Di mana merek Indonesia? Sekadar menyebut nama, Polytron saat ini masih bisa dijumpai di jajaran gerai toko elektronik di antara kegagahan Sony, Panasonic, Samsung, dan LG. Di jagat ponsel, belum pernah ada merek Indonesia yang muncul. Di domain produk teknologi yang banyak melibatkan komponen renik ini, kontribusi Indonesia tampaknya masih absen.
Sempat juga muncul sindiran, kontribusi kita baru sampai pada pembuatan sarung untuk ponsel. Namun, itu pun sempat dibantah karena ada yang mengatakan produk tersebut bukan buatan Indonesia, melainkan buatan China.
Kalau begitu, di mana posisi China? Pameran telekomunikasi CommunicAsia yang baru saja usai di Singapura bisa bercerita banyak tentang hal ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti dilaporkan kantor berita AFP (JG, 21/6), China kini sudah mencapai tahapan kebangkitan. Kalau selama beberapa dekade terakhir ini ia hanya jadi tujuan pabrikan asing yang ingin memproduksi ponsel atau gadget lain dengan biaya murah, kini hal itu sedang diubah. Dunia mulai mengenal merek China. Seperti ditulis koresponden Bernice Chan, keinginan China untuk mempromosikan mereknya sendiri dan menghasilkan barang-barang yang diharapkan bisa menyamai Sony atau Samsung amat nyata di Pameran CommunicAsia.
Tidak mudah sebenarnya tantangan mendirikan atau menegakkan merek di tengah dominasi merek mapan yang sudah mengglobal. Pimpinan Panasonic Gobel Rachmad Gobel, dalam percakapan dengan penulis di kantornya di Jakarta beberapa waktu lalu, sempat mengisahkan lahirnya merek National yang sempat mendapat nama di tahun 1970an dan 1980-an. Namun, ternyata merek yang dikembangkan bersama oleh ayahnya bersama Jepang itu kini sudah tidak ada lagi karena sudah menyatu dengan Panasonic.
Sementara itu, China—seiring dengan kemajuan dan pertumbuhan yang dicapainya—memiliki kepercayaan diri dan merasa punya hak untuk tampil di panggung dunia. Di Singapura, kehadiran China dipimpin oleh Huawei Technologies dan ZTE Corporation. Dengan itu, bendera China ikut berkibar di antara bendera-bendera negara peserta lainnya, yang sudah berjaya di hari kemarin dan seolah tak terkalahkan.
Kehadiran merek China di CommunicAsia menandai bangkitnya kekuatan baru dalam industri ini.
Fakta ini juga menegaskan, industri yang beberapa tahun lalu didominasi oleh merek Eropa dan Amerika Utara kini telah punya tatanan baru, di mana perusahaan China ikut bergabung dengan perusahaan Jepang dan Korea Selatan dalam memperebutkan pangsa pasar Asia dan global. China mengikuti Korea dalam memecah dominasi dan kemapanan Barat.
Kini, meski Nokia masih tetap menjadi pabrik ponsel paling besar di dunia, di kawasan ini sudah ada kekuatan yang membayanginya. Pertama-tama adalah raksasa kembar Korea, Samsung dan LG, dan berikutnya Huawei. Selain ponsel dan komputer tablet, Huawei juga memproduksi encoder (penyandi) digital dan receiver (pesawat penerima) untuk industri telekomunikasi.
Selain membangun kebanggaan melalui merek nasional, langkah menyerbu industri telekomunikasi juga masuk akal secara bisnis.
Membangun merek
Membangun merek, meski sulit, harus dilakukan. China menyadari itu dan melakukannya. Perusahaan-perusahaan China makin rajin mengikuti pameran di luar negeri. Keikutsertaan di CommunicAsia naik 21 persen dibandingkan dengan tahun 2009, padahal perusahaan seperti Chengdu Dexin Digital Technology tahun 2008 baru jadi pengunjung di pameran itu.
Kini, selain jadi peserta aktif pameran, perusahaan China juga membawa merek perusahaan dan, tentu saja, nama negara.
Kemarin, ketika mendengar produk China, seperti televisi, alat permainan video, atau motor, asosiasi yang terbayang adalah produk kualitas rendah dan cepat rusak. Namun, secara perlahan, tetapi pasti, China sedang mengubah hal itu. China belajar dari perusahaan asing yang sudah lebih dulu memiliki teknologi lebih maju. Seperti dikatakan oleh Alan Yin dari Konka Group, perusahaan China kini sudah investasi banyak pada penelitian dan pengembangan di bidang teknologi tinggi. Ia yakin bahwa dalam 10 atau 20 tahun mendatang, perusahaan China akan lebih kuat dan siap menyaingi Sony atau Samsung.
Dari uraian di atas tampak bahwa dari merek saja kita sebenarnya bisa menyimak aktivitas ilmiah apa yang berlangsung di belakangnya. Tidak lain adalah pengerahan sumber daya nasional di bidang penelitian dan pengembangan serta inovasi yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan konsisten selama bertahun-tahun. Bangsa China tak mau direndahkan dan, karena itu, bertekun mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Adakah semangat dan tekad seperti itu di hati bangsa Indonesia yang tak lama lagi akan berusia 65 tahun? [NINOK LEKSONO]
Sumber: Kompas, Rabu, 23 Juni 2010 | 03:11 WIB