Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

- Editor

Kamis, 19 Mei 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

“Kita sudah mampu memisah-misah atom! Kita sudah dapat memecahnya!”, teriak seorang anak muda kepada setiap orang yang dijumpainya di jalan-jalan kota Cambridge, Inggeris, pada suatu hari di tahun 1932. Anak muda itu, John Cockroft, adalah seorang sarjana fisika yang sehari-harinya justru dikenal sebagai seorang yang sangat pendiam dan pemalu. Tapi hari itu ia benar-benar bersemangat mengumumkan bahwa mesin baru ciptaannya telah mampu mengantarkan proton-proton dalam kecepatan yang luar biasa tinggi, sebagai projektil untuk menembak atom terpecah-pecah menjadi beberapa bagian yang lebih kecil.

Sekarang, mesin pemisah atom buatan Cockroft telah mengalami banyak perkembangan dan berbentuk gelang-gelang terowongan serta magnet raksasa yang digunakan oleh fisikawan di seluruh dunia untuk menyelidiki bagian-bagian terkecil dari alam semesta di dalamnya, dalam rangka mencari jawab terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar: Apakah benda? Dari bahan apakah manusia dan alam semesta ini tercipta?

Penemuan Cockroft sebelumnya telah didahului oleh penemuan dari dua fisikawan terbesar abad-18: James Clark Maxwell dan Heinrich Hertz. Pada tahun 1861, Maxwell telah menyusun sebuah teori. tentang fenomena elektrisitas dan magnetisme, dua fenomena fisika yang paling mendasar, sebagai “dua sisi dari sekeping mata uang yang sama”, yang nampaknya saja berbeda satu sama lain. Maxwell merumuskan bahwa elektromagnetisme merambat menembus ruang dalam bentuk gelombang-gelombang. Enam belas tahun kemudian, Hertz mengukuhkan teori Maxwell dengan keberhasilannya membukti-kan bahwa gelombang elektromagnetisme itu memang ada. Penemuan besar lainnya menyusul pada tahun Selama lebih satu dasawarsa, tiga orang teoritisi muda —Sheldon Glashow, Steven Weinberg, dan Abdus Salam— berhasil menyusun sebuah teori tentang “daya _ lemah” (weak foree) sebagai suatu-unsur lain dari daya fisika yang paling mendasar di samping elektromagnetisme yang telah dikenal. Mereka menyebutnya sebagai gelombang elektro lemah” (electroweak), sejenis pembusukan radioaktif dalam atom-atom. Seperti juga halnya dengan gelombang elektromagnetisme, atau cahaya, yang merambat dengan antaran ikatan-ikatan energi bernama foton, maka gelombang elektro lemah ini diantarkan oleh tiga jenis foton “berat”. Untuk membuktikan kebenaran teori ini, terlebih dahulu harus dibuktikan adanya apa yang disebut sebagai partikel-partikel W-positif dan W-negatif serta partikel netral Z.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tahun 1978, Organisasi Negara-Negara Eropa untuk Riset Nuklir (CERN), sebuah konsorsium beranggotakan tigabelas negara, segera mengambil prakarsa untuk membuktikan hal itu. Selama lebihdari tiga tahun kemudian, ratusan ahli fisika dan teknisi terlibat dalam sebuah proyek untuk merubah akselerator proton raksasa di sebuah laboratorium menjadi sebuah mesin untuk mengantarkan dua jenis sinar dalam arahan yang saling berlawanan mengelilingi .sebuah terowongan melingkar. Kedua jenis sinar itu adalah berkas sinar wujud dan berkas sinar yang anti-wujud (anti-matter). Pada saat keduanya saling bertemu dan saling bertabrakan, mereka saling memusnahkan satu sama lain untuk kemudian menghasilkan sejumlah energi baru yang sangat kuat. Makin kuat pancaran sinar masing-masing, maka makin pejal pula energi yang dihasilkannya. Energi yang dihasilkan dalam bentuk partikel-partikel baru itulah yang ditandai oleh para ahli sebagai tanda-tanda partikel W dan Z.

