Tingginya angka kasus demam berdarah dengue di Indonesia membebani ekonomi negara. Padahal, penularan penyakit infeksi itu bisa dicegah lewat pemberantasan sarang nyamuk. Namun, implementasi kebijakan pengendalian penyakit itu masih belum berjalan dengan baik.
Memasuki musim pancaroba, penularan demam berdarah dengue (DBD) terus terjadi dan menimbulkan biaya kesehatan. Haryono, warga Kota Mojokerto, Jawa Timur, menuturkan, anaknya yang berusia 11 tahun dirawat inap di Rumah Sakit Gatoel karena terkena DBD. Sebelumnya, ia sempat membawa anaknya ke puskesmas tapi tempat perawatan penuh, demikian pula RS Umum Daerah setempat.
Ia pun harus mengeluarkan uang hampir Rp 1 juta untuk fasilitas rawat inap, obat, dan keperluan lain bagi anaknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Pasien Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit Umum Daerah Doris Sylvanus Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang sebagian besar adalah anak-anak. Jumlah kasus DBD di Kalimantan Tengah berangsur turun meskipun demikian masih tinggi.
Meski jumlah kasus DBD menurun dua tahun terakhir, angkanya tinggi. Kementerian Kesehatan mencatat, Januari-23 Februari 2019 jumlah kasus DBD 26.129 orang dan 226 pasien meninggal. Provinsi dengan jumlah kematian tertinggi akibat DBD yakni Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Barat.
Mardiati Nadjib dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan rekan dalam “Economic Burden of Dengue in Indonesia” yang dipublikasikan di jurnal PLOS Neglected Tropical Disease, 10 Januari 2019 menyebut beban ekonomi akibat demam berdarah di Indonesia tahun 2015 mencapai 381,15 juta dollar AS atau Rp 5,3 triliun dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS.
Jumlah kasus digunakan dalam studi pada 2015 itu 898.475 pasien rawat inap dan 596.391 rawat jalan. Pada 2015, Kemenkes mencatat 129.650 pasien DBD dan 1.071 korban jiwa.
Beban itu mencakup biaya rawat inap, rawat jalan, dan biaya penunjang lain langsung maupun tak langsung, termasuk transportasi, pendamping pasien, dan produktivitas hilang. “Beban meningkat jika jumlah kasus naik,” kata Mardiati, di Jakarta, Senin (25/2/2019).
Ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, memperkirakan, ”Beban biaya pengobatan demam berdarah di Indonesia Rp 1,8 triliun per tahun.Beban biaya itu berdasarkan rata-rata angka kasus demam berdarah, biaya rawat inap, dan biaya rawat jalan.”
Biaya itu belum termasuk biaya pencegahan setiap kabupaten atau kota untuk memberantas sarang nyamuk, pengasapan, atau pemberian larvasida pembunuh jentik nyamuk. Jika setiap kabupaten atau kota mengeluarkan Rp 500 juta per tahun, biaya pencegahan Rp 250 miliar.
Jika beban biaya akibat hilangnya waktu produktif untuk bekerja, sekolah, dan izin karena menunggui keluarga yang sakit dihitung, beban ekonomi akibat demam berdarah kian tinggi.
Melody Tan dkk dalam ”Indonesia: An Emerging Market Economy Beset by Neglected Tropical Diseases”, 2014 yang dimuat dalam jurnal PLOS Neglected Tropical Diseases menyebut beban ekonomi demam berdarah di Indonesia 300 juta dollar AS atau setara Rp 3,9 triliun tiap tahun. Itu sepertiga beban biaya akibat demam berdarah di ASEAN.
Direktur Rumah Sakit Universitas Airlangga yang juga Direktur Institut Ilmu Kesehatan Universitas Airlangga Nasronudin mengatakan, demam berdarah membebani layanan Jaminan Kesehatan Nasional. Jika tak ada komplikasi, perawatan demam berdarah di puskesmas butuh Rp 1 juta-Rp 3 juta per kasus. (Kompas, 31 Oktober 2016)
Karena itu, menurut Mardiati, untuk menekan kasus demam berdarah, selain pengendalian penyebaran nyamuk Aedes aegypti, perlu perbaikan pencatatan kasus demam berdarah, di semua fasilitas kesehatan dan perawatan milik pemerintah atau swasta.
Pendataan
Baiknya pendataan memudahkan pengendalian DBD. Beban biaya ditanggung masyarakat, pemerintah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan bisa dikendalikan.
Namun, pendataan kesehatan belum berjalan baik. Di Kota Mojokerto, misalnya, dinas kesehatan setempat mengklaim sejak awal tahun hanya 12 warga terkena DBD. Padahal, pendataan di sejumlah RS menunjukkan jumlahnya jauh lebih besar. Contohnya, di RS Islam Sakinah merawat 20 pasien DBD, RS Gatoel merawat 17 pasien, RSUD merawat 5 orang. Pasien itu adalah warga Kota Mojokerto. Permintaan konfirmasi pada Dinas Kesehatan Mojokerto tak terpenuhi.
Meski membebani ekonomi negara, pengendalian DBD tak optimal. Sejumlah daerah seperti Kediri, Cirebon, dan Palangkaraya, baru menggalakkan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) saat ada kasus DBD. Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Sartono mengakui, warga menganggap pengasapan menyelesaikan soal.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan tengah Suyuti Syamsul, pihaknya kerap melakukan sosialisasi PSN ke warga dengan menyiapkan juru pemantau jentik (jumantik). Dari 14 kabupaten/kota, hanya 7 kabupaten memiliki jumantik sehingga gerakan PSN tak menyeluruh.
DKI Jakarta memiliki Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD yang mengatur pencegahan DBD dan sanksi bagi pengelola urusan kerumahtanggaan yang melanggar termasuk denda jika ada jentik nyamuk. Aturan itu belum dijalankan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menegaskan, cara efektif mencegah DBD ialah PSN yakni 3M Plus (menguras, menutup, dan mendaur ulang barang bekas) dan 1 rumah 1 jumantik. Namun itu belum rutin dilaksanakan.
Kesadaran mencegah DBD terlihat dari keberhasilan PSN menurut angka bebas jentik. Jika angka bebas jentik lebih dari 95 persen, penularan DBD bisa dicegah. Namun sejak pemantauan pada 1994 sampai kini angka bebas jentik di bawah target. Padahal, PSN harus menyeluruh, konsisten, dan sepanjang tahun. (MZW/BRO/NSA/HLN/DEA/IKI/FLO/IDO/TAN)
Oleh TIM KOMPAS
Sumber: Kompas, 26 Februari 2019