Engkau tak akan paham suatu kota tanpa mencoba transportasi publiknya.–Erol Ozan, Penulis novel “Talus”, Guru Besar TI East Carolina University, AS
Mengikuti perkembangan jaringan kereta transportasi massal cepat, bolehlah kita berbangga. Dijadwalkan beroperasi Maret 2019, hari-hari ini pembangunan sudah masuk pekerjaan struktur jalan penumpang.
Di dalam terowongan, pengecoran landasan rel sudah hampir selesai, demikian pula pemasangan pipa hidran pemadam kebakaran. Di beberapa stasiun, pekerjaan mekanikal dan elektrikal dilaksanakan berikut pengerjaan rancangan arsitek.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jalur transportasi massal cepat (MRT) sepanjang lebih kurang 16 kilometer, terdiri dari konstruksi bawah yang menghubungkan Bundaran HI-Patung Pemuda Senayan, dilanjutkan dengan struktur layang dari Patung Pemuda hingga Lebak Bulus.
Terowongan MRT berada di kedalaman 20-25 meter (bukan 60 meter seperti yang tertulis dalam ”Bertemu Mustikabumi”, Kompas 1 Maret 2017) dengan diameter 6,69 meter. Rasa bangga memang tidak bisa ditahan, melihat proyek itu mulai tampak wujudnya. Akhirnya, transportasi publik di Jakarta tidak kalah dibanding kota-kota dunia yang lebih dulu memiliki MRT.
Secara keseluruhan MRT Jakarta didesain untuk terintegrasi dengan kereta ringan (light rail transit/LRT), bus transjakarta, dan kereta rel listrik (KRL). Titik temu seluruh moda angkutan massal tersebut nantinya di Stasiun Dukuh Atas.
Meskipun pemerintah telah membuat Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2000-2001, tahap konstruksi MRT baru dimulai Oktober 2013 saat Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama menjadi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Jakarta memang membutuhkan solusi transportasi. Sebelum KRL sukses direvitalisasi Ignasius Jonan (Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, 2009-2014) dan Bus Transjakarta diintroduksi Sutiyoso (Gubernur DKI Jakarta 1997-2007), masyarakat Jakarta harus berjibaku di jalan raya.
Sepanjang 2016, KRL telah mengangkut 280 juta penumpang. Begitu pula bus transjakarta, mengangkut 123,7 juta orang pada 2016. Meskipun demikian, kapasitas angkut ini belum memadai karena jumlah komuter Jabodetabek mencapai 3.566.178 orang setiap hari (Statistik Transportasi DKI Jakarta 2015).
Jika dalam setahun ada 240 hari kerja—dengan asumsi 20 hari kerja per bulan—1,7 miliar orang harus diangkut pulang pergi dalam setahun. Artinya, kapasitas KRL dan bus transjakarta jauh dari mencukupi. Mereka itulah yang mayoritas menggunakan kendaraan bermotor pribadi dan publik.
Dampak dominasi kendaraan bermotor di Jakarta tentu saja adalah kualitas udara perkotaan yang memburuk. Menurut UNEP-Partnership for Clean Fuels and Vehicles (PCFV) 2012, biaya kesehatan masyarakat akibat pencemaran udara mencapai Rp 35 triliun. Dari kajian JICA, 65-80 persen polusi udara perkotaan terkait transportasi.
Seorang polisi lalu lintas yang berjaga di Pancoran, Jakarta Selatan, sepanjang hari terpapar PM2,5 dan CO. PM adalah ukuran partikel debu. Di kawasan itu, konsentrasi PM2,5 melebihi ambang batas (15 ug/Nm3), demikian juga kadar CO pada pukul 07.00-09.00 (10.000 ug/Nm3). Polutan ini dapat memicu gangguan pernapasan dan jantung juga asma dan bahkan kanker (Kompas, 22/8/2015).
Dampak lain transportasi bermotor adalah pemborosan waktu, tenaga, dan bahan bakar. Saat macet, kendaraan mengonsumsi bahan bakar lebih banyak karena hanya melaju pada persneling rendah. Akibatnya, dalam sehari konsumsi bensin premium dan solar di Jakarta lebih dari 9 juta liter.
Maka kehadiran berbagai angkutan dalam sistem transportasi terpadu tidak hanya efisien, tetapi juga sehat dan memberi citra baik suatu kota. Semoga juga Jakarta di mata Erol Ozan.–AGNES ARISTIARINI
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 April 2017, di halaman 14 dengan judul “Transportasi Publik”.