CATATAN IPTEK
Seperti pisau bermata dua, kehadiran internet ternyata bisa menjadi berkah atau musibah. Dalam politik, sudah terbukti bagaimana hoaks, ujaran kebencian, dan pelbagai fitnah yang berseliweran di media sosial telah memicu huru-hara dan nyaris memecah belah bangsa.
Dalam bidang kesehatan, ternyata setali tiga uang. Terakhir adalah kasus cacar monyet yang baru-baru ini ditemukan di Singapura. Mungkin karena dekat dengan Indonesia, hoaks berupa gambar orang terkena cacar lengkap dengan penjelasan tentang cacar monyet yang seolah-olah ilmiah dan benar langsung beredar dari grup ke grup Whatsapp.
Padahal, kemungkinan penularan cacar monyet dari Singapura ke Indonesia sangat minimal karena Singapura sudah mendiagnosis dan menangani kasus ini secara cepat. Apalagi, penularan antarmanusia amat jarang terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Penumpang dari Singapura tiba saat berlangsung pemindaian suhu tubuh oleh Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas I Surabaya di Bandara Juanda Surabaya di Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (17/5/2019). Pengawasan kepada penumpang yang baru tiba dari luar negeri terutama Singapura diperketat untuk mencegah masuknya penyebaran penyakit virus monkeypox atau cacar monyet.
Cacar monyet adalah penyakit zoonosis atau ditularkan dari hewan ke manusia. Menurut Pusat Pencegahan dan Kontrol Penyakit (CDC) Amerika Serikat, meski berasal dari Afrika, penyakit ini pertama ditemukan tahun 1958 di laboratorium primata Kopenhagen, Denmark. Ada kejadian luar biasa (KLB) mirip cacar pada koloni monyet untuk keperluan riset itu. Dari sinilah lahir nama monkeypox atau cacar monyet.
Kasus cacar monyet pertama pada manusia tercatat tahun 1970 di Kongo. Sejak saat itu cacar monyet banyak dilaporkan menginfeksi manusia di kawasan Afrika tengah dan barat. Republik Demokratik Kongo mencatat KLB terbesar dengan lebih dari 1.000 kasus (1970-sekarang), diikuti Nigeria 115 kasus (2017-sekarang), dan Kongo 88 kasus untuk 2017.
Di luar Afrika, kasus cacar monyet pada manusia baru dilaporkan pada tahun 2003 di Amerika Serikat (47 kasus), 2018 di Inggris (3) dan Israel (1), serta 2019 di Singapura (1).
Soeharsono dalam bukunya, Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia, Volume 2 (2005), menjelaskan, kasus cacar monyet pada manusia sulit dibedakan dengan cacar manusia (variola). Infeksi biasanya diawali dengan demam kadang-kadang disertai sakit tenggorokan.
Penyebaran ruam (rash) terutama di sekitar wajah dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Pada cacar monyet pembengkakan kelenjar limfe lebih besar daripada cacar manusia. Karena itu, penegakan diagnosis biasanya merupakan kombinasi dari kejadian klinik, pengamatan epidemiologi, dan uji laboratorium.
Penyakit cacar monyet biasanya berlangsung 2-4 minggu dan kemudian sembuh sendiri. Namun, di Afrika—mungkin karena buruknya penanganan—kematian bisa terjadi pada satu dari 10 orang yang terinfeksi.
Meski penular utamanya adalah monyet Afrika, cacar monyet juga bisa ditularkan oleh tikus raksasa Gambia (Cricetomys gambianus) seperti yang pernah terjadi di AS. Impor tikus ini sebagai binatang peliharaan (pet) membuat cacar monyet menyebar ke pelbagai wilayah. Pemerintah AS segera memvaksinasi mereka yang berisiko tertular dan akhirnya penularan penyakit berhenti.
Hingga saat ini belum ada sistem penanganan cacar monyet baku yang terbukti aman. Namun, seperti yang dilakukan di AS, vaksinasi bisa menjadi metode paling mudah, aman, dan murah untuk pencegahan. Aneka vaksin, seperti cacar air, antiviral, dan immuno glubolin (VIG), bisa dipakai.
Oleh AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 29 Mei 2019