Cahaya Tertua Ungkap Umur Alam Semesta 13,77 Miliar Tahun

- Editor

Rabu, 29 Juli 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Studi cahaya tertua yang berasal dari sisa-sisa ”Big Bang” menunjukkan umur alam semesta saat ini mencapai 13,77 miliar tahun. Data itu dikumpulkan astronom menggunakan Teleskop Kosmologi Atacama (ACT) di Chile.

KOMPAS/ACT COLLABORATION—Bagian dari citra radiasi gelombang mikro latar belakang yang diukur oleh tim menggunakan Teleskop Kosmologi Atacama (Atacama Cosmology Telescope) yang ada di Gurun Atacama, Chile. Dari pengukuran radiasi latar belakang ini diperoleh umur alam semesta saat ini mencapai 13,77 miliar tahun dengan rentang kesalahan lebih kurang 40 juta tahun.

Studi cahaya tertua yang berasal dari sisa-sisa Dentuman Besar atau Big Bang menunjukkan umur alam semesta saat ini mencapai 13,77 miliar tahun dengan rentang kesalahan lebih kurang 40 juta tahun. Studi itu makin menguatkan sejumlah perkiraan umur alam semesta sebelumnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Perhitungan terbaru umur alam semesta itu ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap pengembangan alam semesta dengan laju yang dipercepat ke segala arah. Data itu dikumpulkan astronom menggunakan Teleskop Kosmologi Atacama (ACT) yang ada di Gurun Atacama, Chile.

Seberapa cepat alam semesta mengembang selama ini masih menjadi berdebatan di antara para ahli walau sama-sama memiliki basis ilmiah yang kuat. Kecepatan pengembangan alam semesta menjadi faktor penting untuk memahami umur alam semesta.

Kecepatan pengembangan semesta itu sering digambarkan sebagai konstanta Hubble atau H0. Banyaknya metode yang digunakan untuk menentukan konstanta Hubble itu membuat hasil yang diperoleh pun beragam, demikian pula umur alam semesta yang didapat.

Sejumlah metode pengukuran konstanta Hubble itu, seperti dikutip dari Space, Senin (27/7/2020), adalah dengan mengukur seberapa cepat galaksi di dekat galaksi kita, Bimasakti, menjauhi galaksi kita ini. Metode lain adalah dengan mempelajari gelombang mikro kosmik latar belakang alias cosmic microwave background (CMB).

Radiasi gelombang mikro kosmik latar belakang (CMB) atau sering disebut dengan istilah lebih singkat radiasi latar belakang merupakan radiasi sisa Dentuman Besar (Big Bang) alias cahaya atau radiasi tertua yang bisa dideteksi saat ini. Cahaya ini dipancarkan saat alam semesta masih berusia bayi, 380.000 tahun.

Ketika itu, seperti dikutip dari Langitselatan, 22 Maret 2013, alam semesta masih seperti ”sup” yang sangat panas dan padat, suhunya mencapai 2.700 derajat celsius. Isi alam semesta masih berupa proton, elektron, dan foton yang saling berinteraksi. Saat proton dan elektron bergabung membentuk hidrogen, saat itulah cahaya pertama semesta terbentuk.

Saat alam semesta mengembang, cahaya ini ikut mengembang dalam radiasi latar belakang (CMB). Pengembangan itu membuat suhu alam semesta menurun drastis yang saat ini mencapai 2,7 derajat kelvin alias minus 270,45 derajat celsius.

Pengukuran berbeda sebagai konfirmasi dari studi sebelumnya yang dilakukan astronom lain menemukan tidak ada kesalahan dalam pengukuran pengembangan alam semesta menggunakan CMB.

”Kami menemukan tingkat pengembangan alam semesta yang sesuai perkiraan yang dihitung tim yang menggunakan data satelit Planck. Ini makin memberikan keyakinan kepada kami saat mengukur usia alam semesta menggunakan cahaya tertua,” kata Steve Choi, astrofisikawan dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang menggunakan CMB untuk mengukur alam semesta.

—-Ilustrasi yang menunjukkan satelit Planck milik Badan Antariksa Eropa. Satelit ini digunakan untuk mengukur radiasi gelombang mikro kosmik latar belakang (CMB) yang berguna untuk mempelajari alam semesta usia dini, termasuk umur alam semesta. Satelit Planck adalah observatorium luar angkasa milik Badan Antariksa Eropa yang diluncurkan pada 2009 untuk mengukur radiasi gelombang mikro kosmik latar belakang (CMB). Pada 2018, tim satelit Planck memublikasikan hasil pengukuruan CMB dengan tingkat presisi yang belum pernah ada sebelumnya.

Tim Choi kemudian juga mengukur radiasi gelombang mikro kosmik latar belakang menggunakan ACT di Gurun Atacama, Chile. Mereka melacak perbedaan samar energi CMB di sejumlah bagian langit yang mencakup separuh wilayah langit pada 2013-2016. Data yang ada kemudian dibersihkan dan dianalisis menggunakan superkomputer.

Hasil yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung konstanta Hubble alias seberapa cepat alam semesta mengembang dan diperoleh umur alam semesta saat ini mencapai 13,77 miliar tahun dengan rentang kesalahan lebih kurang 40 juta tahun.

Sebelumnya, tim Planck pada 2013 mengumumkan studi yang menunjukkan umur alam semesta mencapai 13,8 miliar tahun. Angka ini lebih tua 80 juta tahun daripada data umur semesta yang diketahui saat itu sebesar 13,77 miliar tahun.

Selain data itu, pendeteksian terhadap galaksi UDFy-3813553, seperti dikutip

Kompas, 4 November 2010, menunjukkan galaksi itu berjarak 13 miliar tahun cahaya. Artinya, galaksi itu sudah terbentuk pada 600 juta tahun setelah Dentuman Besar. Data lain di Kompas, 30 April 2005, menyebut Galaksi Abell 1835 IR 1916 berjarak 13,23 miliar tahun cahaya dari Bumi.

Sementara itu, dikutip dari Scientific American, 10 Januari 2018, usia alam semesta saat ini mencapai 13,8 miliar tahun yang diukur berdasarkan bintang-bintang tertua yang ada di kluster atau galaksi awal yang terbentuk di semesta.

Berbagai studi itu, termasuk studi Choi dan tim, makin mengukuhkan prediksi umur alam semesta saat ini yang mencapai 13,8 miliar tahun. Umur ini memang sulit dibayangkan dengan pola umur manusia yang rata-rata saat ini mencapai sekitar 70 tahun. Namun, sampai kapan alam semesta bertahan ataupun nasib semesta di masa depan, juga menjadi prediksi yang menantang di antara astronom dan kosmolog.

Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 28 Juli 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB