Inkonsistensi data merupakan salah satu isu data yang penting di Indonesia, yang disebabkan antara lain oleh perbedaan dalam konsep, definisi, metodologi pengumpulan data, serta teknik estimasi.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024 mengamanatkan sasaran Visi Indonesia 2045, yaitu Indonesia Maju. Pada 2045, Indonesia diharapkan menjadi negara maju dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kelima di dunia. Ini dicapai melalui pembangunan SDM dan infrastruktur, penyederhanaan regulasi dan birokrasi, serta transformasi ekonomi yang merupakan arahan Presiden dalam pencapaian visi Indonesia 2045.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pembangunan harus direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan data berkualitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data berkualitas adalah data yang akurat, konsisten, obyektif, relevan, lengkap, tepat waktu, selalu dimutakhirkan, dapat diakses oleh masyarakat luas dengan mudah dan secara cuma-cuma, serta memiliki metadata dan walidata.
Akan tetapi, perbedaan dalam konsep dan definisi serta metode pengumpulan data telah mengakibatkan perbedaan data menurut sumber, seperti data jumlah penduduk dan tingkat kemiskinan, yang mengakibatkan kebingungan di kalangan pengguna data. Presiden Jokowi bahkan menyatakan, perbedaan data salah satu penyebab tak optimalnya pelaksanaan kebijakan pembangunan di Indonesia.
Persoalan perwujudan data berkualitas di Indonesia meliputi persoalan proses, produk, produsen, dan pengguna data. Dalam hal proses data, persoalan meliputi tata cara mekanisme koordinasi antara kementerian/lembaga (K/L) atau unit kerja statistik yang belum diuraikan secara jelas, komunikasi antara lembaga yang bertanggung jawab atas metodologi kegiatan statistik dan informasi tak optimal, Pusat Data dan Informasi kementerian/lembaga/daerah/instansi belum jadi satu-satunya pintu keluar data.
Juga tak terdapat mekanisme untuk harmonisasi jika ada perbedaan data antar-K/L yang menghasilkan statistik subyek yang sama, pengenaan biaya untuk akses data, format data tak mudah digunakan untuk diolah kembali dan jaminan kualitas data belum berjalan.
Perubahan demografis, sosial, dan ekonomi masyarakat di mana mobilitas penduduk semakin tinggi dan terjadi peningkatan pendapatan dan individualisme, juga mengakibatkan kian sulitnya proses pengumpulan data, baik karena penghuni sulit ditemui atau tak berkenan diwawancarai.
Sumber persoalan
Dalam hal produk data, persoalan meliputi inkonsistensi data, data tersebar di instansi sektoral, cakupan data belum menyeluruh karena sangat tergantung pelaporan (baik oleh penduduk maupun petugas pelaksana pendataan), kualitas data belum terjamin, ada kesenjangan data antara yang dibutuhkan dengan yang tersedia, dan ada perubahan alur data sektoral sejak berlakunya otonomi daerah.
Inkonsistensi data merupakan salah satu isu data yang penting di Indonesia, yang disebabkan antara lain oleh perbedaan dalam konsep, definisi, metodologi pengumpulan data, serta teknik estimasi. Sebagai contoh, jumlah penduduk yang dihasilkan BPS berbeda dengan yang dihasilkan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Upaya harmonisasi data kependudukan oleh keduanya sudah mulai diinisiasi melalui Sensus Penduduk 2020 yang memanfaatkan data administrasi kependudukan sebagai basis data dasar untuk menyediakan data jumlah, komposisi, distribusi, dan karakteristik penduduk menuju satu data kependudukan Indonesia.
Permasalahan produsen data antara lain meliputi format data belum terstandar, penyampaian metadata (tahun, tujuan, manfaat, penyelenggara, dan penanggung jawab kegiatan, variabel yang dikumpulkan dan periodisasi, serta metode pengumpulan data, unit observasi, dan tingkat penyajian yang diharapkan) belum berjalan, informasi tentang walidata tak jelas, kemampuan teknis SDM produsen data tak merata dan masih terbatas, pemahaman tentang peran penting data dalam perencanaan pembangunan terbatas, pengelolaan data lemah, data dipandang sebagai kegiatan, keterbatasan cakupan kegiatan produksi data, serta peran produsen data statistik yang belum tegas. Peran BPS dan K/L dalam produksi data dasar dan sektoral perlu ditegaskan kembali, sesuai amanat UU RI No 16/1997 tentang Statistik.
Dari sisi pengguna, permasalahan meliputi pengguna belum paham pentingnya data untuk perumusan kebijakan berdasarkan bukti, pemahaman tentang data terbatas, pemahaman tentang penggunaan data untuk perencanaan pembangunan terbatas, penyebarluasan data di internal K/L/daerah/instansi tak berjalan, sosialisasi dan edukasi data terbatas, serta kepercayaan yang rendah antara dan dalam K/L/daerah/instansi.
Sebagai contoh, keterbatasan pemahaman tentang penyebab yang mungkin dari perbedaan data tingkat kelahiran yang dihasilkan menurut Sensus Penduduk dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia telah mengakibatkan kebingungan di kalangan pengguna data yang tak memiliki pemahaman teknik estimasi. Ini menghasilkan perdebatan tentang data mana yang akan digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan pembangunan.
Perwujudan data berkualitas untuk Indonesia Maju memerlukan beberapa strategi berikut. Pertama, menguatkan proses data melalui penguatan Sistem Statistik Nasional dan Pusat Data dan Informasi K/L. Kedua, meningkatkan kualitas produk data agar menghasilkan data berkualitas.
Ketiga, menguatkan produsen data agar menggunakan standar, definisi, klasifikasi, satuan, dan asumsi yang sama atau disepakati berdasarkan konsensus bersama. Keempat, menguatkan pengguna data melalui peningkatan akses terhadap data berkualitas. Kelima, meningkatkan kapasitas pemanfaatan data untuk perencanaan pembangunan. Keenam, meningkatkan penyusunan kebijakan, pengambilan keputusan, serta pelaksanaan dan evaluasi program berdasarkan data berkualitas.
(Omas Bulan Samosir Associate Professor FEB UI, Peneliti Senior Lembaga Demografi FEB UI)
Sumber: Kompas, 29 September 2020