Panorama pantai Bantul yang diliputi gumuk pasir kini mulai berubah dengan berdirinya puluhan kincir angin dan jajaran panel sel surya. Tak jauh dari lokasi di pantai baru itu dibangun peternakan sapi yang memasok energi biogas dan pupuk kompos sebagai hasil sampingannya.
Seperti desa nelayan lain di Pulau Jawa, Pantai Pandansimo di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, bukanlah tergolong daerah makmur, bahkan penduduknya masih ada yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Solusi untuk membantu mereka bangkit mengatasi masalah kemiskinan dan mendongkrak ekonomi masyarakat mulai dirintis tahun 2005, yaitu dengan memperkenalkan pembangkit energi angin di Dusun Ngentak, yang dihuni sekitar 350 keluarga. Ketika itu terbangun tiga unit kincir kemudian bertambah satu unit pada tahun 2008.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Potensi angin yang besar di Pantai Pandansimo yang pernah digunakan untuk meluncurkan roket Gama oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada tahun 1963 itu sesungguhnya telah diketahui sekitar tahun 1980.
Survei dan pemasangan kincir angin di lokasi tersebut dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) bekerja sama dengan Jerman. Ketika itu dipasang kincir yang berukuran besar. Namun, pembangkit buatan asing ini tidak berfungsi optimal karena pola angin di kawasan itu tak stabil dan relatif kurang kecepatannya untuk memutar kincir.
Menurut Momon Sadiyatmo, peneliti kincir angin di Lapan yang kini menjabat Asisten Deputi Iptek Masyarakat di Kementerian Riset dan Teknologi, angin di Pandansimo yang menghadap Samudra Hindia itu relatif tenang pada pagi hari dan mulai menguat embusannya pada siang hari. Kecepatan angin pada tengah hari 2-5 meter per detik dan kian meningkat pada sore hingga malam dengan kecepatan 8 meter per detik.
Melihat pola angin dan kecepatannya, peneliti Lapan kemudian mendesain sistem kincir angin yang berukuran lebih kecil dan memiliki tiga sudut. Selain itu, di belakang kincir dilengkapi dengan sirip belakang dan engsel putar di pangkalnya. Hal ini memungkinkan kincir terus berputar karena mengikuti perubahan pola angin.
Energi hibrida
Kini di lokasi seluas 17 hektar itu telah terbangun 39 kincir angin dan belasan panel sel surya. Lokasi itu berada di kawasan milik Sultan Hamengku Buwono X yang dimanfaatkan secara cuma-cuma untuk membangkitkan kegiatan ekonomi terpadu.
Dari 39 kincir angin itu dapat dihasilkan 170 kW listrik. Adapun dari 15 sel surya fotovoltaik terbangkitkan 20 kW. Lalu dari biogas terpasok listrik 2,5 kW.
Energi yang dihasilkan dari dua jenis pembangkit itu kemudian dipadukan sehingga menghasilkan listrik untuk berbagai keperluan. Pemanfaatan energi terbarukan itu selain untuk penerangan bagi 200 warung yang ada pantai itu juga untuk mengaliri dengan listrik unit mesin pembuat es balok dan es batu (kristal).
Es balok sebanyak 1 ton per hari dimanfaatkan para nelayan untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan. Dengan adanya es balok ini, ikan yang disimpan dapat dipertahankan kesegarannya dua hingga tiga hari lebih lama. Selain itu, es batu 750 kg per hari dipasok untuk warung makanan dan minuman di daerah itu.
Keberadaan energi hibrida juga mendorong aktivitas ekonomi lain, yaitu perikanan air tawar. Listrik yang dihasilkan pembangkit itu digunakan untuk memutar pompa air yang mengairi tambak-tambak ikan.
Biogas
Selain energi listrik dari sistem hibrida, desa energi ini juga menghasilkan biogas. Energi gas ini merupakan hasil samping dari proses penguraian kotoran sapi secara anaerob dalam tangki penampung.
Dari penguraian limbah organik oleh bakteri juga didapatkan pupuk kompos. Pupuk kompos disalurkan untuk pertanian di kawasan lahan berpasir. Tanaman pangan yang dibudidayakan antara lain kacang tanah, kacang panjang, jagung, cabe, dan singkong.
Pembangunan desa terpadu ini melibatkan banyak pihak, yaitu Kemenristek dan Lapan, UGM, dan kementerian terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian.
Lapan dalam program itu membantu pembangunan unit pembangkit energi hibrida. Adapun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membangunkan daerah peternakan sapi dan unit tangki pengolah kotoran sapi. Kawasan itu menampung sekitar 300 sapi milik penduduk sekitar.
Pada tahap awal 2009-2014, kawasan ini dikelola oleh Yayasan Kinaryo Bayu Pradito (Kibar). Namun, setelah itu diharapkan akan diteruskan oleh koperasi yang dijalankan oleh masyarakat. Hal ini dapat tercapai karena yayasan melakukan program pelatihan bagi pemuda setempat untuk mengoperasikan fasilitas yang ada.
Saat ini aktivitas ekonomi di kawasan itu mulai tampak. Menurut Ketua Yayasan Kibar, Tlau Sakti Santosa, diproyeksikan tahun 2014 dengan fasilitas yang ada penduduk Dusun Ngentak dapat mandiri mengelola daerah itu, termasuk memperbaiki dan produksi sistem energi hibrida tersebut.
Melihat hal itu muncul tawaran dari Badan Litbang Pertanian Kemtan untuk melakukan replikasi program serupa di lima lokasi di luar Yogyakarta, yaitu di Sulawesi Selatan dan NTT. Namun, lokasi tepatnya kini masih disurvei.[OLEH YUNI IKAWATI]
Sumber: Kompas, 17 Februari 2011