Tuhan membuat tanda-tanda dan membebaskan manusia mengartikannya.
Stephen King, novelis, dalam “The Stand” (1978)
Pekan ini, tepatnya tanggal 27 dan 28 September, di langit berlangsung peristiwa langka: gerhana bulan saat bulan sedang besar-besarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Disebut supermoon atau bulan super karena terlihat begitu besar—saat itu bulan berada di perigee atau titik terdekatnya dengan Bumi sehingga tampak 14 persen lebih besar dan 30 persen lebih terang—bulan besar yang mengalami gerhana memang jarang terjadi. Menurut catatan dari Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA), gerhana bulan super terakhir berlangsung tahun 1982 dan baru terjadi lagi tahun 2033.
Gerhana bulan ini juga merupakan tetrad terakhir, empat gerhana bulan total yang terjadi berurutan setiap enam bulan dalam sistem penanggalan lunar. Tetrad pertama 15 April 2014, berlanjut 8 Oktober 2014, 4 April 2015, dan terakhir pekan ini.
Maka, para pencinta peristiwa langit pun menyaksikan bulan yang besar, bersinar cemerlang, dan berangsur berubah menjadi merah. Tidak heran bila orang juga menyebutnya ”bulan berdarah”. Menurut astronom dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof Dr Bambang Hidayat, warna merah berasal dari sebaran cahaya matahari oleh partikel atmosfer Bumi. ”Itu adalah peristiwa astronomi biasa,” tambahnya.
Sayang, gerhana bulan super tidak bisa disaksikan di Indonesia. Peristiwa ini hanya terlihat di Benua Amerika bagian utara dan selatan, Afrika bagian barat, dan sebagian Eropa. Di tempat lain seperti sebagian Eropa, Afrika, dan Amerika, juga Timur Tengah dan Asia Selatan, hanya terlihat gerhana bulan sebagian.
Astronom Planetarium Chicago’s Adler, Mark Hammergren, saat diwawancarai CNN mengatakan, bulan super, gerhana, dan semua peristiwa astronomi lainnya sebenarnya menghubungkan umat manusia pada sejarah. ”Kita telah memandang langit selama ribuan tahun, memunculkan mitos, dan akhirnya sampai pada berbagai temuan ilmiah tentang semesta. Astronomi mengaitkan kita pada akar kehidupan yang paling tua,” katanya.
Namun, seperti kata Fyodor Dostoyevsky, sastrawan Rusia (1821-1881), manusia tidak dapat hidup tanpa keajaiban. Ia membutuhkan segala ilmu gaib dan ramalan, karena kalau tidak, ia bisa menjadi seorang ateis atau pemberontak. Itulah yang membuat dukun, peramal, atau apa pun namanya, selalu mendapat tempat di peradaban.
Salah satu ramalan terkait peristiwa astronomi yang terkenal adalah Bintang Bethlehem, yang memandu orang-orang Majus menemukan bayi Yesus. Kata Majus berasal dari magus, kata jamak untuk magi, merujuk pada para pendeta Zoroaster yang pandai ilmu perbintangan, meramal dan menafsir mimpi, bahkan mengatasi penyakit (”Bintang Bethlehem, Orang Majus, dan Teleskop”, Kompas 24/12/2008).
Meski sampai sekarang masih menjadi teka-teki apa sebenarnya Bintang Bethlehem yang mengiringi kelahiran Sang Juru Selamat seperti dikisahkan Injil Mateus: apakah komet, supernova, atau benda langit lainnya, banyak orang percaya bahwa setiap fenomena alam di semesta terkait dengan peristiwa yang memengaruhi kehidupan. Makro kosmos-mikro kosmos.
Dalam banyak budaya, kehadiran meteor diasosiasikan dengan harapan dan keberuntungan. Sebaliknya kemunculan komet dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat negatif. Komet Ikeya-Seki berwarna merah darah sepanjang zenith sampai horizon yang muncul tahun 1965, dikonotasikan dengan peristiwa berdarah G30S, yang diperingati tepat hari ini.
Bagaimana dengan gerhana bulan super kali ini? Merujuk pada Stephen King, manusia bebas mengartikannya.–AGNES ARISTIARINI
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Bulan Super”.