Jembatan lengkung bentang panjang atau longspan di lintasan light rail transit atau LRT Jabodebek yang berada di persimpangan Jalan HR Rasuna Said dan Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, belakangan ini kembali ramai diperbincangkan. Jembatan itu dirancang oleh tim ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dikomandani Arvilla Delitriana—disapa Dina—yang kini dikritik karena salah desain.
Ada cerita menarik di balik dipilihnya tim yang mendesain longspan tersebut. Hal itu diungkap oleh Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) periode 2019-2021 Bambang Brodjonegoro. Rupanya, desain tersebut merupakan desain alternatif setelah pemilik proyek tak puas dengan desain dari konsultan asingnya.
Bambang mengungkap itu saat memberikan apresiasi kepada Dina di Gedung BPPT, Jakarta Pusat, 6 Januari 2020 lalu. Apa yang sudah dihasilkan Dina dan timnya dianggap sebagai inovasi solutif di persimpangan jalan yang sangat ramai dan padat antara Kuningan, Jalan HR Rasuna Said, Mampang, dan Gatot Subroto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bukan hanya ramai, tapi juga sudah banyak struktur lain, terutama jalan tol, satu lagi ada flyover. Perempatan yang sangat sibuk, bahkan juga ada underpass dari Mampang menuju Kuningan,” ujar Bambang kala itu.
Menurut Bambang, sebelumnya PT Adhi Karya (Persero) Tbk—kontraktor proyek LRT Jabodebek—mempunyai konsultan asing untuk membuat lintasan kereta. Dari konsultan itu muncul sejumlah opsi menghadapi sejumlah tantangan di perempatan Kuningan tersebut. Namun seluruhnya dianggap tak mungkin diimplementasikan.
Salah satu pilihan desain yang ditawarkan adalah jembatan menggunakan kabel (cable-stayed). Opsi ini mensyaratkan lahan yang sangat luas untuk jaringan dan kontruksi kabelnya itu sendiri. Pilihan lainnya, membangun kolom tambahan persis di tengah perempatan Kuningan. Pilihan ini ditepis karena dari segi konstruksi justru dianggap sangat berisiko.
Adhi Karya lalu menghubungi Dina dan timnya di ITB, yang sebelumnya telah merancang desain jembatan LRT Jakarta. “Mereka (Adhi Karya) memohon dan meminta untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini,” kata Bambang mengisahkan.
Hasilnya, dia menilai, “Ternyata Bu Dina keluar dengan inovasi LRT atau bentangan LRT melengkung yang panjangnya 148 meter. Boleh dibilang ini yang terpanjang di Indonesia.”
Jembatan lengkung bertipe box girder beton dengan radius lengkung 115 meter itu mempunyai bentang utama sepanjang 148 meter. Beban pengujian fondasinya mencapai 4.400 ton. Pembangunan jembatan dimulai dari masing-masing pier utama yang bergerak ke tengah.
“Jadi dengan kerumitan struktur seperti itu ternyata Bu Dina berhasil menemukan cara untuk membuat LRT Jabodebek ini nantinya dari sisi jalan Gatot Subroto bisa langsung masuk Jalan Rasuna Said dengan tanpa menambah kolom di tengah perempatan tersebut,” kata Bambang.
Sementara Dina menjelaskan bahwa jembatan tersebut memang berada di lokasi yang dari awal sudah diperkirakan Adhi Karya sebagai lokasi paling sulit dan tantangannya paling besar. Dia membenarkan dihubungi saat pilihan dari konsultan asing tak cukup membuat Adhi Karya yakin. “Mereka meminta kami untuk mengajukan usulan lain,” kata Dina.
Jembatan lengkung disebutnya memiliki tantangan desain lebih besar karena memiliki gaya-gaya tambahan. Faktor kepercayaan dari Adhi Karya, menurut DIna, ikut berperan melahirkan desain tersebut. Hingga akhirnya, Jembatan yang telah diresmikan pada 11 November 2019 itu disebutkannya juga telah memperhitungkan tujuh kekuatan gempa besar di dunia.
Namun, empat tahun setelah diresmikan, longspan itu kini menuai kritik. Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga turut angkat bicara soal longspan di lintasan LRT Jabodebek yang belakangan disebut-sebut salah desain.
Soal itu, Arya menjelaskan, longspan di lintasan LRT Jabodebek yang tanpa tiang memang mengharuskan kereta bergerak lebih lambat. Hal tersebut dinilai sebagai pilihan tepat, baik dari sisi ekonomi maupun konstruksi.
Sebab, menurut dia, longspan yang panjang tanpa tiang tambahan akan membuat LRT jauh lebih efisien. Lintasan tanpa tiang itu lah yang membuatnya lebih efisien. Walaupun pada akhirnya, ada konsekuensi dari efisiensi yakni jalan kereta menjadi agak lambat.
“Dari sisi ekonomi, ini pun lebih ekonomis dibandingkan harus bangun tiang. Ataupun memperbesar ruang bagi LRT,” kata Arya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, 3 Agustus 2023.
Adapun dari sisi waktu, menurut Arya, dampaknya tidak akan begitu banyak. “Karena toh tidak terlalu panjang longspan tersebut. Jadi dari sisi waktu tidak merugikan. Dan jika membangun tiang-tiang di tengah, maka akan jauh lebih mahal,” tuturnya.
Sebelumnya, kritik soal pembangunan longspan itu disampaikan oleh Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam sebuah acara. Dia menyebutkan bahwa jembatan itu salah desain, karena tidak dites sudut kemiringannya sehingga ketika kereta melintas tidak bisa melaju dengan kecepatan tinggi.
LRT Jabodebek saat ini masih dalam proses uji coba terbatas hingga 15 Agustus 2023 mendatang. Setelah itu pada 18 Agustus, kereta layang itu akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi. LRT Jabodebek ini akan menjadi kado ulang tahun Kemerdekaan Indonesia atau HUT RI ke-78, serta sebagai tanda beroperasi secara komersil.
MOH KHORY ALFARIZI | ANTARA
Reporter: Moh. Khory Alfarizi
Editor: Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sumber: tempo.co, Jumat, 4 Agustus 2023