Profesi kepala sekolah selama ini kerap dianggap sebatas menjalankan tugas administratif. Padahal, kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga pendidikan memiliki pengaruh terhadap performa pengajaran di sekolah.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Salah seorang pendiri Global School Leader, Sameer Sampat, menjelaskan mengenai pentingnya kepemimpinan kepala sekolah yang efisien dan berbasis data pada Forum Kajian Pembangunan di Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga pendidikan memiliki pengaruh terhadap performa pengajaran yang berlangsung di sekolah. Meskipun begitu, diskusi dan evaluasi pengajaran yang menyasar pada masalah riil di kelas beserta pencarian berbagai alternatif jalan keluar belum membudaya di sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal tersebut mengemuka dalam Forum Kajian Pembangunan di Jakarta, Kamis (5/12/2019). Topik kali ini adalah ”Tantangan Mengembangkan Kepemimpinan Kepala Sekolah untuk Atasi Krisis Belajar di Indonesia”. Diskusi dilakukan dengan menghadirkan para peneliti dari RISE Smeru, Inisiatif Kepemimpinan Pendidikan untuk Raih Prestasi (Inspirasi), dan Global School Leader (GSL).
Salah seorang pendiri GSL, Sameer Sampat, mengatakan, profesi kepala sekolah selama ini kerap dianggap sebatas menjalankan tugas administratif. Lembaga ini melakukan penelitian dan pendampingan di berbagai sekolah di Malaysia, India, Kenya, dan Tanzania. Kini, melalui kemitraan dengan Inspirasi dan RISE Smeru juga mulai melihat kondisi di Indonesia.
”Pertanyaan yang pertama diajukan kepada kepala sekolah, guru, dan para orangtua siswa ialah apa tujuan sekolah bagi mereka dan hasil seperti apa yang ingin mereka capai di diri siswa? Baru setelah itu ditelaah sejauh mana kebijakan kepala sekolah dan kinerja guru mendukung visi sekolah itu,” tutur Sampat.
Permasalahan jamak di negara-negara berkembang adalah akses pendidikan merata serta meluas, tetapi mutu pendidikan jalan di tempat. Bahkan, siswa rutin masuk sekolah dan kompetensi kognitif, keterampilan, dan karakternya tidak berkembang. Akibatnya, muncul kesimpulan bahwa siswa bersekolah tetapi tidak belajar.
Lima faktor
Sampat menjelaskan lima faktor yang menentukan siswa bisa belajar di sekolah. Pertama adalah membiasakan memberikan umpan balik di antara semua warga sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, dan siswa. Tidak sekadar memberikan pujian dan teguran, tetapi juga membicarakan betul permasalahan dan jalan keluarnya.
Kedua, membuat kebijakan yang berlandaskan data. Permasalahan di lapangan adalah kepala sekolah dan guru tidak tahu cara mencari data riil di sekolah mereka. Ada pula yang mengetahui data, tetapi tidak tahu cara mengolah dan menjadikannya dasar kebijakan.
”Kami meminta setiap kepala sekolah memilih satu saja masalah di sekolah yang perlu segera ditanggulangi. Misalnya, di Malaysia ada kepala sekolah mengeluh guru-guru suka terlambat datang,” ujarnya.
Dari permasalahan itu, kepala sekolah mengumpulkan data sederhana, seperti jumlah guru yang terlambat, lama mereka belum muncul di sekolah, dan dampak terhadap pemelajaran. Informasi terkumpul dirapatkan dengan para guru yang kemudian bersama mencari solusi dan berkomitmen mematuhinya.
Ketiga, memberi siswa perhatian melalui personalisasi pemelajaran. Caranya adalah menjaga komunikasi dengan siswa dan memastikan mereka bisa mengaitkan dirinya dengan materi yang dipelajari.
Faktor keempat ialah mengurangi kegiatan seremonial dan menambah kegiatan terkait pengembangan diri siswa, seperti diskusi, kerja kelompok, dan mengasah bakat. Adapun faktor kelima melakukan pengawasan serta evaluasi yang hasilnya dipakai untuk membangun sistem kerja dan administrasi yang efisien.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Daniel Suryadarma dari lembaga penelitian RISE Smeru menerangkan penemuan awal di 25 SD dan madrasah ibtidaiyah di Karawang, Jawa Barat, yang tidak ada perkembangan signifikan pada kemampuan literasi dan numerasi siswa kelas II hingga VI. Ia berbicara di Forum Kajian Pembangunan di Jakarta, Kamis (4/12/2019).
Paradigma perkembangan
Daniel Suryadarma, peneliti RISE Smeru, menerangkan, data awal yang dikumpulkan dari 20 SD dan lima madrasah ibtidaiyah (MI) di Karawang, Jawa Barat, menunjukkan bahwa mayoritas guru dan kepala sekolah belum memiliki paradigma perkembangan. Artinya, mereka memandang kecerdasan siswa sebagai bawaan lahiriah, bukan hal yang bisa dikembangkan dengan cara dilatih dan dibina.
Selain itu, kepala sekolah mengaku di sekolahnya ada masalah, misalnya guru mengajar masih dengan cara memberikan ceramah di depan kelas atau siswa sukar menyerap pelajaran. Namun, mereka tidak mengetahui penyebab permasalahan ataupun mendiskusikan jalan keluar dengan para guru.
”Mayoritas kepala sekolah mengatakan target pemelajaran adalah nilai ujian siswa. Dari 25 kepala sekolah, cuma lima orang yang mengatakan target akhir sekolah adalah kompetensi siswa,” kata Daniel.
Hal ini berkorelasi dengan proses pengajaran yang sebatas mengedepankan kenyamanan fisik, seperti tata letak meja dan kursi serta ruang kelas memiliki cahaya matahari. Dari aspek kenyamanan siswa mengikuti pelajaran secara psikis seperti guru berdialog, memberikan umpan balik, memberikan motivasi, dan mendampingi pemelajaran masih minim terjadi.
Selain itu, RISE Smeru menemukan guru tidak mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Dari tes yang dilakukan terhadap para siswa ditemukan literasi dan numerasi siswa bermasalah. Mereka bisa membaca teks, tetapi tidak memahami. Bahkan, tidak ada perbedaan signifikan tingkat literasi dan numerasi siswa kelas II dengan kelas VI.
Fokus masalah
Peneliti Inspirasi, Cici Tri Wanita, mengatakan, lembaganya kini mendampingi 25 SD dan MI di Karawang. Tahun 2020 akan bertambah menjadi 75 sekolah. Mereka mengambil metode mirip dengan GSL, yaitu meminta setiap kepala sekolah fokus ke satu masalah yang perlu segera diatasi di sekolah masing-masing. Bersama mereka mengumpulkan data kemungkinan alasan masalah itu terjadi, yaitu guru tidak menyadari ada masalah, guru menolak mengakui ada masalah, atau guru mengetahui ada masalah, tetapi takut menindaklanjuti.
Inspirasi mendampingi kepala sekolah selama 1,5 bulan untuk mencari jalan keluar. Metodenya bisa diskusi bersama guru, mengajak setiap guru mencari minimal satu kemungkinan solusi, dan sesama guru melakukan penilaian metode pengajaran. Setelah itu akan dievaluasi dan dibenahi sehingga sekolah terbiasa membuat program, tindakan, dan aturan berbasis penemuan lapangan.
Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 5 Desember 2019