BANYAK ahli mengecam makin banyaknya gas karbon dioksida yang dilepaskan industri ke atmosfer karena menyebabkan terjadinya efek rumah kaca yang kemudian membuat suhu permukaan bumi semakin meningkat. Tetapi sejumlah ilmuwan lainnya mencoba melihat sisi positif dari semakin meningkatnya karbon dioksida dan kemampuan alam menyerap gas itu.
Sebuah tim yang terdiri dari 17 ilmuwan berbagai disiplin, dari berbagai universitas dan lembaga penelitian di Amerika Serikat, membuat fasilitas penelitian dekat Rhinelander, di negara bagian Wisconsin. Mereka melakukan uji coba dampak kombinasi ozon dan karbon dioksida pada tegakan hutan.
”Meningkatnya konsentrasi karbon dioksida di atmosfer diharapkan mempunyai dampak besar pada vegetasi hutan, termasuk perubahan reaksi pohon terhadap tekanan lingkungan,” kata pimpinan proyek itu David Karnosky, ahli genetika dari School of Forestry and Wood Products, Michigan Technological University (MTU), dalam siaran persnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Karnosky, di masa depan hutan akan menghadapi keadaan konsentrasi tinggi karbon dioksida dalam troposfer dan kaitannya dengan polutan lainnya. Salah satu polutan ini ialah ozon troposfer yang meningkat jumlahnya dengan laju 1-2 persen per tahun.
”Meningkatnya karbon dioksida telah diketahui meningkatkan pertumbuhan tanaman, tetapi meningkatnya ozon memberikan dampak kebalikannya, yaitu mengurangi laju fotosintetis dan membatasi pertumbuhan tanaman,” ujar Karnosky.
Manfaat
Penelitian pesanan Southern Global Change Program mengindikasikan ada manfaat meningkatnya konsentrasi CO2 dalam atmosfer yaitu meningkatkan pertumbuhan pohon. Penelitian yang dilakukan terpisah oleh empat tim ilmuwan berbeda menyajikan kesimpulan yang sama, meningkatnya karbon dioksida memberikan manfaat pada tegakan pohon kayu HTI.
”Apa yang kami temukan sejauh ini, pohon pinus lebih baik dalam beradaptasi pada keadaan naiknya CO2 dibandingkan jenis pohon lainnya, walaupun jenis pohon lainnya memberikan respons positif, ” kata Dr Bob Teskey, guru besar Warnell Fakultas Sumber Daya Hutan, University of Georgia.
Teskey, bersama dengan koleganya di North Carolina, Alabama, Mississippi dan Oklahoma, meneliti respons pinus loblolly terhadap meningkatnya konsentrasi karbon dioksida dan menghasilkan sejumlah pengukuran fotosintetis, respirasi, dan pertumbuhan yang rinci dan ekstensif dalam berbagai kondisi percobaan.
Teskey dan koleganya ingin mengetahui apakah manfaat meningkatnya CO2 ada batasnya dan apakah manfaat ini dipengaruhi tekanan lain pada tanaman seperti meningkatnya suhu udara. Untuk dua pertanyaan itu, hasil sementara yang mereka dapatkan menunjukkan hal yang baik.
Menurut mereka diperlukan waktu ratusan tahun untuk secara perlahan menaikkan konsentrasi CO2 memberikan dampak maksimum untuk pertumbuhan pinus. Dan manfaat dari kenaikan CO2 lebih besar dibandingkan kerugian dari naiknya suhu global.
Dampaknya pada tanaman pinus antara lain meningkatnya panjang cabang, berat kering cabang, biomasa total tanaman dan pertumbuhan akar. Jumlah daun juga meningkat tetapi pertumbuhan individu sama. Mereka juga mengkhawatirkan dampak pencemaran ozon yang bisa menurunkan fotosintesis.
Kalau para ilmuwan di Universitas Georgia meneliti pohon pinus di alam, percobaan dalam rumah kaca di universitas yang sama meneliti sweetgum, di Mississippi mengukur respons pembungaan tanaman dogwood.
Menahan
Potensi plankton di lautan sudah lama diketahui mampu menyerap karbon dioksida yang dilepaskan akibat pembakaran bahan bakar fosil. Sebanyak 37 ilmuwan dari 13 lembaga penelitian di AS, Inggris, dan Meksiko, membuktikan sedikit saja pemberian besi sebagai pupuk bisa meningkatkan pertumbuhan plankton pesat sekali.
Memang sudah lama para ilmuwan memperkirakan kekurangan zat besi bisa memberikan dampak pada sekitar 20 persen lautan di dunia. Penelitian yang dibiayai oleh National Science Foundation menunjukkan sedikit penambahan zat besi memberikan reaksi biologis yang besar. Hasil penelitian itu dipublikasikan dalam jumal Nature edisi 9 Oktober 1996.
Dengan menggunakan kapal laut penelitian oseanografi IranEx II, dioperasikan oleh ilmuwan dari Moss Landing Marine Laboratories (MLML), California, ke-37 ilmuwan itu ”memupuk” jalur laut 800 mil dari Kepulauan Galapagos dengan zat besi.
