Dibandingkan beberapa negara jelas masyarakat Indonesia paling rendah kedisiplinannya. Jadi mari kita gunakan momen Covid-19 ini untuk memperbaiki disiplin bangsa.
Saya pernah tinggal di Jerman selama hampir enam tahun untuk studi hingga S-3. Ditambah beberapa kali kunjungan riset selama hampir satu tahun, praktis tujuh tahun saya habiskan di negara pencinta sepak bola ini. Selama di Jerman saya mendapat kesan, masyarakat Jerman sangat disiplin.
Hanya di Jerman, saya melihat penyeberang jalan berdiri di lampu merah menunggu lampu hijau di tengah malam, saat jalan raya sudah sepi. Kolega-kolega periset tamu di institut saya—yang berasal dari negara lain—biasanya suka mengeluh karena pemilik apartemen mereka terlalu perfeksionis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jerman
Sangat cerewet terhadap kebiasaan tamu yang tidak disiplin memisahkan sampah, yang saking sibuknya riset di laboratorium lupa membersihkan balkon apartemen, atau yang lupa mengembalikan pengisap debu ke tempat semula. Pokoknya, semua dituntut disiplin. Alles muss in Ordnung sein, inilah prinsip Jerman.
Sebagai dosen, saya sering bercerita ke mahasiswa, pengalaman saya kuliah di Jerman lebih dari seperempat abad lalu. Di sana, seminar institut dijadwalkan pukul lima sore saat perkuliahan sudah selesai agar semua dapat hadir. Meski tidak diwajibkan, hampir setiap seminar full house. Para staf pengajar rata-rata pulang antara pukul enam dan tujuh sore.
Tidak ada mesin pencatat kehadiran bagi dosen dan mahasiswa, tetapi mayoritas disiplin hadir. Di kampus saya saat ini, meski tergolong kampus top, ironisnya seminar departemen harus diset pukul satu siang dan mahasiswa wajib hadir. Itu pun minim kehadiran dosen.
Dapat dibayangkan jika seminar dijadwalkan pukul lima sore dan mahasiswa tidak diwajibkan. Bisa jadi hanya hadir pembicara dan moderator.
Amerika Serikat
Selesai studi di Jerman, saya menginjakkan kaki di negara ”Paman Sam”, melanjutkan petualangan riset. Tidak tanggung-tanggung, kampus saya adalah The George Washington University, asrama saya di Mitchell Hall yang hanya berjarak dua blok dari Gedung Putih.
Di negara ini saya bisa menarik napas agak lega, kehidupan agak lebih santai. Penduduknya pun lebih ramah. Kehidupan di kampus? Standarlah, relatif santai. Namun, saya selalu ingat kalimat mendiang pembimbing saya di GWU menjelang dia pulang kerja: ”Terry, don’t work too hard. This is five o’clock p.m. You have to enjoy your life.”
Para profesornya sangat membesarkan hati ilmuwan pemula seperti saya. Saya betah di sana, kampusnya kecil, semua penghuni departemen ramah dan saling kenal. Tetapi, yang paling penting, saya perlu suasana agak santai untuk mengembangkan imajinasi fisika teori.
Jepang
Kolaborasi riset berkembang. Tahun 1999 saya terbang ke Okayama, Jepang. Saya berkenalan dengan keramahan budaya Timur yang berbeda dengan Barat. Inilah keramahan Timur yang seharusnya dipelajari. Namun, di balik keramahan tersebut tersimpan etos kerja serta disiplin yang luar biasa. Inilah negara yang penghuninya sangat perfeksionis, pikir saya.
Suatu ketika, saya dan kolega Jepang menemukan semacam bug di dalam program Fortran yang saya buat. Saat itu sudah pukul tujuh malam, saya mulai lapar. Namun, saya perhatikan kolega dan mahasiswanya menunggu di belakang kursi saya, tidak bicara sepatah pun, seolah mengisyaratkan: ”Kami menunggu program itu selesai sekarang juga.”
Untunglah pukul sembilan malam sumber bug ditemukan dan pukul 10 kami makan malam bersama di restoran. Sebelum beranjak dari kampus, saya masih bisa mengintip para mahasiswa pascasarjana asuhan Sensei itu belum ada yang pulang, masih sibuk membolak-balik buku, entah buku apa. Inilah etos kerja yang diajarkan di kampus Jepang. Detik itu juga saya bersyukur, tidak mengambil S-3 di Jepang!
