Gagasan bahwa triliunan mikroorganisme usus bisa memengaruhi otak atau sistem saraf pusat manusia pada 10 tahun lalu dianggap liar. Namun studi terbaru menemukan bahwa bakteri tertentu berkaitan erat dengan depresi yang dialami seseorang.
Selama itu, ide tersebut dianggap kontroversial. Mekanisme hubungan antara mikroorganisme usus itu hingga bisa memengaruhi fungsi otak, seperti ingatan dan perilaku, dianggap lemah. Demikian pula bagaimana mikrobiata itu bisa berperan dalam depresi dan penyakit degeneratif yang diderita seseorang.
Meski demikian, sejumlah studi yang dilakukan selama ini hanya menunjukkan bahwa hubungan antara bakteri usus, metabolismenya dengan sejumlah gejala neurologisnya hanya bersifat korelatif semata, tidak menunjukkan sebab akibat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS–Gerakan Mari Tersenyum – Ratusan simpatisan mengajak warga tersenyum sambil melepaskan balon dalam kampanye Gerakan Mari Tersenyum yang digelar Himpunan Psikologi Indonesia di Bundara Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (10/10/2012). Gerakan tersenyum merupakan salah satu cara mencegah depresi yang diadakan untuk memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia.Kompas/Iwan Setiyawan (SET)
Studi yang dilakukan itu umumnya juga hanya menggunakan model hewan yang tidak bisa menggambarkan sifat atau perilaku manusia secara akurat. Sementara riset pada manusia hanya melibatkan responden yang terbatas serta kurang memerhatikan faktor perancu yang bisa memengaruhi hasil, seperti pola diet yang tidak umum atau penggunaan obat antibiotik dan antidepressan yang bisa memengaruhi mikroorganisme.
Namun, studi terbaru yang dipimpin Mireia Valles-Colomer dari Departemen Mikrobiologi dan Immunologi, Institut Riset Kedokteran Rega, Universitas Katolik Leuven, Belgia menemukan bahwa orang yang depresi memiliki jumlah bakteri, Coprococcus dan Dialister, yang lebih rendah dibanding yang tidak mengalami depresi.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 6 Februari 2019