Kisah yang bisa diceritakan dari pohon itu salah satunya adalah mengenai kondisi cuaca dan iklim bumi pada masa lalu,” kata Ute Sass-Klaassen, doktor peneliti dari DendroLab, Universitas Wageningen, Belanda.
Dengan mengerti kondisi perubahan iklim pada masa lampau, menurut Ute, ”Kita bisa memahami perubahan iklim yang kini terjadi dan akan terjadi pada masa depan.” Membuka kitab sejarah, yang tersimpan di sebatang pohon itulah, yang menjadi obsesi Ute Sass dan kawan-kawannya di Wageningen.
Tak semua pohon bisa menjadi kitab yang bertutur. Hanya pohon-pohon yang berkayu dengan lapisan berbentuk lingkaran (tree ring) yang bisa memberikan petunjuk itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Setiap lingkaran mewakili satu masa pertumbuhan. Dan, pada satu masa itu kita bisa tahu apakah terjadi musim panas yang kering atau terjadi banjir, kebakaran, tingkat polusi waktu itu, hingga perubahan geomorfik,” kata Ute Sass yang ditemui pada pengujung September 2010 di laboratoriumnya.
Ilmu untuk menyingkap jejak rekam pengetahuan pada masa lalu dari sebatang kayu biasa disebut dendrochronology yang tersusun dari kata-kata berbahasa Latin dendron yang berarti pohon, chronos yang artinya waktu, dan logos yang maknanya kata atau pengetahuan.
”Kerja kami seperti arkeolog dan sejarawan. Hanya saja, obyek penelitian kami adalah sebatang pohon,” ungkap Ute.
Dasar dari ilmu ini, menurut Ute, adalah kenyataan bahwa pohon adalah organisme yang mampu merekam perubahan lingkungan di sekitar melalui struktur lingkaran kayu.
Untuk menggali informasi dari sebatang kayu, sebatang pohon harus dipotong setipis rambut menggunakan sinar laser secara melintang. Lalu, potongan itu diamati dengan mikroskop dan dianalisis menggunakan komputer untuk diperas informasi yang terkandung di dalamnya. Sepintas, di layar-layar komputer DendroLab, pola-pola dari sebatang pohon itu bisa demikian eksotik dengan aneka warna menawan.
”Cantik sekali, bukan? Seperti batik milik kalian (Indonesia),” kata perempuan pendiri DendroLab ini pada 2005. DendroLab adalah bagian dari Fakultas Ekologi Hutan dan Manajemen Hutan, Universitas Wageningen, yang merupakan satu dari sekian banyak laboratorium di dunia yang khusus mempelajari jejak rekam pengetahuan yang tersimpan di dalam kayu atau dendrochronology.
Setiap ilmuwan dendrochronology, menurut Ute Sass, biasanya terobsesi mencari pohon-pohon kayu tertua untuk dianalisis guna mengetahui kondisi bumi purba. Selain itu, mereka juga terobsesi mencari pohon-pohon dari beragam asal daerah. DendroLab banyak meneliti pohon-pohon dari Eropa, seperti oak. Namun, mereka juga memiliki beberapa kayu yang berasal dari negara tropis, seperti kayu jati asal Indonesia.
”Kondisi iklim dan lingkungan di daerah tropis pada masa lalu belum banyak diketahui. Karena itu, dengan meneliti jejak rekam dari pohon-pohon tropis melalui dendrochronology, kita sebenarnya bisa memahami lingkungan tropis ini menjadi lebih baik,” katanya.
Hutan tropis
Salah satu pohon yang penting, untuk mengabarkan kondisi daerah tropis, menurut Ute, adalah pohon jati. ”Kayu jati dari Indonesia memiliki pola lingkaran yang jelas yang bisa menggambarkan kondisi iklim di daerah tropik pada masa lalu. Pohon ini sangat berguna bagi dendrochronology,” katanya.
Selain meneliti kayu jati asal Indonesia, DendroLab juga meneliti kayu meranti. Indonesia, menurut Ute Sass, memiliki beragam pohon yang potensial menjadi obyek penelitian bagi ilmuwan dendrochronology. ”Namun, tak gampang bagi kami di sini untuk mendapatkan kayu-kayu itu saat ini,” ucapnya.
Salah satu yang potensial diteliti, menurut Ute, adalah kayu besi asal Kalimantan yang memiliki masa pertumbuhan sangat lama dan keawetan di alam sangat tinggi sehingga diharapkan bisa mengisahkan masa hingga ribuan tahun.
Tentunya potensi ini menjadi tantangan bagi ilmuwan Indonesia untuk menyingkap khazanah pengetahuan dari beragam kayu yang berserak di bumi Nusantara.
Namun, mendengar penuturan Ute Sass tentang potensi pengetahuan yang tersimpan dalam sebatang kayu, khususnya kayu dari hutan tropis, mengingatkan pada nasib jutaan hektar hutan kita yang dengan cepat menghilang dari daratan. Pemusnahan hutan terjadi, baik untuk diambil kayunya bagi kepentingan industri maupun diinginkan lahannya bagi perkebunan kelapa sawit.
Seperti disampaikan Frans Bongers, guru besar dari Wageningen yang juga Ketua Association for Tropical Biology and Conservation (ATBC), ”Tak ada negara di dunia yang kehilangan hutannya lebih cepat dibandingkan Indonesia—yang rata-rata kehilangan 1,5 juta hektar per tahun.”
Frans mengingatkan agar hutan-hutan tropis di Indonesia yang tersisa dipertahankan demi masa depan umat manusia. Tak hanya menjadi paru-paru bagi bumi ini, pepohonan adalah kitab yang siap dibuka untuk memberi pengetahuan yang berharga bagi manusia.
Dengan memahami pengetahuan yang tersimpan dalam sebatang kayu, seharusnya menjadikan kita lebih hormat lagi kepada hutan-hutan yang tersisa. Karena dari sebatang pohon, kisah tentang bumi pada masa lalu dan bagaimana nasib bumi pada masa depan bisa digambarkan….[Oleh Ahmad Arif]
Sumber: Kompas, Rabu, 13 Oktober 2010 | 02:54 WIB