Tepat 55 tahun lalu, 15 Maret 1962, di depan anggota Kongres AS, Presiden AS John Fitzgerald Kennedy menyatakan visinya tentang hak-hak konsumen. Kita semua adalah konsumen. Seperti dikatakan Kennedy, ”Konsumen per definisi, termasuk kita semua.” Faktanya, tak semua dari kita memahami bahwa dirinya adalah konsumen, apalagi memahami hak-hak konsumen.
Selama 24 jam dalam tujuh hari seminggu, kita mengonsumsi beragam barang-barang hasil produksi untuk memenuhi kebutuhan pokok kita sehari-hari. Baik untuk pangan, sandang, maupun papan, sesuai kebutuhan yang berkorelasi dengan kesejahteraan. Sejak bangun tidur hingga kembali tidur, kita berkegiatan, mulai dari mandi, makan, menggunakan transportasi menuju tempat kerja atau ke sekolah. Aktivitasnya bisa berada di mana pun: taman, jalan, di dalam mobil, di rumah, dan sebagainya.
Selain hirau pada makanan dan obat, berapa orang dari kita akan hirau pada barang-barang konsumsi lain yang mengelilingi keseharian kita? Mulai dari plastik pembungkus beragam barang, cat tembok dan cat kayu, sampo yang kita pakai, berbagai krim yang kita oleskan di kulit kita, alat-alat masak, hingga obat kutu rambut yang kita gunakan. Bahkan pada udara yang kita hirup untuk bernapas serta beragam barang lain yang kita gunakan, seperti alat masak, jok kendaraan, hingga beragam alat kosmetik dan sabun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanpa kita sadari di sekitar kita tersebar racun yang tak mudah dikenali. Bahkan namanya pun asing, tak seperti arsenik atau sianida yang sangat populer.
Racun-racun berbahaya yang disebut sebagai persistent organic pollutants (POPs) tanpa kita sadari telah menggelimang di sekeliling kita. Konvensi Stockholm, yang mulai berlaku 17 Mei 2004, telah menetapkan sejumlah senyawa kimia organik yang harus dihentikan secara total produksi dan penggunaannya, atau dibatasi penggunaannya, atau dikurangi produksinya sebagai hasil samping suatu proses industri.
Sesuai sebutannya, persistent (gigih), zat-zat ini tak lekang oleh waktu dan oleh proses lingkungan, nyaris bisa dikatakan akan selalu ada. Zat-zat tersebut juga amat mudah tersebar luas karena proses alam (terbawa angin, aliran air, terbawa tanah, dan sebagainya), terakumulasi di dalam lapisan lemak makhluk hidup (konsentrasi tinggi zat-zat ini ditemukan pada makhluk di puncak rantai makanan), dan bersifat racun pada manusia dan margasatwa.
Tak mudah
Sungguh tak mudah mengenali racun-racun tersebut karena penamaannya demikian teknis, seperti pentadecafluorooctanoic acid (PFOA) yang digunakan dalam proses pelapisan alat masak anti lengket atau polychlorinated biphenyls (PCB) yang terdapat pada alat-alat elektronik, seperti telepon seluler.
Beberapa di antaranya bisa kita sebutkan secara lebih mudah, yaitu zat timbal, merkuri, dan dioksin. Timbal ditemukan pada komponen pigmen pewarna, pengering cat, dan senyawa penghambat karat. Sementara merkuri terdapat pada berbagai alat kosmetik, antara lain pemutih kulit, dan digunakan dalam jumlah signifikan pada tambang emas tradisional untuk memisahkan emas dari mineral lain dalam tanah.
Dioksin muncul dari proses pembakaran: sampah, plastik untuk daur ulang, sisa pertanian, dan sebagainya. Dioksin merupakan istilah untuk senyawa polychlorinated dibenzo-p-dioxins (PCDD) dan bentuk dari polychlorinated dibenzofurans (PCDF).
Bisa dibayangkan apabila kita berada di jalanan yang macet dan mengisap asap knalpot atau asap pembakaran sampah di sekeliling kita. Demikian kecilnya ukuran partikel hasil pembakaran menyebabkan penyebarannya amat luas dan amat mudah terhirup masuk ke dalam tubuh.
Tanpa kita sadari, hal itu menimbulkan risiko kanker, menurunkan daya kognitif anak, merusak fungsi hati, serta menyebabkan keturunan dengan kerusakan genetik: anak terlahir cacat. Ini hanya sebagian dampak berbagai POPs.
Kennedy menyebutkan delapan hak konsumen, yaitu hak untuk terpenuhi kebutuhan dasarnya, hak pada keamanan, hak atas informasi, hak untuk memilih, hak untuk didengarkan, hak untuk mendapat ganti rugi, hak mendapat pendidikan sebagai konsumen, dan hak mendapatkan lingkungan yang sehat. Maka, saatnya kita bertanya kepada pemerintah, dikemanakan semua hak kita sebagai konsumen? Di mana semua informasi tentang POPs ini dan mengapa, misalnya, obat kutu rambut hanya ada satu sehingga sudah jelas melanggar hak atas pilihan?–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Maret 2017, di halaman 14 dengan judul “Racun dan Hak Kita”.