Lima tahun terakhir, ragam alternatif menghasilkan logam besi dilakukan Program Studi Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung. Sejumlah bahan tambang mineral diteliti. Harapannya, semua bisa jadi jembatan Indonesia semakin sejahtera.
KOMPAS/SAMUEL OKTORA–Proses pemanasan dalam tanur sedang berlangsung di Laboratorium Pirometalurgi Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (12/3/2019).
Selasa (12/3/2019) petang, kegiatan penelitian di Laboratorium Pirometalurgi Lantai VI Gedung Riset dan Museum Energi dan Mineral Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB di Bandung, Jawa Barat, masih berlangsung. Sejumlah mahasiswa semester VIII Prodi Teknik Metalurgi ITB berada di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka tengah mengekstraksi red mud untuk diambil kandungan logam besinya. Red mud adalah limbah pengolahan mineral bauksit menjadi alumina. Bisa dibilang ini menjadi terobosan baru karena sebelumnya red mud dibuang begitu saja atau sekadar menjadi bahan pembuatan batako.
Pemanfaatan red mud adalah rangkaian penelitian yang tengah dilakukan Prodi Metalurgi ITB mulai tahun lalu. Semuanya jadi lanjutan keinginan mereka mencari beragam alternatif cara menghasilkan logam besi dari beragam sumber mineral.
”Penelitian ini masih terus berkembang. Kami yakin proses ini akan terus memberi kontribusi untuk menghasilkan logam besi,” kata Ketua Prodi Teknik Metalurgi ITB Zulfiadi Zulhan.
Belum dimanfaatkan
Zulfiadi tidak asal bicara. Tahun lalu, bersama sejumlah mahasiswa Teknik Metalurgi ITB, dia merampungkan penelitian laboratorium bertajuk ”Produksi Nugget Besi dari Konsentrat Pasir Besi”. Mereka berhasil memisahkan kandungan logam besi dalam konsentrat pasir besi. Pendanaannya didapatkan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sebesar Rp 400 juta.
Penelitian itu tidak lepas dari kekayaan Indonesia yang punya kandungan pasir besi sangat besar. Berdasarkan data Pusat Sumber Daya Geologi, potensi besi dalam pasir besi Indonesia mencapai 2 miliar ton. Jumlah itu setara 425 juta ton logam besi. Pasir besi banyak tersebar di selatan Jawa, barat Sumatera, hingga Maluku.
Meski demikian, pemanfaatannya belum maksimal. Perusahaan tambang pasir besi di Indonesia sebatas meningkatkan kadar besi, dari rata-rata sekitar 12 persen menjadi hingga lebih dari 50 persen, sebelum diekspor. Ekspornya berbentuk pelet atau konsentrat dengan kadar besi di atas 75 persen.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dikeluarkan pemerintah juga memunculkan sejumlah tantangan. Ekspor produk mineral, termasuk bijih atau pasir besi, dalam bentuk mentah dilarang.
Bahan tambang itu wajib diolah di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah mineral. Kebijakan itu bukan hal baru di luar negeri. Negara seperti Jepang, Korea Selatan, Jerman, Amerika Serikat, dan China sudah lama menerapkannya.
Fakta belum banyak negara mengembangkan hal ini juga menjadi daya tarik lain. Di dunia, baru perusahaan New Zealand Steel di Glenbrook, Selandia Baru, yang sudah menggunakan pasir besi sebagai bahan baku baja dengan kapasitas 0,65 juta ton baja per tahun. Jumlah itu masih jauh dari produksi baja dunia sekitar 1.600 juta ton per tahun.
KOMPAS/DEDI MUHTADI–Salah satu aktivitas penambangan pasir besi di pantai selatan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
”Hingga tahun 2013, kewajiban pengolahan bahan tambang belum bisa dipenuhi perusahaan tambang dalam negeri. Teknologinya belum ada. Saya kemudian membuat proposal penelitian. Proposal diterima sebagai penelitian awal dalam karakterisasi pasir besi dan bagaimana mereduksinya,” ujar Zulfiadi.
Penelitian ini lantas dimulai Zulfiandi tahun 2014. Di laboratorium ITB, konsentrat pasir besi ditambahkan batubara dan dipanaskan dalam tanur. Tanur adalah sejenis oven dengan penyekat termal yang dapat dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu, kurang dari 1.400 derajat celsius. Pada tahap awal dilakukan pemanasan isotermal. Kemudian, proses pemanasan ditingkatkan secara bertahap sampai lebih kurang 150 menit.
”Tahun 2015, kami berhasil memisahkan dan mengeluarkan logam besi berbentuk butiran logam besi dengan kadar di atas 90 persen,” katanya.
Proses ini menyempurnakan pengolahan serupa yang pernah dilakukan di Jepang tahun 1965. Saat itu, pemanasan konsentrat pasir besi dilakukan menggunakan peningkatan temperatur bertahap. Namun, tidak ada pencampuran batubara dalam proses itu. Hasilnya, besi logam masih menyatu dengan oksida lain.
Terkuat di dunia
Saat ini, tim gabungan yang terdiri dari ITB, Badan Kejuruan Persatuan Insinyur Indonesia, Balai Besar Logam dan Mesin Kementerian Perindustrian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Universitas Jenderal Achmad Yani, serta pihak swasta tengah menyusun rencana jangka panjang. Rektor ITB Kadarsah Suryadi berharap penelitian ini dapat diterapkan pada skala industri.
Hasil penelitian ini harus diuji pada tahap demo plant atau pilot plant. Demo plant dilakukan untuk melihat aspek keekonomiannya. Sejauh ini, biaya produksi untuk demo plant diperkirakan di bawah Rp 10 miliar. Adapun pilot plant dilakukan untuk melihat skala ekonomi yang lebih besar dan diperkirakan membutuhkan dana hingga lebih dari Rp 10 miliar.
”Kami sangat terbuka bekerja sama dengan industri. Diharapkan Indonesia ke depan dapat mengolah kekayaan alamnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan baja serta logam lain yang terkandung di dalamnya, termasuk logam langka, vanadium,” kata Kadarsah.
Menurut Zulfiadi, dengan adanya kemampuan mengolah bahan mineral lain untuk menghasilkan logam besi, Indonesia dapat melakukan substitusi impor bahan baku baja. Kapasitas produksi baja dunia dari Indonesia berpotensi meningkat.
Dia mengatakan, produksi baja Indonesia mencapai 8 juta ton per tahun, berbahan bijih besi hematit. Padahal, kebutuhannya mencapai 15 juta ton per tahun. Sisanya masih harus dipenuhi dari luar negeri. Saat ini, produsen baja terbesar dunia adalah China (sekitar 800 juta ton per tahun), Rusia (150 juta ton per tahun), Amerika Serikat (100 juta ton per tahun), dan Jepang (100 juta ton per tahun).
REUTERS–Pekerja beraktivitas di dekat besi yang dicairkan di pabrik baja Dongbei Special Steel, Dalian, Provinsi Liaoning, China, Selasa (17/7/2018).
”Siapa saja yang menguasai baja itu menguasai dunia. Tak heran, China menjadi salah satu negara ekonomi terkuat. Indonesia punya potensi besar menuju jalan itu,” ujarnya.
Oleh SAMUEL OKTORA
Sumber: Kompas, 18 Maret 2019