Sebagian target pembangunan 49 waduk berada di Pulau Jawa. Rencana itu bakal membuka sejumlah kawasan hutan sehingga pemerintah berencana melonggarkan regulasi untuk mempermudah penggunaan kawasan hutan di Pulau Jawa.
Saat ini, pemerintah bersiap merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta PP No 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Revisi diperlukan karena kedua PP itu mengamanatkan daerah dengan tutupan hutan kurang dari 30 persen, seperti di Pulau Jawa, wajib menyediakan lahan pengganti dua kali lipat.
Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, waduk di Pulau Jawa meliputi Waduk Karian dan Sindangheula (Banten); Logung, Jlantah, dan Matenggeng (Jawa Tengah); Bener dan Karangtalun (DI Yogyakarta), serta Semantok, Bagong, Lesti, dan Wonodadi (Jawa Timur).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Rabu (17/6) di Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, pembahasan revisi PP masih di internal Kementerian LHK. Langkah itu, lanjutnya, untuk menjawab kebutuhan lahan sekaligus komitmen perlindungan hutan.
“Politik pemerintah ingin bangun infrastruktur. Birokrasi mengartikulasikannya. Paling penting, dengan kemudahan itu, standar norma ukuran tak boleh lepas,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan San Afri Awang mengatakan, revisi No 10/2010 dan PP No 24/2010 ingin mewadahi kebutuhan infrastruktur di Pulau Jawa. Dengan peraturan di dalam PP tersebut, pemerintah kesulitan mencarikan lahan pengganti.
“Kami harus bijak. Untuk Jawa, kepentingan publik kami benarkan,” ujarnya.
Ia menjelaskan definisi hutan menurut UU No 41/1999 tentang Kehutanan berbicara terkait penetapan dan tutupan vegetasi atau fungsi hutan. Peran dan fungsi hutan sebagai penyimpan air ini yang disiasati atau menjadi “pembenar” dengan mengubahnya menjadi waduk/bendungan.
San Afri mencontohkan kasus Bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang yang hingga kini belum beroperasi karena terkendala izin pelepasan hutan dari Kementerian Kehutanan (kini Kementerian LHK). “Sekarang kami terobos, Waduk Jatigede tetap sebagai kawasan hutan (izin pinjam pakai). Cuma (bentuknya) waduk. Kompensasinya, vegetasi diperlebar,” kata San Afri.
Ia menekankan, aturan itu hanya berlaku untuk Pulau Jawa yang memiliki tutupan hutan kurang dari 30 persen dan untuk kepentingan publik yang dijalankan pemerintah. Ditekankan pula, kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) serta izin lingkungan merupakan penentu.
“Kalau banyak mudaratnya, jangan diteruskan. Kalau banyak manfaatnya, negatifnya itu yang dikelola dalam amdal. Tidak mungkin pembangunan itu zero damage,” katanya.
Di Jakarta, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Abetnego Tarigan menyayangkan pemerintah yang kembali mengambil jalan pintas dan parsial. “Belum ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis, tetapi hutan Jawa kembali dibebani,” ujarnya.
Rencana itu, lanjutnya, bakal membuat Pulau Jawa semakin rentan bahaya banjir dan longsor. Di sisi lain, kondisi sebagian hutan Jawa, termasuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani dan hutan konservasi, rusak.
“Yang rusak belum diberesi, lalu aturan diubah. Potensi alih fungsi hutan akan jadi sangat besar,” kata Abetnego. (ICH)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Butuh Waduk, Penggunaan Hutan Jawa Diperlonggar”.