Sepekan terakhir, chiropraktik ramai diberitakan di sejumlah media massa menyusul penutupan sejumlah klinik chiropraktik di Jakarta. Selain tak punya izin, seorang pasien Klinik Ciropractic First, Jakarta, meninggal seusai menjalani terapi, Agustus 2015.
Menurut Wakil Ketua Perhimpunan Chiropraksi Indonesia (Perchirindo) Tinah Tan menjelaskan, chiropraktik pertama kali muncul pada 1895 di Davenport, Iowa, Amerika Serikat. Saat itu, Daniel David Palmer, pria kelahiran Kanada yang bermigrasi ke Amerika Serikat, menemukan hubungan saraf dengan fungsi organ tubuh.
Palmer menerapkan chiropraktik pada Harvey Liliard yang kehilangan pendengarannya. Ketika pendengaran Harvey kembali normal setelah Palmer mengoreksi persendian tulang belakang Harvey itu menandai dimulainya era chiropraktik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Istilah “chiropractic” berasal dari bahasa Yunani, yakni “chiros” dan “practos”, artinya orang berpraktik sepenuhnya dengan tangan. Jadi, chiropraktik ialah pengobatan yang dikerjakan tangan. Manipulasi tulang belakang ialah inti pengobatan chiropraktik.
Proses chiropraktik meliputi diagnosis, pengobatan, dan pencegahan gangguan sistem neuromuskuloskeletal (susunan saraf, otot, dan tulang) dan pengaruhnya pada kesehatan secara keseluruhan. Ada penekanan pada teknik manual penyesuaian dan atau manipulasi sendi, terutama sendi sublukasi.
Chiropraktik punya filosofi, yakni tubuh memiliki inteligensia bawaan untuk menyembuhkan diri sendiri. Dalam kondisi prima, tubuh punya sistem neuromuskuloskeletal baik. Jadi, chiropraktik fokus pada sistem saraf pengontrol fungsi sel, organ, dan sistem tubuh.
Bukan komplementer
Menurut Ketua Perhimpunan Ortopedi Tulang Belakang Indonesia Didik Librianto, chiropraktik tak dikenal di dunia kedokteran ortopedi. Chiropraktik tak bisa jadi terapi komplementer pada kedokteran ortopedi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, chiropraktik termasuk pengobatan tradisional keterampilan sama seperti pijat urut dan refleksi.
Pengobatan tradisional seperti chiropraktik hanya bisa dilakukan jika tak membahayakan jiwa atau melanggar susila dan kaidah agama. Pengobatan harus aman, bermanfaat bagi kesehatan, dan tak menghambat upaya menyehatkan warga.
Meski demikian, menurut panduan pelatihan dasar dan keselamatan chiropraktik yang diterbitkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2005, chiropraktik aman dan efektif untuk menangani sejumlah soal kesehatan. Syaratnya, itu dilakukan dengan terampil dan benar.
Menurut Lembaga Kesehatan Nasional Amerika Serikat dalam lamannya, chiropraksi diklaim menyembuhkan keluhan, seperti nyeri leher, nyeri punggung, sakit kepala, gangguan tidur, dan nyeri punggung bawah.
Namun, terapi itu bisa menimbulkan efek samping, seperti sakit kepala, keletihan, dan tak nyaman di bagian tubuh yang diterapi. Bahkan, ada komplikasi serius, seperti stroke, sindrom saraf terjepit, dan dislokasi ruas tulang belakang memburuk.
Tinah mengakui, chiropraktik punya kontraindikasi, seperti fraktur, hipertensi akut, dan kanker. Karena itu, harus ada batasan kasus dan rujukan ke praktisi kesehatan lain. “Tak semua masalah tulang bisa diatasi chiropraktor,” ujarnya.
Untuk itu, perlu diketahui riwayat medis. Pasien harus menjalani pemeriksaan fisik, seperti rentang gerak persendian tulang belakang, dilanjutkan pemeriksaan saraf, serta pemeriksaan radiografi untuk melihat struktur tulang belakang leher dan bantalan tulang. Pada kasus tertentu, perlu pemeriksaan citra resonansi magnetik (MRI) untuk melihat lebih rinci struktur otot, tulang, saraf, dan pemeriksaan elektromiografi (EMG) demi melihat kekuatan otot.
