Beijing, dulu dikenal sebagai salah satu kota paling kotor udaranya, memutuskan menutup pembangkit listrik batubara terakhirnya, Sabtu, 18 Maret 2017. Dengan demikian, Beijing sebagai ibu kota China yang berpenduduk 30 juta jiwa menjadi kota pertama China yang seluruh kebutuhan energinya, 11,3 juta kilowatt, ditopang oleh pembangkit energi ramah lingkungan, seperti gas alam, panel surya, dan angin.
Inilah bagian dari kebijakan energi bersih dari Pemerintah China, sebagaimana dikampanyekan Perdana Menteri China Li Keqiang untuk membuat ”langit kita menjadi biru lagi” (China Daily, 2017). Penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan batubara dilakukan secara bertahap sejak 2013.
”Studi dari Bank Dunia, WHO, dan Akademi China untuk Perencanaan Lingkungan mengenai efek polusi dan kesehatan menyimpulkan bahwa polusi udara di negeri ini menyebabkan antara 350.000 dan 500.000 orang meninggal dini setiap tahun,” kata mantan Menteri Kesehatan China Chen Zhu dalam jurnal kesehatan The Lancet pada Desember 2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Studi ini didukung oleh Deputi Direktur Beijing Office for Cancer Prevention and Control Wang Ning yang mengungkapkan bahwa jumlah kasus kanker paru-paru Adenosquamous carcinoma meningkat pesat. Tipe kanker paru-paru ini diduga kuat karena paparan polusi udara (usa.chinadaily.com, 2014).
Sasaran berikut pembersihan udara adalah menutup—atau lebih tepatnya memindahkan—industri semen ke luar negeri. Menurut Yu Lei dkk (MIT Press, 2014), industri semen adalah penyumbang pencemaran udara tertinggi di China.
Beberapa polusi udara yang dikeluarkan industri semen adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), dan debu. Sumbangan polusi terbesarnya terutama debu dan CO2. Partikel debu industri semen mengandung logam berat, seperti kromium, nikel, kobalt, timbal, dan merkuri, yang bisa berdampak serius pada lingkungan dan manusia. China adalah produsen sekaligus konsumen terbesar semen di dunia dengan produksi 2,21 miliar ton pada tahun 2012 atau 56 persen produksi global.
Tahun 2000, industri ini menyumbang 40 persen pencemar debu industri di China. Menurut pantauan dua organisasi nasional China terkait gas rumah kaca (SDRC 2004 dan NDRC 2012), semen menaikkan emisi CO2 China di sektor industri dari 57 persen pada tahun 1994 menjadi 72 persen pada 2005.
Kenyataan ini membuat China memperketat standar produksi semen mulai akhir 2013. Tak hanya itu, Kementerian Perlindungan Lingkungan China (www.mep.gov.cn) berencana mengurangi produksi semen negara itu hingga 37 juta ton pada 2015 (Reuters, 27 Desember 2013).
Ketika China mulai mengurangi produksi semen dan PLTU batubara, Indonesia—atas nama pembangunan—beberapa tahun terakhir membuka diri terhadap investasi PLTU batubara. China dengan cepat menjadi pemain utama investasi PLTU batubara di Indonesia, menggeser dominasi Jepang.
Fenomena yang sama terjadi dalam industri semen. Penutupan pabrik semen di China turut mendorong maraknya industri semen di Indonesia. Selain industri semen dalam negeri, sejumlah pemain besar dari luar negeri siap masuk ke Indonesia, di antaranya Siam Cement (Thailand) yang akan beroperasi di Jawa Barat, Semen Merah Putih (Wilmar) di Banten, Ultratech di Wonogiri, dan Jui Shin Indonesia di Jawa Barat. Perusahaan semen terbesar China, Anhui Conch Cement, akan beroperasi di Kalimantan dan Papua Barat, selain 15 investor semen lain.
Semen dan terutama energi memang tulang punggung pembangunan. Namun, risikonya harus dihitung. Selain polusi udara, industri semen berpotensi merusak bentang alam karst yang menjadi cadangan air tanah. Data dari Asosiasi Semen Indonesia dan Yayasan KARRA Indonesia (2015) menunjukkan bahwa industri semen nasional mampu memproduksi 85 juta hingga 90 juta ton semen per tahun pada 2016. Dari angka itu, 10 juta ton hingga 15 juta ton akan diekspor per tahun.
Ekspansi perusahaan semen dunia dan PLTU batubara di Indonesia harus dibaca sebagai politik membuang yang paling kotor ke luar. Politik ini telah lama dipraktikkan Eropa, Amerika, Jepang, dan kini China. Indonesia menjadi sasarannya.–AHMAD ARIF
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2017, di halaman 14 dengan judul “Politik Udara Bersih”.