Penemuan tersebut merupakan pengukuhan yang paling mutakhir terhadap teori gelombang lemah, sekaligus merupakan puncak dari salah satu usaha penjelajahan intelektual terbesar abad ini. Penemuan itu juga menunjukkan bagaimana cara kerja yang berhasil dari sebuah team yang luar biasa besar dalam percobaan fisika modern secara kolosal. Dan akhirnya, penemuan itu juga merupakan perwujudan nyata dari impian seseorang yang paling menggandrunginya. Orang itulah yang telah mengertak dan mempesonakan masyarakat keilmuan untuk membangun sebuah alat pengantar yang menabrakkan proton dengan anti-proton, sembari menentang anjuran dari beberapa fisikawan ahli akselerator nuklir terbaik dunia yang menyepelekannya. Orang itu adalah Carlo Rubbia, seorang ahli fisika dari Harvard, berusia 49 tahun, dan berkebangsaan Italia.

Segalanya Demi Fisika
Kegandrungan Rubbia terhadap fisika tercurah sepenuhnya dalam penelitian dan penemuan partikel W dan Z. Sukses yang mengejutkan dari mesin pengantar proton-antiproton nya telah menjadikannya model ideal bagai fisikawan ahli akselerator nuklir pada generasi mendatang. Bahkan, mesin Rubbia itu telah mengalihkan perimbangan kekuatan dalam bidang fisika energi tinggi yang sejak masa sebelum Perang Dunia II dikuasai oleh para fisikawan Amerika Serikat. Dengan keberhasilan Rubbia, kini Eropa mengambil alih pimpinan, dan para fisikawan Amerika Serikat tiba-tiba saja menemukan diri mereka berada dalam posisi yang tertinggal jauh di belakang.

Melalui penemuannya itu, Rubbia menjadikan dirinya sebagai seorang “penentu” dalam sejarah ilmu pengetahuan modem. Ia telah menjadikan dirinya sebuah sosok kepribadian yang sangat menarik dan kontroversial dalam dunia fisika. Leon Lederman, direktur Fermi National Accelator Laboratory (FERMI-LAB) di Batavia; Illinois, Amerika Serikat, mengakui: “Apa yang telah dilakukan oleh Rubbia benar-benar telah memacu laju perkembangan fisika”. Apa yang memang menarik dari inti kepribadian Rubbia adalah semangatnya, rasa keingintahuannya, dan ambisinya yang sedemikian besar tertampilkan dalam kecepatan cara bekerjanya yang luar biasa, yang mendorong semangat kerja rekan-rekannya serta memacu lawan-lawannya untuk juga bekerja mengikuti iramanya. Bagi Rubbia, segala sesuatu di dunia ini adalah “nomor dua” sesudah fisika. Hobbinya adalah fisika, saat santainya adalah fisika, dan juga hiburannya adalah fisika. Semua itulah yang telah mendorongnya untuk meyakini satu hal, yang dengan penuh keyakinan disebutnya sebagai: “Tanpa cacat! Fisika sangat menyenangkan. Ia membuat anda akan melupakan apa saja. Fisika benar-benar menyenangkan” .

Rubbia memang memperlakukan fisika bagai sebuah mainan, yang memerlukan kemampuan naluriah dan kecepatan belajar yang menakjubkan, sebagaimana halnya dorongan hati yang sangat kuat yang dibutuhkan untuk mencapai suatu pengetahuan. David Cline, ahli fisika partikel di Universitas Wisconsin, menyatakan: “Dalam banyak hal, Rubbia menampakkan diri sebagai ahli yang tidak sekadar menguasai perumusan-perumusan kasar, tapi sampai kepada pemahaman yang mendalam jauh lebih cepat dari siapapun”. Lederman menambahkan: “Rubbia memiliki suatu perpaduan yang tanpa tanding: pengetahuan tuntas tentang fisika dan daya kerja yang sangat kuat dan agresif.

