Meski capung dekat dengan kehidupan masyarakat, berjasa terhadap lingkungan, dan memiliki jenis yang beragam, riset dan sumber informasi capung masih sedikit di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AGUS SUSANTO—Capung hinggap di atas dahan kering di kolam Taman Piknik di Jalan Manunggal II, Cipinang Melayu, Jakarta Timur, Minggu (7/7/2019).
Capung memiliki manfaat, keanekaragaman, dan sumber inspirasi bagi masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, sampai saat ini riset, kajian, buku, ataupun informasi terkait capung di Indonesia masih sedikit. Oleh karena itu, riset hingga pengumpulan informasi capung perlu ditingkatkan agar satwa jenis serangga ini terjaga kelestariannya.
Ketua Indonesia Dragonfly Society (IDS) Wahyu Sigit Rahadi dalam diskusi daring bertajuk ”Melindungi Satwa Menjaga Ekosistem”, Sabtu (12/9/2020), menyampaikan, capung sangat dekat dengan kehidupan masyarakat karena mudah dijumpai di sejumlah habitat, seperti sawah, sungai, parit, hutan, danau, rawa, dan kubangan.
Kedekatan capung dengan masyarakat ditunjukkan dari banyaknya sebutan lokal untuk serangga ini, seperti kinjeng, papatong, kasasiur, ponda, dudhug, andarinyo, kotrik, dan semprang. Masyarakat juga kerap mengaitkan capung dengan mitologi, legenda, cerita, lagu, atau teman permainan. Bahkan, capung sering menjadi sumber inspirasi untuk pengembangan teknologi, seni budaya, dan pendidikan.
Menurut Wahyu, capung juga memiliki jasa bagi lingkungan khususnya ekosistem pertanian sebagai pengendali alami serangga hama yang merusak tanaman. Sebagai hewan karnivora, capung membantu menjaga produktivitas tanaman dengan cara memakan serangga hama tersebut.
Namun, keberadaan capung untuk menjalankan fungsi ekosistemnya ini terancam oleh penggunaan bahan kimia berlebihan yang membuat perairan sawah tercemar. Padahal, untuk menjaga kelangsungan hidupnya, capung memerlukan habitat berupa perairan sawah yang baik dan sehat.
”Untuk ekosistem urban, capung sangat efektif untuk pengendalian nyamuk atau lalat. Persoalannya, di masyarakat urban, limbah rumah tangga luar biasa tidak terkendali, apalagi dunia industri turut memberi ancaman untuk kesehatan perairan dan buruknya kualitas udara akibat kendaraan bermotor,” ungkapnya.
KOMPAS/SUCIPTO—Capung hinggap di antara kangkung yang ditanam oleh kelompok tani Bumi Subur di Kelurahan Sumber Rejo, Kecamatan Balikpapan Utara, Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (25/5/2019).
Selain itu, capung dewasa juga dapat menjadi salah satu aspek pemantauan kualitas lingkungan suatu kawasan, seperti perairan air tawar, hutan, dan lanskap. Hal ini karena ada banyak spesies capung yang hanya akan tinggal di daerah dengan vegetasi tumbuhan cukup lengkap dan berkanopi serta memiliki intensitas cahaya rendah. Capung juga akan pergi ketika habitat alaminya mengalami perubahan atau kerusakan.
Dari aspek keanekaragaman, Wahyu menyatakan, saat ini terdapat 5.000-6.000 jenis capung yang ada di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, lebih kurang 1.125 jenis capung terdapat di Indonesia atau sekitar 20 persen dari total jenis yang ada di dunia.
Minim riset
Meski dekat dengan kehidupan masyarakat, berjasa terhadap lingkungan, dan memiliki jenis yang beragam, riset dan sumber informasi capung masih sedikit di Indonesia. Dari catatan IDS, hanya ada 13 buku tentang capung yang terdiri dari enam buku karya orang asing dan tujuh buku karya orang Indonesia.
Publikasi ilmiah tentang capung juga hanya terdapat 20 hingga 25 kajian. Ahli atau peneliti capung Indonesia tercatat hanya ada enam orang, yang semuanya berasal dari luar negeri. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada peneliti atau penulis yang menerbitkan buku panduan tentang identifikasi capung Indonesia.
—-Kiri-kanan: Capung jemur bercak hitam (Urothemis signata), capung sayap oranye (Brachythemis contaminata), capung tombal loreng (Ictinogomphus decoratus).
”Ketika ditanya berapa jumlah data capung di Indonesia, saya tidak bisa jawab karena memang belum ada data yang bisa menampilkan secara valid tentang keragaman capung di Indonesia. Walaupun sebenarnya kami sedang bekerja untuk mengumpulkan data dari penelitian atau referensi lama tentang capung di Indonesia,” tutur Wahyu.
Sekretaris Program Studi Magister Biologi Universitas Nasional Fitriah Basalamah mengatakan, sulitnya menjumpai capung di lingkungan sekitar menjadi pertanda bahwa saat ini telah terjadi kerusakan lingkungan. Beberapa jenis capung semakin terancam karena adanya perburuan dan perdagangan untuk para kolektor serangga.
”Siklus hidup capung sangat tergantung pada kondisi perairan. Kita bisa memprediksi, mungkin ke depan perairan kita semakin terganggu. Di tambah lagi intensnya penggunaan antiseptik di masa pandemi yang mungkin berdampak pada keadaan satwa ini,” ujarnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 September 2020