Gerhana Matahari cincin akan kembali terjadi di Indonesia pada Kamis, 26 Desember 2019. Cincin api di langit itu akan bisa disaksikan dari wilayah utara Kalimantan, Riau kepulauan dan daratan, serta barat Sumatera Utara.
Namun, jangan bayangkan gerhana Matahari cincin akan seperti gerhana Matahari total yang melintasi sebagian wilayah Indonesia pada 9 Maret 2016. Jika saat puncak gerhana Matahari total langit akan menjadi gelap hingga menimbulkan kesan dramatis, saat puncak gerhana Matahari cincin langit akan tetap terang.
Terjadinya gerhana Matahari cincin sama dengan saat gerhana Matahari total, yaitu saat Bulan memasuki daerah bayang-bayang matahari. Pada gerhana Matahari cincin, Bulan sedang berada atau menuju titik terjauhnya dari Bumi. Akibatnya, piringan Bulan yang terlihat dari Bumi akan lebih kecil ukurannya dibanding piringan Bulan yang menutupi Matahari saat gerhana Matahari total.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih kecilnya ukuran piringan Bulan membuat hanya bagian tengah Matahari yang tertutup Bulan. Bagian pinggiran Matahari yang tidak tertutup akan tetap bersinar terang hingga terlihat bagai lingkaran atau cincin api di langit.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN—Foto sekuel, dari kiri atas searah jarum jam, menunjukkan proses terjadinya gerhana matahari cincin yang teramati di Kota Surabaya, Jawa Timur, Senin (26/1/2009).
Meski hanya bagian kecil Matahari yang tersisa, cahaya Matahari masih sangat kuat dan menyilaukan. Itulah yang membuat selama gerhana Matahari cincin langit tidak akan gelap, hanya sedikit lebih redup seperti saat matahari tertutup mendung.
Data Five Millenium Catalog of Solar Eclipse: 1999 to 3000 (2000 BCE to 3000 CE) dari Fred Espenak dan Jean Meeus menunjukkan, selama 5.000 tahun atau antara tahun 2000 Sebelum Masehi dan 3000 Masehi, terjadi 11.898 gerhana Matahari di Bumi. Dibanding gerhana Matahari total, gerhana Matahari cincin lebih sering terjadi.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.200 gerhana atau 35,3 persennya adalah gerhana Matahari sebagian, 3.956 gerhana atau 33,2 persennya adalah gerhana Matahari cincin, dan 3.173 gerhana atau 26,7 persen adalah gerhana Matahari total. Selain itu, ada 569 gerhana atau 4,8 persennya berupa gerhana Matahari hibrida, yaitu perpaduan antara gerhana Matahari cincin dan gerhana Matahari total.
Sementara itu, selama 100 tahun antara tahun 1945 dan 2045, Indonesia mengalami 10 kali gerhana Matahari cincin dan 9 kali gerhana Matahari total. Gerhana Matahari cincin pada 26 Desember 2019 nanti akan menjadi gerhana Matahari cincin ketujuh di Indonesia sejak merdeka. Semua gerhana itu bisa disaksikan dari daratan maupun lautan Indonesia.
Gerhana Matahari cincin terakhir yang bisa disaksikan dari Indonesia terjadi pada 26 Januari 2009 atau sekitar satu dekade lalu. Saat itu, gerhana Matahari cincin bisa disaksikan dari wilayah Lampung, ujung barat laut Banten, Kalimantan Barat bagian selatan, Kalimantan tengah bagian utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi tengah bagian utara.
Sementara gerhana Matahari cincin berikutnya yang bisa dilihat dari Indonesia akan berlangsung pada 20 April 2023. Namun, gerhana yang akan terjadi empat tahun lagi itu adalah gerhana Matahari hibrida, yaitu gabungan antara gerhana Matahari cincin dan gerhana Matahari total. Gerhana ini bisa diamati dari ujung timur Pulau Timor, Pulau Kisar di Maluku Barat Daya, Fakfak dan Teluk Bintuni di Papua Barat, serta Biak di Papua.
Gerak tiga benda
Gerhana Matahari merupakan peristiwa alam biasa yang terjadi sebagai konsekuensi dari gerak Matahari, Bulan, dan Bumi sebagai tiga benda. Gerhana Matahari akan terjadi saat Matahari, Bulan, dan Bumi berada dalam satu garis lurus dengan Bulan berada di tengah antara matahari dan Bumi.
Posisi Bulan yang ada di tengah antara Matahari dan Bumi itu sebenarnya terjadi setiap fase bulan baru atau bulan mati. Pada saat itu, pengamatan hilal untuk menentukan awal bulan kalender hijriah dilakukan. Namun, tidak setiap fase bulan mati akan terjadi gerhana Matahari karena bidang orbit Bulan mengelilingi Bumi miring 5 derajat terhadap bidang orbit Bumi mengelilingi Matahari.
