Iklim tropis basah Indonesia menjadi surga bagi flora dan fauna. Beraneka jenis tumbuhan kemudian dipilih menjadi tanaman pertanian dan sumber pangan penduduknya. Namun, kegiatan bertani ini terusik oleh serbuan beragam jenis virus, bakteri, cendawan, dan serangga yang juga berkembang biak dengan subur.
Organisme pengganggu tanaman (OPT) menjadi masalah utama di sektor pertanian karena menyebabkan produksi menurun bahkan menggagalkan panen. Salah satu yang menjadi momok bagi petani adalah hama wereng.
Selama ini, penyakit dan hama tanaman ini dibasmi dengan pestisida sintetis. Penggunaannya secara intensif telah berdampak negatif. Pestisida sintetis ini menjadi residu yang mencemari lingkungan dan membahayakan konsumen. Bukan itu saja, penggunaan bahan sintetis ini berbiaya mahal, karena bahan bakunya harus diimpor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk mengatasi masalah ini pemerintah mencanangkan penggunaan bahan alami yang banyak ditemukan di Indonesia. Penelitian dan pengembangan teknik pengendalian hama yang ramah lingkungan dilakukan periset di Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian untuk menemukan bahan aktif dari berbagai jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi pestisida hayati.
Paling tidak ada 13 jenis tumbuhan yang mengandung bahan dasar pestisida hayati, yaitu mimba (Azadirachta indica), daun wangi (Melaleuca bracteata), selasih (Ocimum spp.), serai (Cymbopogon nardus), cengkeh (Syzygium aromaticum), akar tuba (Deris eliptica), piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium), kacang babi (Tephrosia vogelii), gadung (Dioscorea hispida), tembakau (Nicotiana tabacum), sirsak (Annona muricata), srikaya (Annona squamosa), dan suren (Toona sureni).
”Penggunaan bahan alami pengendali hama tersebut ramah lingkungan karena mudah terdegradasi di alam dan aman bagi konsumen. Pemanfaatan sumber hayati—yang menjadi keunggulan komparatif Indonesia ini—juga dapat menekan biaya penanganan hama hingga meningkatkan daya saing dan kesejahteraan petani,” ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Muhammad Syakir di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Biopestisida ini bukan hanya akan menekan penggunaan bahan sintetis, tetapi juga mendorong kemandirian atau swasembada pestisida. Bahkan, biopestisida berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pengekspor pestisida hayati.
Sesungguhnya, praktik pertanian organik dengan memanfaatkan pestisida alami telah dikenal sejak dahulu. Pembuatannya dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan teknik penyulingan dan mengekstraksi menggunakan air dan bahan pelarut organik lainnya.
Dari 13 jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi biopestisida tersebut, serai wangi terbanyak dibudidaya karena banyak kelebihannya. Selain mudah tumbuh di dataran rendah dan tinggi, tanaman herbal ini tergolong tahan hama.
Daun dan batang serai mengandung bahan pestisida nabati. Dengan cara menyuling, dihasilkan minyak atsiri, yang disebut sitronela. Selain mengandung sitronela hingga 40 persen, serai wangi juga mengandung geraniol, sitral, nerol, metil heptenon, dan diptena. Abu daun serai wangi mengandung sekitar 49 persen silika yang dapat merusak kutikula serangga hingga mematikannya.
Minyak yang sudah lama digunakan masyarakat sebagai pengusir nyamuk, dalam penelitian memang terbukti dapat melindungi kulit dari gigitan nyamuk, termasuk Aedes aegypti lebih dari 80 persen selama sekitar 3 jam. Riset lainnya menunjukkan, minyak sitronela pun berpotensi menjadi fungisida dan bakterisida. Campuran minyak serai wangi dan minyak mimba (azadirachtin) mampu menangkal hama tanaman teh (Plusia sp, Empoasca sp, dan Helopelthis sp), serta menahan serangan hama kakao.
Nanobiopestisida
Penerapan biopestisida di lahan pertanian sayangnya tidak seefektif hasil penelitiannya. Ketika disemprotkan pada tanaman, senyawa ini mudah menguap terkena panas matahari dan tersapu air hujan. Karena itu, peneliti di Balitbang Pertanian melakukan riset lanjutan untuk meningkatkan keandalannya.