Meskipun para pengeritik Rubbia menga-kui kecemerlangan otaknya, namun mereka juga menyayangkan bahwa kecepatan dan kekayaan isi fikirannya itu seringkali malah menyingkapkan kenaifannya sendiri: gagasan-gagasannya datang begitu cepat dan ia akan segera meninggalkan begitu saja proyek-proyek percobaan yang hampir rampung dilaksanakannya ketika itu, untuk memulai melakukan gagasannya yang bani. Membandingkan gaya-kerjanya dalam bidang fisika dan gaya-hidupnya sehari-hari, tak pelak lagi Rubbia merupakan salah seorang pribadi yang semarak dalam bidang sains. Di dalam suatu masa dimana para ilmuwan menghadiri pertemuan,pertemuan ilmiah di seluruh dunia, Rubbia melakukan banyak perjalanan keliling yang membuatnya diangkat sebagai anggota dewan kehormatan Maskapai Penerbangan Alitalia. Seorang fisikawan lain berkomentar: “Gaya kerjanya benar-benar menarik perhatian dengan mengerjakan apa saja secara menyolok, dan kemudian ia akan menekan dan mendorong siapa saja untuk ikut mengerjakannya. Di sana ia akan selalu tampil di tengah bising suara dan kepulan asap, namun dalam suasana cahaya remang-remang”. Begitupun, sang pengeritik menambahkan: “Ia telah mengerjakan sebuah karya fisika yang hebat”.

Rubbia mengakui bahwa kemampuan yang telah mendorongnya sedemikian giat bekerja dalam penelitian ilmiah tetap saja memiliki kekurangan. “Saya sangat tertekan dalam pekerjaan saya ini”, katanya mengakui, “rasa ingin tahu saya sedemikian besar sehingga saya tak bisa lagi menolak untuk menyalurkannya setiap saat. Benar-benar memabukkan. Keinginan saya untuk mencapai segala sesuatu sedemikian besar, sedemikian kuat, dan akibatnya fikiran saya berputar terus setiap waktu”. Rubbia juga menyadari bahwa pada saat-saat itulah ia mengasingkan rekan-rekan sekerjanya. “Kadangkala”, tambahnya, “dalam dunia pekerjaan, anda akan membawa diri anda sendiri membentur tembok, kemudian baru akan anda temui cara untuk menembusnya. Reaksi saya terhadap segala sesuatu adalah sangat agresif, menggebu-gebu, dan sangat menekan, justru pada saat saya sedang terpojok dibandingkan jika pada saat saya sedang biasa saja”.

Tidak ada lagi contoh terbaik dari gaya Rubbia selain daripada usahanya yang agresif untuk menemukan partikel W. Ia tidak menyia-nyiakan waktunya dengan ragu-ragu. “Selama lima puluh tahun belakangan”, katanya, “kalau anda benar-benar ingin menjadi termasyhur dalam bidang fisika, maka anda harus menjadikan diri anda sebagai yang terbesar, yang terbaik, dan yang terhebat dalam bidani-akselerator fisik”. Untuk melakukan itu, seorang Fisikawan harus mengetahui lebih banyak hal daripada sekedar pengetahuan fisika saja, karena ia harus merencanakan, membeli, dan menjalankan sebuah perusahaan dalam jangka waktu sekian tahun, yang melibatkan ratusan ilmuwan di dalamnya, dan biaya ratusan juta dollar. Lebih dari itu, ia juga harus memiliki sebuah gagasan yang memang bernilai untuk diwujudkan.

Pernah Disepelekan
Gagasan inti Rubbia sebenarnya adalah mencapai pemahaman tuntas tentang partikel anti-wujud, dengari berusaha menciptakannya, mengumpulkannya, mempercepat laju kecepatannya, dan menabrakkannya ke dalam partikel wujud. Ia mencoba menjelaskan proses itu tanpa menyepelekannya: “Orang awam menganggap semua benda diciptakan oleh Tuhan dalam suatu titah penciptaan. Tetapi bagi kami para fisikawan akan selalu mempertanyakan terus apa di balik keajaiban “penciptaan itu, yakni merubah energi menjadi sesuatu yang berwujud. Bagi orang awam, sebuah peristiwa tabrakan akan berarti sebuah pengrusakan. Jika anda menabrakan dua mobil, itu artinya anda merusakkan mobil-mobil itu. Dalam dunia fisika partikel, jika anda menabrakan dua buah mobil, maka itu berarti anda akan memperoleh duapuluh mobil baru. Cobalah anda isi sebuah tabung hampa udara dengan arus energi yang sangat kuat, dan dalam suatu kejadian tabrakan, maka apa yang tadinya tak bisa terjadi akan terjadi”. Rubbia percaya bahwa dengan menabrakkan antara partikel wujud dengan partikel anti-wujud, akan dihasilkan partikel W.