Sebanyak 500 kilogram zat besi dimasukkan dalam kawasan penelitian, sehingga meningkatkan konsentrasi besi dalam air laut hingga 100 ppt. Kemudian perlakuan itu diteliti kembali setelah 18 hari.
Hasilnya, fitoplankton asli kawasan itu yang lapar besi, memberikan respons cepat sekali. Jumlah fitoplankton meningkat dua kali lipat setiap harinya. Para ilmuwan melakukan pengukuran kontinu dan melakukan pengambilan contoh di lokasi sepanjang 24 jam.
”Dalam jangka, waktu dua minggu, telah tumbuh kurang lebih dua juta pon fitoplankton, berarti terjadi pertumbuhan hingga tiga puluh kali,“ kata Kenneth Coale dari MLML.
”Bersamaan dengan itu, cepatnya pertumbuhan plankton dengan cepat juga mengambil karbon dioksida dari permukaan air laut. Setelah 10 hari, konsentrasi karbon dioksida turun 20 persen dibandingkan sebelumnya,” ungkap Coale.
Kawasan perairan dalam percobaan ini dibuat mewakili 20 persen kawasan permukan laut. Kawasan itu disebut perairan high nitrate, low chlorophyll (HNLC-nitrat tinggi, rendah klorofil). ”Percobaan ini kuat sekali mendukung hipotetis kawasan ini tidak menumbuhkan banyak fitoplankton karena kekurangan zat besi,” kata Don Rice, direktur program kimia oseanografi NSF.
Penelitian itu, seperti dilaporkan dalam Nature berhasil menarik 2.500 ton karbon dioksida sebelum kawasan itu terpecah oleh ombak. ”Terbukti dengan sedikit menambahkan zat besi pada kawasan HNLC bisa menarik karbon dioksida dan mempengaruhi iklim,” kata Coale.
Apakah dengan menambahkan besi ke lautan yang kurang produktif bisa menahan perubahan iklim akibat perbuatan manusia? Sayangnya, perhitungan untuk kawasan Pasiflk di khatulistiwa, seperti dilaporan dalam Nature, menunjukkan pupuk zat besi tidak bisa menahan pertambahan karbon dioksida secara nyata.
Nitrogen
Sejumlah ilmuwan berharap kelebihan nitrogen sebagai bagian dari emisi pembakaran bahan bakar fosil bisa mendorong pertumbuhan tanaman dan kemudian tanaman bisa menyerap sejumlah karbon dioksida di atmosfer untuk menurunkan pemanasan global.
Tetapi dua ilmuwan David Wedin dari Universitas Toronto dan David Tilman Universitas Minnesota menyimpulkan, seperti dilaporkan dalam jumal Science edisi 6 Desember 1996, skenario itu tidak bisa terjadi.
Ketika mereka melakukan percobaan dampak penambahan nitrogen pada padang rumput, mereka dapati kadar nitrogen rendah merangsang pertumbuhan rumput dan jumlah karbon dioksida di kawasan yang didominasi oleh rumput musim panas yang asli dari sana, hasilnya berbeda jika kawasan itu didominasi oleh rumput musim dingin yang tidak asli. Kawasan dengan rumput tidak asli itu kehilangan nitrogen yang ditambahkan dan menunjukkan tidak terjadi penyerapan karbon dioksida netto.
Malahan lebih jauh lagi, penambahan nitrogen dalam jumlah sedang maupun tinggi rumput asli musnah, keanekaan vegetasi di sana turun tajam dan kemampuan padang rumput menyerap dan menyimpan karbon dioksida hilang.
Kedua peneliti itu menghabiskan waktu selama 12 tahun meneliti efek penambahan nitrogen di 162 plot di tiga padang rumput di Minnesota. Biasanya padang rumput kandungan nitrogennya rendah dan bervariasi tergantung faktor lain seperti karbon tanah dan komposisi tanamannya. Selain menambahkan nitrogen, mereka juga menambahkan sejumlah nutrien lain yang kemungkinan bisa menghambat pertumbuhan dan mengendalikan pH tanah untuk mengisolasi dampak akibat manipulasi jumlah nitrogen.
”Kami tidak tahu apakah hasil ini juga sama terjadi di ekosistem hutan karena mereka bisa menyimpan karbon lebih banyak dibandingkan padang rumput jika ingin digunakan sebagai penyerap karbon, ” kata Tilman.
Tetapi hasil lain penelitian mereka, penambahan nitrogen menjadi ancaman hilangnya keanekaan hayati, meningkatkan jenis pendatang dan merusak fungsi ekosistemnya. Padahal semakin lama polusi nitrogen terus bertambah sejalan dengan meningkatnya populasi manusia.
Jika melihat kenyataan pemanasan global masih terus berlangsung, walaupun bisa ditahan secara alami sebagai reaksi alam terhadap perubahan itu, tetapi tidak besar artinya. Karena itu lebih baik manusia lebih sadar agar mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, menggantikannya dengan sumber energi lainnya yang tidak merusak lingkungan. (sur)
Sumber: Kompas, tanpa diketahui tanggal terbitnya