjadi primata gemuk, peneliti membandingkan sampel lemak dari manusia, simpanse, dan monyet rhesus menggunakan teknik yang disebut ATAC-seq. Mereka memindai genom setiap spesies untuk mengetahui perbedaan dalam bagaimana DNA sel lemak mereka dikemas.
“Kita (manusia) adalah primata yang gemuk,” kata Devi Swain-Lenz, biolog dari Universitas Duke.
Fakta bahwa manusia lebih gemuk daripada simpanse bukanlah berita baru bagi para ilmuwan. Akan tetapi penelitian ini membantu menjelaskan bagaimana manusia bisa seperti itu. Meskipun memiliki sekuens DNA yang hampir identik, simpanse dan manusia purba mengalami perubahan kritis dalam bagaimana DNA dikemas dalam sel lemak mereka. Akibatnya, kata para peneliti, hal itu menurunkan kemampuan tubuh manusia untuk mengubah lemak yang menyimpan kalori “buruk” menjadi jenis pembakaran kalori “baik”.
Swain-Lenz menjelaskan, tidak semua lemak diciptakan sama. Sebagian besar lemak terdiri dari lemak putih yang menyimpan kalori. Itulah yang membentuk gambaran seperti marmer di steak dan menumpuk di pinggang manusia. Sel-sel lemak khusus yang disebut lemak krem dan coklat, di sisi lain, dapat membakar kalori daripada menyimpannya untuk menghasilkan panas dan membuat manusia tetap hangat.
Salah satu alasan mengapa manusia begitu gemuk, menurut penelitian, adalah karena wilayah genom yang membantu mengubah lemak putih menjadi coklat pada dasarnya terkunci pada manusia, tetapi tidak pada simpanse.
“Kita telah kehilangan beberapa kemampuan untuk mendorong sel-sel lemak menuju lemak krem atau coklat. Kita terjebak di jalur lemak putih,” kata Swain-Lenz.
Dibandingkan dengan lemak putih, lemak tubuh coklat membakar energi dengan kecepatan luar biasa. Namun, hingga kini proporsi lemak coklat pada manusia dianggap cukup kecil. Penelitian oleh ilmuwan Universitas Teknik Munich, Jerman, yang diterbitkan dalam Journal of Nuclear Medicine 19 Januari 2017, menunjukkan, jumlah lemak coklat pada manusia tiga kali lebih besar dari yang diketahui sebelumnya. Sebagai konsekuensinya, obat obesitas dan diabetes baru yang mengaktifkan jaringan lemak coklat diharapkan lebih efektif.
KOMPAS–Wisatawan Eropa mengabadikan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di pinggiran jalan Desa Pancasari, Kabupaten Buleleng, Bali, Rabu (16/11/2016). Manusia berbakat gemuk dibandingkan monyet.
“Jaringan lemak coklat menyerap banyak gula. Sebagai contoh, dapat dibayangkan bahwa obat dapat mengurangi kadar gula darah berlebihan pada penderita diabetes dengan meningkatkan aktivitas lemak coklat,” kata Tobias Fromme, peneliti di Universitas Teknik Munich, seperti dikutip Science Daily, 1 Maret 2017.
Analisis juga mengungkapkan bahwa beberapa kelompok orang memiliki waktu yang lebih mudah untuk mengaktifkan lemak cokelatnya daripada yang lain atau bahkan lebih dari itu. Seperti yang ditunjukkan beberapa penelitian sebelumnya, wanita lebih sering memiliki lemak coklat aktif daripada pria. Demikian pula, orang yang lebih kurus dan lebih muda memiliki proporsi lemak coklat yang lebih besar. Selanjutnya, lemak coklat tidak bereaksi dengan tingkat aktivitas yang sama pada individu yang kelebihan berat badan atau pada orang tua.
Oleh SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 27 Juni 2019