Masyarakat keilmuan ternyata tak bisa menerima pendapat Rubbia itu, pada awal mulanya. Ketika ia pertama kali menyatakannya dalam sebuah pertemuan ilmiah, “hadirin tertawa tergelak-gelak dibuatnya”, kenang David Cline tentang kejadian tersebut. Rubbia mengusulkan gagasannya itu ke FERMILAB dan ditolak. Bahkan, direktur FERMILAB waktu itu menyatakan bahwa Rubbia adalah “badut kelas tinggi” yang akan ditolak dimana-mana. Benar juga, karena ketika Rubbia, bersama-sama dengan David Cline dan Peter McIntyre dari Universitas Harvard, mengajukan sebuah makalah tentang hal itu ke Physical Review Letters, sebuah berkala fisika yang paling terkemuka, redaksi menolak untuk memuat dan menerbitkannya.

Kecewa dengan penolakan FERMILAB, Rubbia kemudian membawa gagasannya ke CERN. Ia datang kosana, dalam kata-katanya sendiri, dengan suatu keyakinan “tugas-suci” untuk mewujudkan sebuah alat pengantar menabrakkan proton dengan antiproton. “Ia datang dengan suatu langkah politik yang hebat”, tutur Lawrence Sulak, seorang fisikawan dari Universitas Michigan. “Ia mengajukan tantangannya kepada sejumlah fisikawan ahli akselerator di CERN sedemikian rupa, dan dia benar-benar berhasil melakukannya dengan baik”.

Tetapi Rubbia punya seorang kawan yang sangat berperan penting dalam urusan ruwet ini, seorang fisikawan ahli akselerator dari Belanda bernama Simon van der Meer. Pada tahun 1968, van der Meer pernah menemukan sebuah teknik yang disebutnya sebagai “pendinginan stokastik” yang oleh van der Meer sendiri dianggap “sangat terkesan mengada-ada” untuk dipublikasikan. Tetapi itulah yang justru dibutuhkan oleh Rubbia setelah delapan tahun kemudian, untuk mengumpulkan dan mengendalikan apa yang disebutnya sebagai antiproton. Kedua ahli ini kemudian bersepakat untuk bekerjasama: van der Meer bertugas membangun kembali sebuah akselerator berdasarkan teknik penemuannya, dan Rubbia sendiri bertugas membuat sebuah bangunan dengan ukuran yang mampu menampung detektor W dan Z. Akhirnya, CERN merestui gagasan ini.

Meskipun demikian, tetap saja masih banyak ilmuwan yang meragukan dapat tidaknya bekerja alat yang diciptakan Rubbia dan van der Meer. Dua partikel sinar yang dimaksudkan Rubbia memang harus mampu mengalir melingkar dalam akselerator sebanyak 50.000 kali setiap detiknya. Setiap waktu putaran, kedua berkas sinar itu harus saling memintasi satu sarna lain, dan pada saat itulah sebagian kecil dari satu trilyun atau lebih partikel dari masing-masing berkas sinar akan saling bertabrakan. Sejumlah fisikawan ahli akselerator terkemuka di Amerika Serikat , memperlurakan bahwa kedua berkas sinar itu —jadi tidak hanya sejumlah kecil partikel dari setiap berkasnya— tidak mampu bertahan pada pertemuan pertama diantara keduanya: keduanya akan saling memuaikan satu sama lain, menyisakan tidak banyak berkas lagi. Dengan kata lain: percobaan itu akan gagal total!

Yakin dengan proyeknya, Rubbia tidak punya pilihan lain kecuali bermasa-bodoh terhadap ramalan tersebut. “Terus dengan serius”, katanya kepada rekan-rekannya. “Jika kita menerima keraguan itu sebelum proyek ini berjalan, tidak ada seorangpun yang akan memberi kita uang unnik itu. Ucapan ini datang dari orang yang sangat, sangat terhormat. Saya takut mematikan sinar itu justru sebelum ia bekerja”.