Solusinya adalah dengan menerapkan teknologi nano. Riset nanobiopestisida dilakukan di Balitbang Pertanian sejak 2015. Tujuannya untuk menghasilkan formula emulsi yang lebih efektif membasmi hama. Sebagai partikel berukuran nano atau sama dengan seperseribu mikron atau seperjuta milimeter, maka bahan aktif biopestisida ini dapat langsung masuk ke jaringan tanaman dan ke tubuh hama serangga bahkan virus dan bakteri penyakit yang berukuran beberapa mikron.
Sri Yuliani selaku Ketua Tim Peneliti Nanobiopestisida di Laboratorium Nanoteknologi Balai Besar Pascapanen Pertanian sejak 2012 merintis penerapan nanoteknologi ini. Dalam risetnya, ia menerapkan teknik pengecilan ukuran partikel ekstrak minyak sereh wangi hingga berukuran nano.
Caranya dengan menggunakan mesin pengaduk, disebut ultra-turrax untuk mengaduk minyak, air pada putaran tinggi hingga menghasilkan emulsi yang homogen berukuran partikel dalam ordo mikrometer. Setelah itu, diproses menggunakan alat pencampur bertekanan tinggi (high pressure homogenizer) untuk menghasilkan emulsi berukuran nanometer. Tekanannya berkisar 300-500 bar.
Menurut Sri Yuliani, teknik energi tinggi ini tidak dapat diberikan kepada industri kecil dan menengah karena harga alatnya mahal. Karena itu, timnya mengembangkan teknik berenergi rendah. Pada teknik ini dilakukan difusi minyak secara spontan ke dalam air, menggunakan alat pencampur yang putarannya 700 rpm. Untuk menghasilkan formulasi stabil berukuran nano, ditambahkan pengemulsi yang menguatkan ikatan partikel air dan minyak. Ketiganya harus dengan rasio yang tepat.
Teknik pembuatan emulsi (emulsifikasi) nanobiopestisida tersebut baik untuk energi tinggi dan rendah serta formulasi
emulsi nano tersebut, kini dalam proses pendaftaran paten. Sekarang ini penggunaannya dalam skala uji coba di lapangan masih dalam rezim rahasia dagang. Dibandingkan dengan biopestisida konvensional, nanobiopestisida ini dapat menekan 10 persen penggunaan konsentrasi minyak sereh.
Diseminasi kepada usaha kecil menengah dilakukan untuk pengenalan teknik pembuatan formula dengan energi rendah. Caranya relatif mudah, yaitu cukup menggunakan mixer untuk membuat jus atau pengaduk yang menyerupai baling-baling. Untuk 1 liter diperlukan waktu pengadukan 30 menit.
”Tahun ini akan dtingkatkan teknik proses dengan kapasitas hingga 50 liter, dengan putaran yang harus disesuaikan,” ujar Sri Yuliani.
Riset tersebut masih sebatas untuk minyak sitronela. Apabila digunakan minyak atsiri yang lain, diperlukan modifikasi formula karena sifat zatnya yang berbeda. Bahan aktif yang akan diteliti selanjutnya adalah minyak eugenol dari cengkeh dan minyak limonen atau sitrus dari jeruk.
Uji coba nanobiopestisida di lapangan dilakukan Rita Noveriza dan Agus Kardinan dari Balai Besar Penelitian Pascapanen Balitbang Pertanian. Pada 2016-2017, nanobiopestisida dari serai wangi ini dicobakan pada penyakit mati pucuk tanaman kakao di Pariaman dan Payakumbuh, Sumatera Barat, serta untuk penyakit mosaik virus tanaman nilam dan vektornya di Lembang, Jawa Barat dan Pandeglang, Banten. ”Nanobiopestisida juga dicoba pada tanaman jahe untuk mengatasi hama bakteri layu daun,” kata Rita.
Hama dan penyakit yang dapat dikendalikan dengan nanobiopestisida ini adalah penggerek buah jeruk, lalat buah, kutu putih, kutu dompolan, kutu sisik, kutu afid, dan hama trips, serta cendawan vaskular stick die-back.
Formula nanobiopestisida ini akan diserahkan kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di tiap provinsi untuk diaplikasi oleh petani dalam skala terbatas. ”Tahun ini kami akan melakukan diseminasi di Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. Selanjutnya akan dicari mitra untuk memproduksi skala komesial,” ujar Agus Kardinan.–YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 12 Februari 2018