Gerhana Matahari terjadi saat Bulan melintas di depan Matahari terhadap pengamat di Bumi. Akibatnya, cahaya Matahari terhalang oleh piringan Bulan dan Bulan membentuk daerah bayang-bayang berbentuk kerucut.
Bayang-bayang kerucut Bulan itu dibagi dalam dua bagian, yaitu daerah bayangan inti (umbra) dan bayangan tambahan (penumbra). Saat kerucut bayang-bayang Bulan itu menyentuh permukaan Bumi, terjadilah gerhana Matahari. Wilayah Bumi yang tersapu umbra akan mengalami gerhana Matahari total, sedang daerah yang dilalui penumbra akan melihat terjadinya gerhana Matahari sebagian.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO—Peristiwa gerhana matahari cincin terlihat jelas di wilayah Bandar Lampung, Lampung, pada letak 05.21 derajat lintang selatan dan 105.14 derajat bujur timur, pukul 16.41, Senin (26/1/2009).
Namun, perbedaan bidang edar Bulan dan Bumi itu membuat kerucut bayang-bayang Bulan tidak selalu jatuh di permukaan Bumi sehingga tidak setiap bulan mati akan terjadi gerhana. Gerhana Matahari hanya akan terjadi jika Bulan berada di dekat titik pertemuan antara bidang orbit Bulan dan bidang edar Bumi. Saat itulah, Matahari, Bulan, dan Bumi benar-benar berada dalam satu garis lurus.
Selama Bulan bergerak di depan Matahari tersebut, jika seluruh piringan Matahari tertutupi bulatan Bulan, terjadilah gerhana Matahari total. Namun, saat hanya bagian tengah Matahari yang tertutupi Bulan, maka akan berlangsung gerhana Matahari cincin.
Tertutupnya seluruh atau hanya bagian tengah piringan Matahari oleh Bulan sangat ditentukan oleh besaran piringan Bulan dan piringan Matahari. Perubahan ukuran piringan Bulan dan Matahari itu ditentukan oleh perubahan jarak Bulan-Bumi dan jarak Bumi-Matahari. Perubahan jarak antardua benda itu merupakan konsekuensi dari lintasan edar Bulan dan Bumi yang berbentuk elips.
Saat jarak Matahari-Bumi mencapai maksimum atau pada titik terjauhnya (aphelion), Bumi dan Matahari berjarak sebesar 152,1 juta kilometer dan ukuran radius piringan Matahari sebesar 944 detik busur (1 detik busur = 1/3.600 derajat). Adapun pada jarak terdekat Matahari-Bumi (perihelion), jarak Bumi dan Matahari sebesar 147,1 juta km dengan radius piringan Matahari mencapai 976 detik busur.
Sementara saat jarak Bulan-Bumi berada dalam posisi terjauhnya (apogee) pada jarak 405.500 km, radius piringan Bulan dilihat dari Bumi mencapai 882 detik busur. Adapun pada jarak terdekat Bulan-Bumi sejauh 363.300 km, radius piringan Bulan mencapai 1.006 detik busur.
Kombinasi antara jarak Bumi-Matahari dan jarak Bulan-Bumi itulah yang akan menentukan besaran ukuran piringan Matahari dan piringan Bulan saat dilihat dari Bumi. Perpaduan jarak itu juga menentukan jenis gerhana Matahari yang akan terjadi, gerhana Matahari total atau gerhana Matahari cincin. Kombinasi jarak juga akan menentukan ketebalan cincin saat gerhana Matahari cincin.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY—Gerhana Matahari cincin ini difoto pukul 06.57 WIB dari puncak bukit Dolok Simago-mago, Sipirok, Sumut, Sabtu (22/8//1998).
Saat gerhana Matahari cincin berlangsung, Bulan berada atau mendekati titik terjauhnya dari Bumi. Posisi itu membuat ujung bayang-bayang umbra Bulan tidak mencapai permukaan Bumi. Bayang-bayang Bulan yang sampai ke muka Bumi adalah perpanjangan umbra yang disebut antumbra atau antiumbra.
Daerah yang dilintasi antumbra itulah yang bisa menyaksikan gerhana Matahari cincin. Variasi ukuran piringan Bulan dan Matahari yang akan menentukan apakah akan terjadi gerhana Matahari total atau gerhana Matahari cincin.
Akhir tahun
Gerhana Matahari cincin pada 26 Desember 2019 ini akan menjadi gerhana terakhir yang terjadi tahun ini. Sepanjang 2019 terjadi dua kali gerhana Bulan dan tiga gerhana Matahari. Namun, hanya gerhana Bulan sebagian 17 Juli 2019 dan gerhana Matahari cincin 26 Desember 2019 yang bisa dilihat dari Indonesia.
Jalur gerhana Matahari cincin kali ini memiliki lebar sebesar 117-164 kilometer dan terentang sejauh 12.900 kilometer mulai dari tenggara Jazirah Arab, India, Sri Lanka, Sumatera, Singapura, Kalimantan, Filipina, hingga berakhir di barat Pasifik.
Secara keseluruhan, dari mulai terjadinya gerhana Matahari sebagian, gerhana Matahari cincin, hingga berakhirnya gerhana Matahari sebagian kembali, gerhana kali ini akan berlangsung 5 jam 36 menit mulai pukul 09.30 WIB hingga 15.06 WIB. Sementara fase gerhana Matahari cincin berlangsung pukul 10.34 WIB sampai 14.01 WIB atau selama 3 jam 27 menit.
Gerhana Matahari sebagaian akan bermula di wilayah Hofuf, Arab Saudi, sekitar 220 kilometer timur laut Riyadh. Saat gerhana dimulai, Matahari di daerah itu belum terbit. Sembilan menit setelah Matahari terbit, gerhana Matahari cincin pun terjadi. Di tempat itu, gerhana Matahari cincin akan berlangsung selama 2 menit 55 detik.
Selanjutnya, seperti dikutip dari eclipsewise.com, antumbra dari kerucut bayang-bayang Bulan akan bergerak dengan kecepatan 1,1 kilometer per detik ke tenggara Jazirah Arab. Antumbra itu melintasi bagian selatan Qatar dan Uni Emitar Arab, utara Oman, Laut Arab, selatan India, utara Srilanka, dan Teluk Bengala.
KOMPAS/YULVIANUS HARJONO—Menggunakan teleskop Coronado, sejumlah pengunjung antusias menyaksikan gerhana Matahari cincin di Observatorium Bosscha, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (26/1/2009).
Kemudian, jalur gerhana Matahari cincin memasuki sisi barat Sumatera. Wilayah darat Indonesia yang pertama kali menyaksikan gerhana cincin adalah Pulau Simeulue, Aceh. Berikutnya, gerhana akan terjadi di barat Sumatera Utara, Riau, Batam, Bintan, Singapura, wilayah utara Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia, hingga perbatasan Kalimantan Timur-Kalimantan Utara.
Setelah itu, lintasan gerhana akan melalui Laut Sulawesi, Pulau Sarangani di Filipina Selatan, Guam, hingga berakhir di barat Samudera Pasifik. Di wilayah Guam, gerhana Matahari cincin akan berlangsung selama 3 menit 4 detik dan bagian akhir gerhana itu tidak akan bisa disaksikan karena berlangsung setelah Matahari di Guam terbenam.
Meski jalur gerhana terentang jauh, puncak gerhana Matahari cincin 26 Desember 2019 akan terjadi di sekitar Lalang, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau, atau di dekat Pulau Pedang, Meranti, Riau. Di lokasi yang berjarak sekitar 1,5 jam di timur laut kota Siak Sri Indrapura itu, gerhana Matahari cincin berlangsung paling lama selama 3 menit 40 detik dan mencapai puncaknya pukul 12.17 WIB.
Sementara di kota Siak Sri Indrapura, gerhana Matahari cincin berlangsung 3 menit 17 detik. Perbedaan itu terjadi karena kota Siak Sri Indrapura berada agak di pinggir jalur gerhana. Makin ke tengah posisi suatu wilayah dalam lintasan gerhana, makin lama gerhana Matahari cincin yang bisa disaksikan.
Di Indonesia, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut jalur gerhana Matahari cincin akan melintasi tujuh provinsi dan 25 kabupaten/kota di Indonesia. Waktu terjadinya gerhana di masing-masing kota dan wilayah sangat bervariasi. Namun, wilayah barat Indonesia akan mengalami gerhana lebih dulu dibanding wilayah tengah Indonesia.
Meski hanya kota-kota di jalur lintasan gerhana Matahari cincin yang berkesempatan menyaksikan cincin api di langit, semua daerah di Indonesia berkesempatan menikmati gerhana Matahari sebagian. Pada saat gerhana Matahari sebagian itu mencapai maksimum, bagian piringan Matahari yang ditutupi piringan Bulan di seluruh wilayah Indonesia minimal sebesar 40 persen.
Karena itu, semua masyarakat Indonesia di mana pun mereka berada berkesempatan untuk menyaksikan gerhana Matahari sebagian. Jika terlewat, peluang untuk menyaksikan gerhana Matahari berikutnya baru ada empat tahun lagi pada 2023.
Pengamatan aman
Selama seluruh proses gerhana Matahari cincin pada 26 Desember 2019 berlangsung, mulai dari gerhana sebagian, gerhana cincin, hingga gerhana sebagian berikutnya berakhir, sinar Matahari tetap memancar terang ke Bumi. Karena itu, menatap Matahari langsung dengan mata telanjang selama gerhana adalah hal terlarang.
Pada hari biasa, sangat jarang orang menatap Matahari langsung dalam waktu lama. Namun, saat terjadi gerhana, orang biasanya secara sadar justru ingin melihat Matahari lama agar tak kehilangan momen gerhana.
Sinar Matahari berlebih yang ditangkap mata bisa merusak retina mata, lapisan terdalam mata yang berfungsi menangkap cahaya dan mengantarkannya ke otak untuk diolah membentuk citra. Di retina terdapat miliaran sel yang sensitif terhadap cahaya. Jika retina terpapar sinar Matahari terlalu banyak, retina akan mengeluarkan zat beracun yang merusak retina.
Jika diibaratkan dengan kamera analog, retina adalah filmnya. Apabila kamera yang berisi film itu dibuka di tempat terbuka, film akan terbakar dan tak bisa dicetak.
Kerusakan retina akibat menatap langsung sinar Matahari dengan mata telanjang dalam waktu lama disebut solar retinopathy. Jika akibat melihat gerhana Matahari, dinamai solar eclipse retinopathy. Kedua kerusakan retina itu bisa memicu kebutaan permanen. Namun, kerusakan itu sering kali tak disadari karena tak menimbulkan nyeri sebagai konsekuensi dari tidak adanya saraf di retina.
Gejala umum solar retinopathy seperti dikutip Kompas, 2 Maret 2016, adalah pandangan buram dan munculnya skotoma atau bayangan hitam yang menutup pandangan mata. Bisa pula terjadi metamorphopsia atau melihat garis lurus menjadi bengkok dan berubahnya ukuran benda menjadi lebih besar atau kecil.
Persoalan lain yang bisa muncul adalah gangguan penglihatan warna, silau, hingga sakit kepala. Semua gejala itu bisa muncul sehari sampai sebulan setelah melihat gerhana.
Dalam banyak kasus, penglihatan penderita solar retinopathy akan kembali normal dalam beberapa bulan. Namun, pada sejumlah pasien, kerusakan retina berlangsung permanen berupa turunnya ketajaman penglihatan maupun menetapnya skotoma. Umur penderita dan lama paparan sinar Matahari sangat menentukan apakah gangguan yang dialami bisa disembuhkan atau tidak.
Untuk mencegah kerusakan retina, pengamatan gerhana Matahari cincin harus dilakukan dengan aman. Kacamata gerhana atau teropong yang dilengkapi filter khusus adalah peralatan yang wajib digunakan untuk melihat Matahari langsung. Meski demikian, kualitas filter harus dipastikan mampu menyaring sinar ultraviolet Matahari.
Penggunaan kacamata hitam biasa yang sering digunakan untuk mengurangi silau Matahari tidak cukup karena dia tidak bisa menyaring sinar ultraviolet Matahari. Demikian juga penggunaan klise film kamera analog yang ditumpuk atau hasil foto rontgen karena kedua alat itu tidak cukup mengurangi intensitas sinar Matahari yang sangat besar.
Jika tidak ada peralatan yang aman untuk melihat gerhana Matahari, penggunaan sejumlah alat proyeksi sinar Matahari lebih disarankan. Alat ini bisa dibuat dari peralatan sederhana yang ada di rumah, mulai dari kardus bekas yang dilubangi, saringan, atau cukup melihat bayangan Matahari di bawah pohon.
Meski gerhana Matahari cincin adalah peristiwa alam biasa, tetapi langka terjadi di daerah tertentu, pengamatan dengan aman tetap harus menjadi pertimbangan utama. Jangan sampai keinginan untuk melihat gerhana yang singkat membuat kita mengabaikan keselamatan yang bakal berdampak panjang bagi kehidupan kita di masa yang akan datang.
Selamat berburu dan menyaksikan cincin api di langit.
Kerabat Kerja: Penulis: M Zaid Wahyudi | Foto: Arbain Rambey, Rony Ariyanto Nugroho, Yulvianus Harjono, Heru Sri Kumoro, Iwan Setiyawan | Videografik: Pandu Lazuardy, Emille Junior | Infografik: Ismawadi, Pandu Lazuardy | Penyelaras Bahasa: Galih Rudanto | Pengolah Foto: Toto Sihono | Produser: Prasetyo Eko P | Desainer & Pengembang: Ria Chandra, Rino Dwi Cahyo, Frans Yakobus Suryapradipta, Yosef Yudha Wijaya
Sumber: Kompas