Percobaan-percobaan pun dilakukan. Rubbia dan van der Meer, dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing, mencatat setiap kejadian pada saat akselerator bekerja. Rubbia kemudian mencatat: “Kami berada disana, dan ketika sinar-sinar itu disalurkan masuk ke dalam akselerator, kami menyaksi-kan dengan perasaan berdebar, dan sinar-sinar itu tetap berada disana. Kami mencoba mengamatinya sekali lagi, dan sinar-sinar itu tetap saja berada disana, lalu sinar-sinar itu mulai mengelilingi terowongan akselerator dan keduanya tetap saja tidak saling membunuh satu santa lain seperti yang diharapkan. Itulah saat-saat yang paling mengasyikkan dalain seluruh percobaan saya ini”. Meskipun penemuan partikel W dan Z terjadi setahun kemudian, namun saat percobaan pertama itulah yang merupakan pengujian yang paling penting.

Dirangsang Reruntuhan Perang
Rubbia menyebut keterlibatannya yang sangat bersemangat dalam penelitian ilmiah dengan kata-kata: “boleh dibilang, sebuah kelahiran di tengah kerusakan”. Ia lahir pada tahun 1934 di Gorizia, Italia, sebuah kota kecil di luar wilayah Trieste, sebagai putra sulung seorang teknisi listrik setempat. Ia baru benisia sepuluh tahun ketika Perang Dunia II melanda masuk ke Gorizia, menyapu habis rumah kediamannya dan menjadikan masa kanak-kanaknya berkabut awan. Tetapi, perang itulah justru yang melahirkan rasa keingintahuan Rubbia yang besar terhadap masalah-masalah ilmiah. Pada usia 15, ia menjelajahi daerah pedalaman di sekitar Gorizia dan mengumpulkan sejumlah peralatan komunikasi yang ditinggalkan oleh pasukan tentara yang melintasi utara Italia tersebut semasa perang. Dengan mengutak-utik peralatan itulah. Rubbia mengembangkan kemampuannya dalam masalah elektronika, sebuah kegemaran yang tetap dipertahankannya sampai saat ini sebagai seorang fisikawan.

Rubbia pertama kali mengecap bangku perguruan tinggi di Universitas Pisa, Italia. “Kampusnya benar-benar mirip sebuah biara”, kenang Rubbia. “Disana anda akan terkunci habis di dalamnya dan tidak melakukan apa-apa selain belajar, dan hal itu memang saya sukai”. Barangkali memang Rubbia berkata seadanya. Yang jelas adalah bahwa selama di kampus Pisa itulah ia bertemu dengan Marissa, seorang gadis yang juga mengambil bidang studi fisika, yang kelak menjadi isterinya.

Selesai di Pisa, Rubbia berangkat menuju New York dan memasuki sekolah pasca-sarjana di Universitas Columbia, pada saat itu paling terkemuka dalam bidang fisika energi tinggi. Disinilah Rubbia bertemu pertama kali dengan fisikawan-fisikawan muda Columbia seperti Steven Weinberg, Leon Lederman, dan pembimbing prakteknya, Nicholas Samios, yang kini menjabat sebagai Direktur Brookhaven National Laboratory. Meskipun tahun-tahun di Columbia merupakan tahun-tahun yang menyenangkan bagi Rubbia, namun ia masih harus mengatasi berbagai perasaan rendah diri yang diakuinya sebagai rasa seseorang “yang baru saja turun gunung dan langsung memasuki kancah yang sebenamya”.

Pada tahun 1961, Rubbia pulang ke Eropa dan bergabung ke dalam CERN yang barti berusia tujuh tahun. Di sana ia terpesona dengan laboratoriumnya, yang sejak awal berdirinya didasarkan pada semangat kerja internasional. “Bagiku”, katanya kemudian, “itu nampak sebagai sebuah gagasan besar yang sangat menantang untuk dicapai, khususnya karena ia muncul dari debu reruntuhan Eropa sehabis perang”. Tema kerjasama antar bangsa inilah yang berpengaruh dalam sepanjang hidup Rubbia: ia sangat bangga dengan terwakilinya lebih dari duapuluh negara dalam percobaan yang dilakukannya, begitupun terbadap kemampuannya berbahasa Italia, Inggris, Perancis, dan Jerman, yang sangat fasih. “Jika anda bicara dengan seseorang dalam bahasa mereka”, kilahnya, “maka anda akan masuk ke dalam kerangka berfikir mereka”.

Meskipun kemudian Rubbia mengajar di Harvard sejak tahun 1970, ia tetap mempertahankan kewarganegaraan Italia dan hidup bersama isteri serta anak-anaknya di sebuah apartemen mewah di Jenewa, Swiss. Isterinya mengajar fisika di sebuah sekolah menengah atas, dan putrinya Laura, 23, sedang menyelesaikan tahun keempat dari kuliah kedokterannya di Universitas Jenewa. Putranya, Andre, 17, adalah seorang ahli elektronika muda dalam laboratorium ayahnya.

