Penyebaran Covid-19 yang sangat cepat ke penjuru dunia memicu meningkatnya xenofobia terhadap warga asal China dan mereka yang ”berwajah Asia”. Ini tak boleh dibiarkan karena akan mengganggu upaya mengatasi wabah ini.
Seiring penyebaran virus korona baru ke penjuru dunia, kasus diskriminasi dan sikap rasisme terhadap warga asal China, bahkan keturunan Asia, pun meningkat. Di sejumlah negara, mahasiswa asal China menghadapi cercaan, bahkan penolakan.
Di Filipina, Universitas Adamson, Manila, pada Februari lalu meminta semua mahasiwa asal China melakukan karantina mandiri selama 14 hari untuk mencegah penyebaran virus korona baru. Di Amerika Serikat dan Australia, sejumlah universitas mencegah mahasiswa asal China kembali ke kampus setelah musim liburan terkait virus korona baru. Bahkan, Papua Niugini menutup perbatasannya dari orang-orang yang berasal dari Asia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah restoran di Korea Selatan, Jepang, dan Vietnam menolak pembeli dari China. Di Inggris lebih parah lagi, seorang mahasiswa di University College London dari Singapura diteriaki ”coronovirus” ketika sedang berjalan seorang diri dan kemudian diserang hingga terluka. Kasus serupa terjadi di Toronto, Kanada. Penyerangan juga dialami seorang mahasiswa asal China di Universitas Glasgow, Skotlandia, dan seorang mahasiswa keturunan China di Belanda.
Kasus virus korona baru telah memicu meningkatnya xenofobia (ketakutan terhadap orang asing) terhadap warga asal China dan Asia di dunia. Meski Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan nama Covid-19 untuk menyebut penyakit yang disebabkan virus korona baru tersebut, tetap saja masih banyak yang mengasosiasikan penyakit ini dengan Wuhan dan China, tempat pertama kali ditemukan virus ini pada Desember 2019. Sejumlah media juga masih ada yang menyebut ”virus korona dari Wuhan” dalam pemberitaannya.
Ketakutan dan kepanikan akan terinfeksi virus yang penyebarannya sangat cepat dan belum ada penangkalnya ini menjadi salah satu pemicu peningkatan xenofobia terhadap China. Ini juga terjadi saat wabah ebola pada 2014-2016 yang menimbulkan sentimen rasisme terhadap orang Afrika. Meski informasi tentang virus korona baru semakin banyak, informasi palsu atau hoaks terkait virus ini juga banyak sehingga menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.
Menurut Jun Wen, dosen di Universitas Edith Cowan, Australia, yang meneliti diskriminasi terkait virus korona baru, ketakutan dan kepanikan tersebut dapat menyebabkan perilaku tidak rasional dan bahkan melanggar hukum. Secara khusus, sebagaimana dikutip di situs Times Higher Education, Wen menyebut, kesalahpahaman yang luas dan kesalahan pemberitaan di media telah memicu diskriminasi terhadap warga dari China.
Di Barat, berdasarkan penelitian Cary Wu, asisten profesor di Departemen Sosiologi Univeritas York, Kanada, munculnya penolakan dan serangan terhadap warga asal China dan mereka yang ”berwajah Asia” saat ini berakar pada sejarah diskriminasi terhadap orang-orang China dan Asia dalam budaya dan masyarakat Barat. Ada stereotip terhadap orang China yang minoritas di sana.
–Nama penyakit yang terkait dengan tempat.
Mempromosikan keberagaman
Meski telah berlangsung sejak dahulu dan kini meningkat bersamaan dengan merebaknya virus korona baru ini, kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan. Wu mengajak kalangan universitas untuk ”mengutuk dan menghukum” segala bentuk perilaku diskriminatif, termasuk xenofobia ini.
Direktur Regional Amnesty International Nicholas Bequelin, seperti dikutip dari Amnesty.org, meminta pemerintah seluruh dunia untuk mengambil tindakan zero-tolerance terhadap tindakan rasis dengan target warga asal China dan Asia. Satu-satunya cara dunia dapat memerangi wabah Covid-19 ini melalui solidaritas dan kerja sama lintas batas. Diskriminasi dan xenofobia dapat menganggu upaya memerangi penyakit ini.
Dalam jangka panjang, menurut Wu, kalangan universitas harus membangun dan merancang langkah-langkah efektif berdasarkan pengetahuan ilmiah untuk melawan xenofobia. Termasuk di sini mempromosikan keragaman di lingkungan sivitas akademika, menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendorong interaksi antar-ras, serta membangun program yang membantu siswa untuk mengatasi dampak psikologis dari serangan rasial.
Wen menyarankan adanya keragaman kurikulum dan jalur komunikasi di kalangan sivitas akademika untuk mengatasi dan mencegah xenofobia ini. Selain itu, kalangan akademisi punya tanggung jawab untuk menyoroti pemberitaan media yang tidak akurat.
Pada akhirnya, peran media memang sangat vital dalam kasus ini. Media yang profesional dan bertanggung jawab akan menyampaikan informasi yang akurat dan dapat diandalkan sehingga masyarakat dapat memahami dengan benar Covid-19 ini, selain juga untuk melawan meningkatnya hoaks. Pada saat krisis, penyebaran konten palsu dan disinformasi yang masif dapat memiliki efek menghancurkan.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pun menyerukan kebebasan berekspresi dan akses informasi kepada publik, terutama tentang kesehatan masyarakat, untuk melawan wabah Covid-19 ini. Liputan berita yang berkualitas dari media yang bebas dan independen sangat penting untuk menghadapi krisis kesehatan saat ini.
Oleh YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 26 Maret 2020