Dibayang-bayangi Tragedi ”Paris Friday the 13th” dua pekan lalu, lebih dari 20.000 manusia bakal berkumpul di Paris. Kepala negara dan kepala pemerintahan dari sekitar 100 negara—jika tidak ada yang mengundurkan diri—akan membahas kesepakatan bersama, multilateral, untuk penyelamatan bumi dari bencana akibat perubahan iklim.
Para ahli, pakar dari berbagai ilmu kebumian, terutama ahli iklim dan meteorologi, mengatakan, proses pemanasan global dan perubahan iklim tak bisa berbalik lagi jika temperatur bumi naik lebih dari 2 derajat celsius dari temperatur bumi pada pra-Revolusi Industri. Anggota-anggota dalam lembaga Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) sepakat menahan kenaikan suhu bumi pada 2 derajat celsius.
Revolusi Industri jadi titik pangkal terjadinya emisi gas karbon dioksida karena dibongkarnya bahan bakar fosil, yang digunakan sebagai bahan bakar industri. Kenaikan suhu bumi saat ini dibandingkan pra-revolusi industri telah mencapai 0,8 derajat celsius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan batas laju emisi karbon dioksida, yaitu 1.000 gigaton ekuivalen CO2 (GtCO2e) per tahun. Akibat aktivitas pembangunan yang dengan rakus melahap bahan bakar fosil, kini laju emisi telah mencapai 600 GtCO2e per tahun.
Populasi bumi adalah faktor pendorong semua aktivitas industri. Dua tahun lalu, menurut prediksi PBB, pada tahun 2050 jumlah penduduk bumi bakal mencapai sekitar 9,6 miliar jiwa. Butuh sumber daya untuk menopang kehidupan manusia, mulai dari energi, air, hingga keanekaragaman hayati (kehati). Tanpa mengubah pola penggunaan energi diperkirakan laju emisi GRK 1.000 GtCO2e bakal lebih cepat tercapai.
Mitigasi menjadi salah satu cara mengurangi dampak perubahan iklim dengan cara mengurangi emisi GRK. Terjemahannya sederhana: kurangi jejak karbon dari semua aktivitas, mulai dari individu, kelompok, komunitas, nasional, hingga global. Namun, ketika kepentingan politik dan ekonomi menjadi jubah utama negosiasi perubahan iklim, yang muncul adalah skema-skema yang rumit. Mulai dari pendanaan, penghitungan emisi, hingga pengelompokan negara sesuai kepentingan. Semua proses dan jalan yang bakal ditempuh menuju penyelesaian masalah menjadi semakin panjang dan makin rumit.
Apa yang terjadi di meja perundingan berlawanan dengan kenyataan bahwa eskalasi dampak perubahan iklim kian nyata. Semua anggota UNFCCC, 196 negara, tak ada lagi yang menyangkalnya. Amerika Serikat yang dikenal sebagai pengingkar pun mengakui perubahan iklim sungguh terjadi dan mengakui bahwa perubahan iklim diakibatkan aktivitas manusia (antropogenik).
Yang terjadi kemudian, eksklusivitas narasi perubahan iklim. Narasi perubahan iklim seakan berada di dunia lain yang steril. Tak bersentuhan dengan dua kekuatan super, yaitu ekonomi dan politik.
Ujaran Sekjen PBB Ban Ki-moon, ”Kita bisa jadi adalah generasi pertama yang mengakhiri kemiskinan. Namun, menjadi generasi terakhir yang menanggapi masalah perubahan iklim”, demikian laris dikutip di sejumlah seminar tentang perubahan iklim dan berbagai konferensi tentang lingkungan. Namun, isu perubahan iklim tetap berdiri soliter, eksklusif, tak bersentuhan dengan perkara lain di ranah politik dan ekonomi. Tata perdagangan dunia di bawah rezim Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan perdagangan bebasnya terus membuka pintu pasar. Seluas-luasnya.
Globalisasi bukan lagi hanya di tingkat global, melainkan diderivasi menjadi berbagai kesepakatan regional, transnasional, seperti Trans-Pacific Partnership dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang berlaku tahun depan. Lalu lintas perdagangan mengemisikan GRK. Perubahan iklim tak nyata lagi.
Konferensi demi konferensi berlalu, pertemuan WTO, G-20, dan seterusnya. Emisi akibat konferensi tak tersentuh. Ketika dunia akan tenggelam, bencana akan meningkat, penyakit akan meluas akibat perubahan iklim, lembaga finansial raksasa, seperti Bank Dunia, enggan memberi kue terbesar pada pembangunan hijau. Dana dalam narasi ekonomi versi bank-bank multinasional menjadikan dana Green Climate Fund (GCF) dalam skema UNFCCC seperti liliput. Lalu, di mana ”logika iklim” yang diperjuangkan IPCC?—BRIGITTA ISWORO LAKSMI
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 November 2015, di halaman 14 dengan judul “”Logika Iklim””.