Pada tahun 1969, Rubbia diajak bergabung oleh Alfred Mann dari Universitas Pennsylvania dan David Cline. Keduanya sangat berminat untuk meneliti kemungkinan adanya partikel W dengan menggunakan akselerator baru milik FERMILAB, sebuah akselerator yang selama tiga tahun sesudah pembangunannya rampung mertipakan yang terkuat di dunia. Rubbia menerima ajakan itu dan merekapun melakukan percobaan di FERMILAB dengan nama Proyek 1A.

Tujuan utama dari Proyek 1A adalah untuk menemukan partikel W. Tetapi pada tahun 1971, para fisikawan tiba pada kesimpulan yang meragukan kebenaran teori gelombang lemah, dan menganggap perlu ada perbaikan teoritis terlebih dahulu. Akhirnya dilahirkan sebuah teori bahwa jenis interaksi gelombang lemah adalah merupakan ‘arus netral yang melibatkan partikel-partikel Z yang netral dari fenomena elektris. Jadi Rubbia dan rekan-rekannya kemudian menyisihkan pene-litian partikel W dan memutuskan untuk mencoba meneliti arus netral Z tersebut

Persaingan Gagah-gagahan
Percobaan Rubbia dan kawan-kawan di FERMILAB tak salah lagi merupakan salah satu penelitian terbesar dalam sejarah fisika energi tinggi. Namun mereka bukan satu-satunya. Sekelompok fisikawan di CERN juga melakukan penelitian yang sama dengan detektor dalam ruangan yang maha besar bernama “Gargamelle”. Pada bulan Januari 1973, Team Gargamelle menemukan gejala yang mereka sebut sebagai bukti adanya arus netral Z. Hasil penemuan itu kemudian mereka umumkan pada bulan Juli tahun yang sama.

Sementara itu, eam FERMILAB baru mulai mengumpulkan data dasar percobaan merelca pada akhir tahun 1973 dan pada musim-bunga berikutnya barulah mereka memperoleh sejumlah data yang memberi tanda akan adanya arus netral Z, meskipun tidak benar-beriar meyakinkan. Karena CERN telah mengumumkan hasil penemuan mereka, tekanan .pun datang bertubi-tubi ke alamat Rubbia dan kawan-kawan agar segera melaporkan hasil percobaan mereka. Satu bulan kemudian mereka menyusun laporan itu, dan ternyata hasilnya tetap saja tidak meyakinkan. Pada saat itulah, kata Rubbia, “sebuah malapetaka besar terjadi”: masa berlaku bagi visanya habis dan ia harus segera meninggalkan Amerika Serikat. Ia berangkat menuju Swiss, dan sambil menunggu visanya yang baru, rekan-rekannya masih tetap tidak puas dengan data hasil penelitian mereka serta memutuskan untuk segera mengulangi seluruh percobaan dengan beberapa modifikasi.

Sayangnya, percobaan kedua itupun gagal lagi dan tak ada arus netral Z yang diketemukan. Desas-desus segera beredar luas bahwa Team Gargamelle telah menyelesaikan laporan akhir penemuan mereka dan segera akan menerbitkannya. Jika itu terjadi, maka Team FERMILAB akan benar-benar nampak bodoh dan menggelikan. Jadi Team FERMILAB pun segera mempersiapkan sebuah makalah tandingan, sebuah makalah tentang tidak adanya arus netral Z.

Tetapi situasi kemudian benar-benar menjadi terbalik: kegagalan percobaan FERMILAB itu justru mereka ungkapkan dan data bam mereka temukan yang memang mendukung pembuktian adanya arus netral Z yang telah ditemukan lebih dahulu oleh Team Gargamelle di CERN. Bulan Maret 1974, kelompok Rubbia menerbitkan makalah ketiga dan yang terakhir yang menguatkan hasil penemuan Team Gargamelle. Ini merupakan salah satu tindakan yang paling patut dicontoh dan dihargai dalam sejarah fisika, meskipun hal itu tak bisa mencegah tersebamya lelucon di kalangan masyarakat keilmuan waktu itu, bahwa Rubbia dan kelompoknya telah berhasil menemukan “arus bolak-balik”. Rubbia hanya berkomentar: “Sedikit banyak, kami telah mendukungnya”.

