Penghangatan global pada perairan laut yang dipicu oleh fenomena El Nino berdampak pada kerusakan dan kematian terumbu karang di seluruh dunia. Kondisi ini terkecuali pada perairan kawasan tropis Pasifik bagian timur.
Kenaikan suhu lautan akibat pengaruh El Nino seperti di tahun 1997 dan 2015 tercatat telah menghancurkan terumbu karang di berbagai belahan dunia. Namun, sebuah studi baru-baru ini di Global Change Biology menunjukkan bahwa terumbu karang di kawasan tropis Pasifik bagian timur (ETP) menjadi lokasi pengecualian.
Temuan para peneliti terbaru, dengan membandingkan data terkini dengan data lapangan yang dikumpulkan pada tahun 1970, memberi informasi bahwa terumbu karang di ETP ini diduga mampu beradaptasi dengan tekanan kenaikan suhu atau temperatur air yang menghangat. Studi ini dipublikasikan dalam bentuk cetak pada bulan ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Studi kami selama 44 tahun menunjukkan bahwa jumlah karang hidup tidak berubah dalam ETP,” kata James W Porter, penulis senior makalah itu.
”Tutupan karang hidup telah naik dan turun dalam menanggapi pemutihan yang diinduksi oleh El Nino. Namun, tidak seperti terumbu di tempat lain, seperti di Karibia dan Indo Pasifik, terumbu di ETP hampir selalu bangkit kembali,” ujarnya dalam Science Daily, 23 Juli 2020.
Studi ini dilakukan tim peneliti internasional dari seluruh wilayah yang dipimpin Mauricio Romero-Torres dari Pontificia Universidad Javeriana dan Unidad Nacional para la Gestión del Riesgo de Desastres (Unit Nasional untuk Manajemen Risiko Bencana atau UNGRD) di Bogota, Kolombia.
Tim peneliti memeriksa data tutupan karang untuk daerah tersebut, yang membentang dari Baja California ke Kepulauan Galapagos, dari tahun 1970 hingga 2014. Selama waktu itu ada beberapa peristiwa El Nino—periode ketika Samudra Pasifik di wilayah khatulistiwa mencapai suhu yang sangat tinggi.
Panas berlebih pada lautan dapat membunuh alga simbiotik atau zooxanthellae yang menghuni karang. Bila temperatur yang menghangat tersebut berlangsung lama dan frekuensinya sering, hal itu menyebabkan pemutihan pada karang secara luas dan berujung pada kematian.
Para peneliti memang menemukan bahwa daerah setempat juga mengalami kehilangan tutupan karang selama kejadian El Nino. Namun, yang mengherankan, terumbu di wilayah itu, di ETP, pulih dalam waktu 10-15 tahun.
”Begitu banyak dari karier saya telah dihabiskan untuk mendokumentasikan penurunan terumbu karang sehingga menemukan daerah yang luas di daerah tropis di mana terumbu karang bisa mengatasinya, itu sangat memuaskan,” kata Porter, profesor emeritus di Fakultas Ekologi Universitas Georgia Odum.
Mereka berhipotesis bahwa beberapa faktor utama memungkinkan terumbu karang di ETP bisa pulih kembali. Petama, karang di daerah itu sebagian besar adalah pocilloporid, sejenis karang yang mereproduksi dengan kecepatan tinggi. Mereka juga mengandung spesies alga simbiotik yang sangat toleran terhadap suhu ekstrem.
Kedua, pola cuaca dan geografi dalam ETP juga dapat berperan. Daerah-daerah yang memiliki umbalan (upwelling) dari perairan yang lebih dingin dapat bertahan secara lokal. Selanjutnya, terumbu karang ini menjadi sumber benih bagi wilayah terumbu lain yang lebih parah.
Ketiga, faktor penting lainnya, menurut dugaan peneliti, adalah ”ingatan ekologis”. Mereka menduga, karang di ETP mungkin telah dikondisikan untuk tahan terhadap tekanan penghangatan setelah mengalaminya berkali-kali. Hal ini terjadi melalui mekanisme seperti adaptasi genetik dan pewarisan epigenetik, di mana orangtua meneruskan sifat-sifat bertahan hidup ini kepada keturunan mereka.
”Kunci untuk bertahan hidup bagi terumbu karang di masa depan mungkin bukan kekebalan terhadap stres, melainkan kemampuan untuk pulih dan tumbuh kembali setelah stres. Terumbu karang di ETP menunjukkan kepada kita seperti apa wujudnya (pemulihan) itu,” ujar Porter.
Porter mengatakan, penelitian ini juga penting sebagai contoh perlunya mempertahankan data asli jangka panjang, yang penting untuk penelitian. ”Segera setelah doktor Romero menghubungi saya, saya berkonsultasi dengan menunjukkan log penyelaman asli saya, yang dibuat ketika saya masih menjadi pradoktoral Smithsonian di Panama pada tahun 1970,” katanya.
”Saya segera menyadari bahwa catatan lapangan tulisan tangan saya berisi semua yang diperlukan untuk melabuhkan studi ini dengan data tertua (1970) yang digunakan dalam survei jangka panjang ini. Terutama di dunia yang berubah, kita perlu mengarsipkan dan menyimpan data asli dengan hati-hati,” ucapnya.
”Penelitian ini mengajarkan relevansi melakukan sains dengan standar FAIR (dapat ditemukan, dapat diakses, interoperable, dan dapat digunakan kembali) sehingga peneliti lain di wilayah ini dapat melanjutkan pekerjaan dan memperkirakan efek dari fenomena El Nino berikutnya pada ETP,” kata Romero.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 25 Juli 2020