Cuaca dan manusia. Relasi keduanya demikian kental dan dalam. Cuaca senantiasa hadir. Manusia tak kuasa menolak. Awan gelap atau langit cerah memengaruhi mood. Hujan atau panas terik mengubah perasaan, bahkan kondisi fisik kita. Musim dingin dan musim panas mampu mengubah perilaku manusia.
Seiring perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global, model cuaca kian sering berubah, semakin sering memunculkan bentuknya yang ekstrem: hujan deras disertai angin kencang kian sering, hawa panas ekstrem, udara dingin membeku sering muncul. Bahkan, di wilayah-wilayah tak biasa. Gelombang bencana terkait cuaca ekstrem pun semakin besar. Semua relung dan sudut Bumi tak terkecuali.
Perubahan iklim yang pada beberapa faktor mempercepat proses yang berdampak buruk diperkirakan tak mampu dihambat lagi peningkatannya jika suhu Bumi naik lebih dari 2 derajat celsius. Dua derajat celsius lebih tinggi daripada temperatur sebelum era industri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peningkatan suhu diakibatkan tertahannya pemantulan energi panas Matahari oleh lapisan gas rumah kaca hasil aktivitas manusia. Pertanyaannya, bagaimana hasil akhir (neto) pemantulan dan serapan energi panas itu dari berbagai permukaan? Energi panas Matahari dipantulkan dan diserap permukaan air (laut), daratan, dan udara. Penelitian mendalam terus dilakukan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana mekanisme pertukaran panas pada ketiga permukaan tersebut.
Para ahli iklim mengamati rentetan perubahan membingungkan yang berproses di darat, laut, dan udara. Lalu, di mana mereka harus memusatkan perhatian agar mampu mengungkap rahasia perubahan tersebut? Awanlah jawabnya.
Peran awan mempertahankan keseimbangan panas Bumi terus menjadi teka-teki di benak ilmuwan. Lalu, bagaimana sebenarnya peran awan dalam pemanasan global? Peran awan pada perubahan iklim diangkat dalam Scientific American edisi November 2014. Penguapan air laut adalah pemain kunci dalam pola cuaca. Awan sebagai hasil pendinginan uap air berperan penting.
Apakah awan berperan menyerap panas dan meradiasikan kembali ke atmosfer sehingga suhu Bumi meningkat? Atau, merefleksikan gelombang panas kembali ke Matahari sehingga suhu Bumi menurun? Peran mana yang lebih kuat?
Jauh sebelum ilmu meteorologi diakui sebagai ilmu pengetahuan (science), manusia sudah membaca cuaca dari awan di angkasa dalam beragam bentuknya. Dari yang bergulung-gulung hingga yang demikian halus sebagai halo di seputar bulan.
Baru pada 1803, meteorolog paruh waktu, Luke Howard, mengklasifikasikan awan dan menamainya menggunakan bahasa Latin. Howard membedakan berdasarkan ketinggian dan bentuk awan. Ia membaginya menjadi tiga jenis awan, yaitu ”rambut keriting” atau cirrus, ”tumpukan (awan)” atau cumulus, dan ”awan yang menyebar” atau stratus.
Selama ini, pengamatan awan dilakukan menggunakan satelit yang hanya mampu melihat bentuk awan tanpa mampu mengungkap dinamika fisis dan kimia di dalam tubuh awan. Interaksi berlapis yang berlangsung di dalam tubuh awan bagai kabut misteri. Kandungan aerosol (partikel padat) di dalam awan diyakini memengaruhi perilaku awan terhadap beragam radiasi sinar Matahari. Pengaruh setiap jenis aerosol pun berbeda.
Menurut salah satu penulis laporan dari Panel Ahli Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), Olivier Boucher, dari Pierre Simon Laplace Institute di Paris, Perancis, pengaruh awan rendah terhadap iklim belum dapat dipastikan. ”Awan rendah adalah kartu liar (wild card),” ujarnya. Sebagai kartu liar, faktor awan rendah dalam sebuah model iklim berpeluang membalikkan hasil. Hasil menjadi tak mudah diprediksi.
Bersemangat memecahkan teka-teki peran awan, September lalu, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) membentuk tim peneliti di Arktik. Mereka menggunakan pesawat seperti C-30, membawa radiometer, serta memakai sensor Matahari, panas (thermal), dan gelombang mikro guna merekam pergerakan sinar Matahari dan panas yang menembus awan.
Dengan pesawat dan satelit yang semakin canggih, mampu memotret isi tubuh awan, serta sensor sinar yang mampu menembus dan memindai anatomi dalam tubuh awan, prediksi cuaca akan semakin tajam dan jangka waktunya pun lebih panjang. Bukan tak mungkin, perubahan iklim lantas ”tidak menjadi isu” lagi (?)
Oleh: Brigitta Isworo Laksmi
Sumber: Kompas, 10 Desember 2014