Itulah semua saat-saat yang paling menyiksa dan penuh hiruk-pikuk dalam perjalanan karir Rubbia. Sekarang, Rubbia dan kelompoknya berjaya atas keberhasilan mereka menemukan partikel W. Memang, ia telah belajar banyak dan baik dari pengalamannya. “Definisi tentang seorang pakar yang paling saya sukai”, katanya sekali waktu, “adalah yang menyatakan bahwa seorang pakar merupakan seseorang yang siap untuk melakukan semua bentuk kesalahan”. Begitulah, pada saat ia berhasil menemukan partikel W, pada awal bulan November 1982, ia tetap bersikap tenang. Ia malah mengambil cuti terpanjang selama hidupnya: sepuluh hari berlibur dan memancing bersama keluarga di Sungai Nil di Mesir. Pada akhir bulan Januari 1983, setelah melakukan beberapa kali pengujian tilang untuk meyakinkan dirinya, barulah ia mengumumkan hasil penemuannya itu. Ketika itu, serima orang tercengang dengan alasan-alasan kami yang sangat meyakinkan”.

Untuk mesin ciptaan Rubbia, satu kesempatan lagi segera menyusul untuk dimenangkannya: penemuan sejenis quark” yang belum diketahui sampai saat ini, yakni yang secara aneh di Amerika Serikat disebut sebagai top-quark dan di Eropa disebut “truth”. Quarks” kini dipandang sebagai sesuatu yang paling rinendasar. suatu unsur pembentuk materi yang tak dapat dipisah-pisahkan lagi, di mana lima diantara keenam jenisnya telah pernah dirtimuskan oleh para teoritisi. Penemuan terhadap “quark” yang ‘keenam dan yang terakhir akan merupakan lembaran khusus bagi fisika di masa depan. Seperti juga mesin ciptaan Rubbia, kini akselerator-akselerator baru didirikan di Universitas Stanford, juga di Jepang, dan di Jerman, dengan maksud menemukan “quark” tersebut. Massa dari “top quark” —yang tetap membutuhkan energi untuk menghasilkannya— sampai kini beluni diketahui. Yang jelas, tak satupun dari semua mesin akselerator tersebut yang sekuat mesin ciptaan Rubbia.

Sampai sekarang pun, masih terdengar bisik-bisik santer di kalangan masyarakat fisikawan bahwa jenis mesin pengantar untuk saling menabrakkan parikel-partikel, juga dapat digunakan untuk menghasilkan “top quark-. Pada awal bulan November 1983 yang lalu, Rubbia menerima hubungan telepon dari seorang penasehat ilmiah pada akselerator KEK di Jepang. tanya saya apakah saya benar-benar dapat menemukan top-quark itu”, kata Rubbia menjelaskan. “Saya bilang pada dia bahwa kami belum siap menjawab hal itu. Saya tidak ingin mengatakan sesuatu sebelum waktunya tiba dan tidak ingin terjebak lagi dalam pengalaman pahit tentang arus-bolak-balik dulu itu”.

Ambisi Berikutnya
Sangat boleh jadi bahwa penemuan “quark” terakhir itu memang akan dicapai oleh mesin ciptaan Rubbia. Tetapi sementara data tentang “top quark” masih dianalisa terus, Rubbia terus melakukan pengumpulan data dari sebuah percobaan pembusukan proton yang teramat”kecil di Park City, Utah, Amerika Serikat, barsama David Cline dan James Gaidos dari Universitas Purdue. Para teoritisi telah menyusun dalil proton-proton —dan itu berarti juga semua materi— tidak dapat mencapai stabilitas dan mungkin akan membusuk menjadi energi sesudah rata-rata 103 tahun. Pengabsahan, atau pengukuhan, terhadap perkiraan ini adalah sangat penting bagi suatu kesatuan teori-teori dasar untuk membuat fisika melangkah lagi satu langkah lebih maju, yakni menyatukan kekuatan gelombang lemah dengan gelombang kuat untuk bersama-sama menemukan inti atom.