Di Australia dan Amerika Serikat, lama pendidikan chiropraktik minimal 5 tahun. Menurut WHO, chiropraktik bisa dipelajari praktisi kesehatan setelah 1.800 jam belajar. Meski masuk ke Indonesia sejak 2000, belum ada perguruan tinggi membuka program studi chiropraktik. Padahal, itu penting untuk menghasilkan chiropraktor kompeten demi keselamatan pasien. (ADHITYA RAMADHAN)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Chiropraktik, Semuanya Dilakukan dengan Tangan”.
————————
Kota Besar Lain Diharapkan Awasi Dokter Ilegal
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek berharap, pemerintah daerah di kota besar selain DKI Jakarta menyisir wilayahnya untuk memeriksa apakah ada tenaga kesehatan asing yang bekerja di daerah terkait. Jika ada tenaga kesehatan asing ilegal atau klinik ilegal agar ditindak tegas.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Klinik Chiropractic First di Pondok Indah Mall 1, Jakarta Selatan, ditutup dan disegel dengan garis polisi, Kamis (7/1). Penyegelan dilakukan karena klinik tersebut tidak memiliki izin serta ada dugaan malapraktik yang menewaskan seorang pasien bernama Allya Siska Nadya.
Hal itu disampaikan Nila seusai melantik sejumlah pejabat eselon I di Kementerian Kesehatan, di Jakarta, Rabu (13/1). Nila mengatakan, dalam pengawasan tenaga kesehatan asing, Kementerian Kesehatan berperan dalam regulasi, sedangkan pemerintah daerah bertanggung jawab atas izin praktik dan izin klinik.
“Kalau ada dokter asing mau bekerja di Indonesia, harus masuk secara legal. Mereka harus bisa menunjukkan dokumen-dokumen yang diperlukan,” kata Nila.
Dalam seminggu terakhir Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersama kepolisian, imigrasi, dan Kementerian Kesehatan menginspeksi sejumlah klinik di Jakarta. Hasilnya, tujuh Klinik Chiropractic First yang berada di mal ditutup karena tidak berizin dan mempekerjakan tenaga asing ilegal. Tim juga menemukan Klinik Medika Plaza di Hotel Kartika Chandra yang mempekerjakan dokter asing ilegal.
Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri menambahkan, perizinan termasuk izin klinik di DKI Jakarta yang satu pintu sudah bagus. Meski demikian, pengawasan juga perlu dilakukan secara terintegrasi. “Untuk klinik Medika Plaza izinnya oke, tetapi dokter asingnya ilegal,” ujarnya.
Tak terdaftar
Menurut Usman, kasus ditemukannya dokter asing pernah terjadi tahun 2014 di Jakarta. Temuan lapangan menunjukkan, modus dokter asing ilegal yang bekerja di Indonesia ialah dengan bekerja di klinik yang sudah ada, menjadi dokter untuk warga negara asing yang ada di Indonesia, dan bekerja atas nama dokter Indonesia di satu klinik. “Bisa jadi yang tertera di daftar dokter yang bekerja di sebuah klinik adalah dokter Indonesia. Namun, yang melayani pasien ternyata dokter asing,” katanya.
Dalam hal dokter asing bekerja di Indonesia, ujar Usman, fungsi Kementerian Kesehatan ialah memberikan rekomendasi untuk dokter asing bekerja di tempat tertentu. Sebelum ke Kementerian Kesehatan, dokter asing harus mendapatkan surat tanda registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Selama ini, Kementerian Kesehatan belum pernah mengeluarkan izin dokter asing bekerja di Indonesia.
Senada dengan Usman, Ketua KKI Prof Bambang Supriyatno mengatakan, selama ini KKI belum pernah memberikan STR dokter asing bekerja di Indonesia. STR yang sudah diterbitkan ialah STR bagi dokter asing untuk melakukan alih teknologi, bakti sosial, atau dokter yang sedang menempuh pendidikan di Indonesia.
ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas Siang | 13 Januari 2016