Januari 2018, tepat 32 tahun meledaknya pesawat ulang-alik Amerika Serikat, Challenger. Pada 28 Januari 1986 pukul 11.25 waktu setempat, pesawat yang membawa tujuh awak ini diluncurkan dari Florida. Namun, misi yang disiapkan bertahun-tahun itu berakhir dalam 73 detik.
Challenger meledak dan terbakar, meninggalkan jejak asap hitam di angkasa. Sisa puingnya jatuh di Samudra Atlantik dan tujuh awaknya tewas, termasuk Christa McAuliffe, guru sekolah dasar yang diprogramkan memberi pelajaran dari luar angkasa.
Jutaan anak di AS menonton peluncuran itu lewat tayangan langsung di layar televisi. Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengikutsertakan Christa sebagai warga sipil pertama misi ini demi membangun imajinasi anak-anak Amerika tentang perjalanan ke luar angkasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meledaknya Challenger jadi pukulan besar bagi NASA dan dunia ilmu pengetahuan. Setelah kesuksesan misi Apollo mendaratkan manusia ke Bulan pada Juli 1969, penjelajahan luar angkasa menjadi simbol kemajuan teknologi.
Secara politik, penjelajahan ke luar angkasa juga jadi ajang perlombaan dua negara adidaya saat itu, AS dan Uni Soviet. Kesuksesan penjelajahan ke luar angkasa sebelumnya membantu AS menutupi masa suram politik mereka pada 1960-1970-an, mulai dari terbunuhnya Presiden John F Kennedy, konflik rasial, protes Perang Vietnam, hingga skandal Watergate.
Ilustrasi: Gambar dari CCTV China melalui APTN menunjukkan proses perkaitan pesawat ulang alik Shenzhou 8 yang diluncurkan pada Selasa (1/11) dengan modul Tiangong 1 yang sudah mengorbit bulan lalu, Kamis (3/11) pagi. Kemarin, dua wahana luar angkasa tanpa awak China itu sukses bergabung dan mengitari Bumi bersama. Ini tahapan penting yang membawa China kian dekat dengan kepemilikan stasiun luar angkasa dalam satu dekade mendatang. China kian mendekati Amerika Serikat dan Rusia dalam hal penguasaan teknologi luar angkasa.
Setelah muncul spekulasi penyebab gagalnya Challenger, diketahui bahwa pesawat itu meledak karena soal teknis, yakni kerusakan O-ring. Bagian ini adalah karet penyekat berbentuk lingkaran, memisahkan bagian bahan bakar dengan panel lain. Masalah pada O-ring diingatkan para teknisi NASA sebelumnya, tapi diabaikan para pemimpinnya. Mengapa NASA—simbol kemajuan teknologi—mengabaikan itu, jadi tanda tanya besar.
Hal ini mendasari sosiolog Diane Vaughan meneliti dan menerbitkannya dalam buku The Challenger Launch Decision; Risky Technology, Culture, and Deviance at NASA, 1996. Diane menemukan tragedi Challenger tak semata soal teknis, tetapi menandai ada soal serius dalam organisasi NASA. Di tubuh NASA, ada kelompok birokrat dan kelompok ilmuwan. Keduanya saling berkonflik untuk memaksakan pendapat masing-masing.
Kelompok ilmuwan berulang kali mengingatkan ada karet penyekat belum teruji dan bisa gagal pada peluncuran. Mereka menyarankan itu dicek ulang. Sebaliknya, para birokrat di organisasi itu berpendapat beda. Mereka tak ingin menunda- nunda peluncuran dengan mengabaikan masalah karet itu.
Challenger dijadwalkan diluncurkan 22 Januari 1986 dan jadi mercusuar dengan program ”Teacher in Space”. Rencana itu ditunda empat kali karena berbagai soal teknis, termasuk polemik O-ring. Tekanan media dan para politisi di Gedung Putih diduga memengaruhi keputusan tetap meluncurkan Challenger.
Terus belajar
Pengabaian saran teknis tentang karet penyekat ini, menurut Diane, menandai ada penyimpangan sosial di organisasi NASA. Penyimpangan berulang-ulang akhirnya diterima sebagai hal wajar, Normal chaos of every day life. Itu menyebabkan penyimpangan tak dilihat lagi sebagai masalah. Bahkan, medioker birokrasi yang berkuasa menganggap mereka yang mengingatkan penyimpangan itu sebagai kelompok pengganggu kemapanan.
Mengacu pada konsep sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, penyimpangan jadi praktik sehari-hari. Itu perlu perubahan budaya organisasi. Selama dua tahun industri penerbangan luar angkasa AS ini ditutup demi perbaikan teknis dan organisasi.
Tragedi itu tak menghentikan impian manusia menjelajah luar angkasa. Meski tertunda 22 tahun, rencana membawa warga sipil ke angkasa diwujudkan NASA saat Barbara Morgan, guru perempuan, terbang bersama Endeavor pada 2007. Kini, 32 tahun setelah tragedi Challenger, pengusaha kaya dari Sillicon Valey, Elon Musk, menggagas SpaceX, proyek raksasa untuk mendaratkan manusia ke Planet Mars pada 2024.
Selain melahirkan koreksi pada organisasi industri penerbangan luar angkasa, tragedi Challenger juga melahirkan pengetahuan baru bidang sosiologi organisasi, yakni konsep banalisme penyimpangan. Di sinilah fungsi ilmu pengetahuan, melaksanakan kajian kritis dan mencatat pelajaran dari setiap kesalahan.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 24 Januari 2018