Rubbia menyatakan: “Adalah sangat penting untuk menemukan apakah proton memang bisa membusuk. Hal itu akan mengarahkan kita pada penyatuan teori-teori fisika”. Pada bulan Januari 1984 yang lalu, para ilmuwan Amerika yang sedang menjalankan sebuah percobaan pembusukan proton yang nampaknya sangat peka dan paling besar di dekat Cleveland, Ohio, mengumumkan sebuah berita yang menggembirakan bahwa mereka telah menemukan bukti pembusukan proton. Tetapi hasil itu tetap membuat Rubbia optimis dengan penelitiannya sendiri. Ia menyatakan bahwa penelitian yang dilakukannya mungkin akan menemukan sesuatu yang jauh lebih menarik.

Seorang sahabat Rubbia belum lama ini memberinya sebuah makalah yang mengutip sebuah ungkapan dari Julius Caesarnya Shakespeare: “There is a tide in the affairs of men Which taken at the flood leads on to fortune…”

Ibarat benar-benar berada di atas laut, kapal Rubbia kini benar-benar terapung baik dan berlayar dalam kecepatan penuh. Ia sudah memiliki sebuah rencana yang akan menjadikan perangkat penelitian di CERN sebagai yang terkuat di dunia selama lima tahun mendatang. Ia sibuk mengkampanyekan pembangunan mesin penabrak proton dengan antiproton “paling mutakhir” di CERN, sebuah mesin yang akan “menyapu bersih” mesin mesin sejenis yang paling ambisius sekalipun seperti yang kini sedang diusulkan oleh para fisikawan Amerika Serikat, yakni Superconducting Super Collider, yang tak bisa dibangun secepat membangun mesin ciptaan Rubbia.

Dalam hampir semua lapangan penelitian fisika energi tinggi, Rubbia memiliki satu ambisi untuk menemukan jawab: membangun sebuah percobaan pembusukan proton paling mutakhir dalam sebuah laboratorium yang terpendam di perut pegunungan Alpina, untuk menemukan zaya magnetik berkutub-tunggal yang sangat eksklusif dengan detektor baja yang dilebur di tungku perapian Wisconsin, untuk menemukan unsur anti-materi di alam semesta dengan memigunakan pesawat antariksa ulang-alik menganalisa sinar-sinar kosmik. “Dimanaptin anda katanya, -jika anda memang menyaksikan sesuatu dengan cukup cermat, maka anda akan menemukan fenomena fisika yang benar-benar mengesankan”. Jadi dimanapun hal itu terjadi. Rubbia dengan 5egala senang hati akan benisaha menemukannya, sebagai orang pertama! (Gary Taube/ DISCOVER).
————————————-
Penemuan Carlo Rubbia terhadap partikel W dan Z sangat dramatis terutama karena keberadaan partikel-partikel itu —dan jumlah energi yang tepat dibutuhkan untuk menciptakannya— telah dipradugakan 15 tahun sebelumnya oleh sebuah teori yang menyatukan gelombang elektromagnetisme dengan gelombang lemah sebagai akibat dari pembusukan radioaktif dalam atom-atom. Langkah pertama menuju teori ini diambil pada tahun 1960 oleh Sheldon Glashow, yang kemudian mengajar di Universitas Copenhagen, Denmark. Tetapi perumusan Glashow tidak terlalu dikenal karena belum pernah dibuktikan secara eksperimentatif. Pada tahun 1967, Steven Weinberg, dari Universitas Harvard, dan ahli fisika dari Pakistan, Abdus Salam, secara sendiri-sendiri mengembangkan sebuah teori yang mempradugakan keberadaan dan massa partilcel W dan Z tersebut. Mereka berdua, pada akhirnya, menghadapi kesulitan besar juga karena tak mungkin menggunakan dasar-dasar teori yang sudah ada untuk membuat perhitungan yang benar-benar tepat. Masalah itu kemudian dipecahkan oleh Gerard ‘t Hooft, seorang fisikawan Belanda, pada tahun 1971. Percobaan yang dilakukan kemudian akhirnya mengukuhkan kebenaran teori gelombang lemah, dan pada tahun 1979, mereka bertiga (Wienberg, Salam, dan Glashow) memperoleh hadiah Nobel untuk Fisika. ***

Sumber: Majalah SCIENTIAE/ MEI 1984

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Berita ini 66 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB