Celah keraguan itu masih terus ada. Namun, keyakinan bahwa ada kehidupan di luar Planet Bumi terus mendapat afirmasi. Diyakini bahwa ada makhluk hidup di luar Planet Bumi yang mampu hidup dalam lingkungan serba ekstrem, suhu amat tinggi atau amat rendah. Teleskop ruang angkasa Hubble, Spitzer, dan Kepler punya andil besar dalam kemajuan pencarian kehidupan makhluk di luar Planet Bumi.
Di luar orbit Bumi ditemukan sekitar 1.800 eksoplanet. Sekitar 400 eksoplanet layak huni bagi makhluk hidup (habitable). Setidaknya, beberapa kali ada pertanda lebih jelas keberadaan makhluk intelek di luar Planet Bumi (extraterrestrial/ET). Tahun 1977, Jerry Ehman dari Ohio State University, Amerika Serikat, menerima komunikasi radio—bukan dari mana pun di Bumi. Namun, sinyal itu tak pernah muncul lagi.
Minggu ketiga September 2014, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) bersama Library of Congress (Amerika Serikat) mengumpulkan para ilmuwan, ahli sejarah, filosof, dan para ahli agama. Mereka mengeksplorasi cara menyiapkan publik menghadapi implikasi jika suatu kali ET ditemukan. Entah hanya berupa mikroorganisme atau makhluk intelektual yang lebih tinggi tingkatannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pimpinan Library of Congress bidang Astrobiology, Steven J Dick, mengatakan, ”Jika menemukan mikroba, itu satu hal. Jika menemukan makhluk intelek, itu hal lain. Jika mereka berkomunikasi (dengan kita), itu hal lain lagi dan tergantung apa yang mereka komunikasikan. Itu lain lagi.” Astrobiology adalah ilmu yang mempelajari asal muasal, evolusi, distribusi, dan masa depan kehidupan di alam semesta.
”Latar belakang pertemuan ini jika dilihat dari sudut pandang sains adalah, sekarang ini kemungkinan menemukan kehidupan (di luar Planet Bumi) semakin besar,” kata Dick.
Pastur Jesuit, Guy Consolmagno, menyatakan, ”Saya percaya bahwa alien (ET) itu ada, tetapi saya tidak punya bukti. Jika itu benar, iman saya semakin kuat dan kaya, dalam arti, saya tak dapat memprediksikan (soal ET),” ujarnya.
Pemikiran keberadaan ET sudah dimiliki Nicolaus Copernicus, astronom dan ahli matematika abad ke-15, yang dilanjutkan Giordano Bruno dari Italia. Pada abad ke-20, terdapat kemajuan lagi. Menurut J Garber, tahun 1959 mulai digunakan astronomi radio untuk ”mendengarkan” tanda-tanda keberadaan ET.
Tahun 1975, NASA membuat program Search for the Extraterrestrial Intelligence (SETI). Dasar sains SETI adalah Persamaan Drake yang disusun Frank Drake tahun 1961. Persamaan itu mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi penentu ada tidaknya ET.
Tahun 1992, dengan dana sekitar 100 juta dollar AS, program itu diubah menjadi High Resolution Microwave Survey. Namun, setahun kemudian program dihentikan karena faktor politik. Kini, ketika semakin banyak temuan yang dianalisis sebagai penanda adanya kehidupan di luar Planet Bumi, suara yang meragukan pun terus terdengar.
Menurut Consolmagno, ”Menjadi ilmuwan yang baik berarti mau mengakui bahwa kita tidak pernah memiliki kebenaran secara utuh…selalu ada yang harus kita pelajari.”
Pencarian ET sungguh bagai Odyssey; sebuah perjalanan panjang penuh petualangan yang menambah pengetahuan dan pemahaman akan sesuatu. Juga bisa dikatakan sebuah perjalanan ”tanpa arah” karena ujung jalan tak terlihat. Sementara buku-buku fiksi ilmiah bertebaran, mulai dari kisah komik hingga film seperti E.T dan Cocoon untuk menyebut di antaranya. Di tengah ”keramaian” itulah Library of Congress berupaya menutup celah. Celah antara keyakinan dan hasil penelitian.
Oleh: Brigitta Isworo Laksmi
Sumber: Kompas, 8 Oktober 2014