Gunung Ontake yang berada sekitar 210 kilometer sebelah barat Tokyo, Jepang, tiba-tiba meletus tanpa ada peringatan, Sabtu (27/9) pagi. Lebih dari 250 pelancong yang menikmati musim gugur di puncak gunung berketinggian 3.067 meter itu terjebak, 36 orang di antaranya diduga tewas, dan banyak lagi yang terluka.
Japan Meteorological Agency (JMA), lembaga yang menangani bencana di Jepang, baru merilis status Level 3, yang artinya tak boleh mendekati gunung api itu, setelah letusan terjadi. Beberapa gambar yang diunggah di laman Youtube tak lama usai kejadian memperlihatkan para pendaki yang panik berlarian diburu gumpalan awan letusan. Bencana itu, sekali lagi, mempertontonkan kecepatan penyebaran informasi berbasis media sosial. Namun, di sisi lain, hal itu menunjukkan ketidakberdayaan teknologi peringatan dini Jepang.
Padahal, Jepang dianggap sebagai kiblat sistem peringatan dini bencana, utamanya terkait gempa, tsunami, dan gunung api. Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono pun kerap iri dengan pemantauan gunung api Jepang. ”Indonesia yang memiliki 127 gunung berapi hanya punya 45 pengamat gunung api. Satu orang harus memantau lima gunung api. Itu pun kapasitas sumber dayanya terbatas,” kata Surono dalam beberapa kali kesempatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi sebaliknya terjadi di Jepang. Tiap gunung di Jepang dipantau lima pengamat dan satu di antaranya profesor dari kampus. Ke-118 gunung api di Jepang telah dihubungkan dengan kamera sehingga terpantau 24 jam.
Perbedaan mendasar lain, jika gunung api di Indonesia dipadati rumah warga, kebanyakan zona bahaya gunung api di Jepang kosong dari hunian. Bangunan yang ada biasanya penginapan atau kuil sehingga tak harus menghadapi warga yang menolak diungsikan jika sewaktu-waktu terjadi letusan.
Terus belajar
Berbeda dengan gempa yang masih sulit dideteksi kapan dan berapa kekuatannya, letusan gunung api dianggap bisa diprediksi dengan melihat gejala yang muncul dari pergerakan magmanya. Beberapa gejala awal adalah meningkatnya kegempaan, perubahan tubuh gunung, dan perubahan kimia air kawah—jika gunungnya memiliki danau kawah.
Namun, gejala-gejala itu tak mesti mendahului tipe letusan freatik seperti terjadi di Ontake, yaitu semburan uap panas, abu, dan lontaran batu, tanpa ada lava. ”Apa yang terjadi Sabtu lalu di luar kemampuan metode kami untuk memprediksinya,” kata Toshitsugu Fujii, Kepala JMA (www.japantimes.co.jp, 29/9).
Benarkah Ontake meletus tanpa memberi pertanda? Atau teknologi pemantauan yang ada tidak menjangkaunya?
Seperti dilaporkan The Guardian (28/9), frekuensi gempa di Ontake sebenarnya terdeteksi meningkat sejak 10 September. ”Saya percaya bahwa semua kejadian alam akan ada tanda-tandanya. Peringatan dini amat bergantung pada teknologi, tetapi juga bergantung pada kecerdasan, kecepatan, dan keberanian memutuskan,” ucap Surono.
Beberapa dekade terakhir, Jepang sebenarnya sukses menjaga rekor zero victim (tak ada korban) dari letusan gunung api. Letusan terakhir yang menimbulkan korban terjadi pada 1991, saat 43 orang tewas dilanda awan panas Gunung Unzen. Korban letusan termasuk Katia dan Maurice Krafft, sepasang vulkanolog dan sineas dokumenter Perancis, serta vulkanolog Amerika yang juga ahli longsoran gunung api, Harry Glicken.
Kita memang harus rendah hati untuk terus belajar mencermati alam. Gunung api terus berevolusi, demikian juga kita, mesti memperbarui daya untuk hidup bersanding dengannya.
Oleh: Ahmad Arif
Sumber: Kompas, 1 Oktober 2014