Saya salut pada para lulusan Jepang yang sekembalinya ke Tanah Air masih mempertahankan semangat kerja dan disiplin Jepang untuk jangka waktu lama meski saya tahu pada akhirnya tidak ada satu pun yang tahan dengan proses pembusukan akademis yang persis seperti reaksi oksidasi pada besi!
Ketika kolega lain, profesor dari Bochum, Jerman, ikut bergabung ke Okayama, dia menggeleng-gelengkan kepala. Dia mengatakan: ”Dulu kami merasa bahwa kamilah pekerja paling disiplin di planet ini. Namun, jika melihat bagaimana orang Jepang bekerja, klaim itu sepertinya harus kami cabut.”
Dia senang sekali berkunjung ke Jepang, terutama jika melihat segala sesuatu dikerjakan dengan sangat sempurna hingga ke detail-detailnya.
Perbandingan antarnegara
Pulang ke Indonesia, saya merasa inilah tempat tinggal yang paling santai, menyenangkan, kecuali jika ingin mengejar prestasi para kolega di tiga negara maju tersebut. Belakangan saya seperti diingatkan, setelah melihat pergerakan kasus positif Covid-19 di keempat negara.
Tampak jelas bahwa disiplin suatu bangsa sangat kuat korelasinya dengan prestasi bangsa dalam memerangi virus ini. Memang tidak relevan membandingkan Indonesia dengan ketiga negara maju itu, sama tidak relevannya membandingkan Indonesia dengan negara-negara non-demokratis dalam memerangi Covid-19. Namun, perbandingan kasus positif di ketiga negara maju ini layak menjadi pelajaran bagi kita.
Jarang kita mendengar pujian terhadap Jepang yang berhasil melewati puncak wabah ini dengan jumlah korban sedikit. Tidak seperti Jerman, yang kanselirnya sering dipuji langkahnya cepat dan akurat melokalisasi penyebaran Covid-19, Jepang jarang terdengar.
Padahal, berbeda dengan Jerman, Jepang adalah negara pertama yang terdampak virus ini setelah China. Selain lokasi berdekatan, statistik menunjukkan Jepang dikunjungi 9,6 juta turis China pada 2019, 10 kali lebih banyak dibandingkan 2007 atau lima kali lebih banyak dari yang ke Indonesia.
Meski ada kecurigaan rendahnya tes swab di Jepang, budaya memakai masker, mencuci tangan, dan membungkuk sebagai pengganti berjabatan tangan diyakini banyak ahli sebagai kuncinya. Kebiasaan orang Jepang memakai masker saat flu serta tersedianya hand sanitizer di depan lift atau resepsionis hotel adalah faktor lainnya.
Deutsche Welle memberitakan, pemakaian masker di Jepang sebelum wabah Covid-19 ada 5,5 miliar per tahun, atau 43 masker per kepala. Pemakaian masker meroket setelah pandemi. Dengan disiplin tinggi mematuhi ketiga hal itu, Jepang dengan cepat mengatasi wabah ini, dengan jumlah kasus positif hampir sepersepuluh Jerman, tanpa karantina wilayah. Situasi yang sangat kontras terjadi di Amerika.
Indonesia
Bagaimana Indonesia? Perasaan saya saat ini mungkin sama dengan mayoritas warga yang sudah tiga bulan mengurung diri di rumah, berkegiatan dari rumah, dan berusaha untuk tidak tergoda mengakhiri pembatasan sosial sepihak. Perasaan kesal saya mungkin sama dengan yang lain ketika melihat mereka-mereka yang dengan santainya mulai berwisata tanpa masker, tanpa pembatasan jarak, dan bahkan menganggap Covid-19 sebagai konspirasi. Mereka inilah penyebab sebenarnya pembatasan sosial semakin lama.
Bisa jadi perbedaan jumlah tes swab di empat negara tersebut merupakan penyebab perbedaan jumlah absolut kasus positif Covid-19. Namun, perbedaan budaya dan kedisiplinan warga mencegah penyebaran virus jadi jawaban dari perbedaan pola penambahan kasus positif.
Jelas, kita yang paling rendah kedisiplinannya. Jadi mari kita gunakan momen Covid-19 ini untuk memperbaiki disiplin bangsa.
Terry Mart, Fisikawan UI dan Anggota AIPI.
Sumber: Kompas, 25 Juni 2020