Nur Yanayirah bahagia ketika mengetahui dia hamil pada 2011, dua tahun setelah menikah. Namun, kebahagiaan itu mendadak sirna karena di usia kehamilan 26 minggu, janin yang dikandungnya meninggal. Ia akhirnya harus melahirkan anaknya dengan metode induksi yang traumatis. Hidup Yana pun mendadak berubah.
Perempuan itu kehilangan gairah hidup, kerap mengigau, dan mimpi buruk. Dia kerap menggendong bantal saat malam seolah itu anaknya dan mendengar suara bayi.
Lima bulan setelah keguguran, Yana kembali hamil. Namun, dia masih diliputi rasa cemas dan mimpi buruk. Yana sempat mengalami perdarahan tiga bulan, sehingga harus beristirahat total. Dia dibayangi ketakutan akan kehilangan anaknya untuk kedua kali, sehingga terserang panik, jantung berdetak kencang, dan sesak napas tiap kali periksa kandungan ke rumah sakit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Janin yang dikandung Yana ikut stres. Air ketubannya keruh dan hampir habis. Akhirnya, dia melahirkan bayi perempuan dan diberi nama Hana Nabila lewat operasi sesar, 17 Januari 2013.
Setelah melahirkan Yana tenggelam dalam emosi negatif. Lingkungan sekitar membuatnya kian terpuruk dengan stigma. Yana disebut belum sempurna sebagai ibu karena melahirkan secara sesar. Ia juga tak mendapat dukungan untuk menyusui anaknya dari rumah sakit.
Setelah operasi, Yana hanya diberi obat pereda nyeri sekali sehingga ia kesakitan dan tak bisa bergerak beberapa hari. Komentar negatif dari mereka yang menjenguknya membuat jiwanya terluka. “Mereka bilang bonding (ikatan atau kedekatan) saya dengan anak kurang, badan saya gemuk setelah melahirkan, mengapa anak saya tak diberi susu formula. Saya merasa jadi ibu yang buruk,” katanya.
Emosi negatif pada diri Yana menumpuk sehingga muncul keinginan menyakiti diri sendiri dan bayinya. Selama Hana berusia 4-6 bulan, Yana beberapa kali mencoba bunuh diri.
Pada percobaan bunuh diri terakhir, dia seperti mendengar suara menyuruhnya mengakhiri hidupnya dan bayinya. Saat petang dan hujan, ia membawa bayinya ke danau tanpa memakai payung atau jaket. Upaya bunuh diri itu gagal saat suaminya berhasil menjemputnya ke danau.
Atas anjuran temannya, dia ikut konseling dengan Komunitas Peduli Trauma. Dia merasa didengarkan dan tak mendapat stigma. Lalu, dia ikut konseling dan terapi dengan psikolog klinis bersama suaminya dan diajarkan mengungkapkan perasaannya.
Kenali gejala
Apa yang dialami Yana ialah depresi, kondisi atau penyakit dengan gejala rasa sedih berkepanjangan dan kehilangan minat beraktivitas yang biasanya disukai, diikuti ketidakmampuan menjalankan kegiatan sehari-hari setidaknya selama dua minggu. Depresi bisa terjadi pada siapa pun dan bukan kelemahan karakter. Kehilangan orang dicintai, kehilangan pekerjaan, kegagalan mencapai apa yang diinginkan, penyakit kronis, dirundung di media sosial, bencana alam, dan perang bisa memicu depresi.
Mereka yang depresi jadi kurang aktif, nafsu makan menurun, gangguan tidur, cemas, sulit konsentrasi, tak bisa membuat keputusan, merasa tak berharga, bersalah, putus asa, diikuti keinginan melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri.
Jika tidak diobati, depresi bisa berakibat serius, yakni meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, dan stroke, akibat perubahan pola makan dan tidur. Bahkan, depresi berat meningkatkan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular dan stroke. Depresi berat juga mengarah pada risiko bunuh diri.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis tahun 2007 memperkirakan ada 9,1 juta orang mengalami depresi di Indonesia atau 3,7 persen dari total populasi. Prevalensi depresi terendah ada di Provinsi Lampung (1,2 persen) dan tertinggi di Sulawesi Tengah (11,2 persen).
Menurut psikolog klinis dari Ikatan Psikolog Klinis-Himpunan Psikologi Indonesia, Pelita Sinaga, yang berperan paling penting mengatasi depresi ialah lingkungan sekitar. Contoh lingkungan terdekat ialah keluarga. Bagi remaja, teman sebaya termasuk lingkungan terdekat. “Kalau ada masalah, cobalah ngobrol, curhat, cerita dengan keluarga,” ujarnya.
Lingkungan terdekat pun perlu memahami gejala depresi agar bisa cepat menolong jika menemukan gejala itu pada anggota keluarga. Gejala paling mudah diamati ialah ada perubahan pada rutinitas. Orang dengan depresi biasanya tak berminat menjalani apa yang mereka sukai.
Setelah keluarga, lingkungan sekitar adalah rekan kerja ataupun teman sebaya. Obrolan dengan rekan sekerja, misalnya tak terbatas pada masalah yang kita hadapi. Ada banyak topik obrolan lain di luar masalah yang dihadapi atau soal pekerjaan.
Dengan bercerita, mencurahkan kegundahan hati kepada mereka yang dekat dan paling kita percaya, itu adalah sarana mengeluarkan atau mengekspresikan emosi negatif yang dialami.
Masalahnya, orang tempat kita bercerita kerap tak menyadari kita sedang terkena depresi. Secara fisik, mereka mendengarkan, tetapi secara jiwa mereka tak hadir. Bahkan, ada yang menganggap remeh persoalan yang kita hadapi. “Berikan respons positif pada orang dengan gangguan depresi yang berbagi cerita dengan anggukan, senyuman, tatapan, atau tepukan saat berkomunikasi,” ujar Pelita.
Apabila sulit tatap muka langsung untuk bercerita dengan keluarga atau rekan sekerja, maka komunikasi tak langsung lewat telepon, panggilan video, pesan singkat, atau media sosial bisa jadi cara alternatif. Menulis status di media sosial juga berfungsi sebagai kanal menyalurkan perasaan, tetapi itu bisa menimbulkan stigma dan perundungan dari mereka yang berkomentar.
Hidup itu perlu bahagia. Jika menghadapi masalah, berceritalah dengan orang terdekat. Kita tak sendirian di dunia ini. Di sisi lain, jangan pernah menyepelekan emosi negatif tak terungkapkan. Segera salurkan itu dan beranjak dari masalah.–ADHITYA RAMADHAN
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 April 2017, di halaman 6 dengan judul “”Curhat” Membuat Kita Sehat”.