Budaya megalitik selama ini hanya dianggap sebagai peninggalan masa lampau yang jauh dari kebudayaan masa sekarang. Padahal, kehidupan masyarakat megalitik juga berandil besar dalam membentuk budaya Nusantara dan karakter bangsa.
Demikian salah satu gagasan dalam orasi Bagyo Prasetyo saat pengukuhan sebagai profesor riset bidang arkeologi prasejarah pada Pusat Arkeologi Nasional yang digelar di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Senin (1/12). ”Selama ini, pengetahuan tentang budaya megalitik disajikan hanya sebagai gambaran kehidupan nenek moyang manusia dengan segala aktivitasnya. Penelitian lebih mengangkat budaya megalitik secara kebendaan, tetapi belum melihat nilai-nilai di dalamnya,” katanya.
Menurut Bagyo, budaya megalitik memiliki andil besar dalam pembentukan budaya Nusantara dan pembangunan karakter bangsa dengan setiap daerah memiliki ciri tersendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peninggalan megalitik di Nias, misalnya, berbentuk behu (menhir dengan bagian atas berhias pahatan burung) dan dao-dao (kursi batu). Sementara peninggalan megalitik di Kerinci berbentuk dolmen dan arca, di Minahasa berupa waruga (peti kubus batu berpenutup limas), Lembah Besoa dan Bada dengan kalamba (tempayan batu) dan arca, serta Jawa dengan arca, sarkofagus, menhir, batu dakon, dan lumpang batu.
Terbentuknya kekhasan budaya megalitik di setiap wilayah dipengaruhi kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam. Masyarakat menerima budaya luar, lalu mengolahnya untuk menciptakan karakter dan jati dirinya.
Ritus-ritus megalitik mencerminkan adanya nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat sejak dulu, seperti kekayaan alam pikiran tentang dunia transendental, pengetahuan praktis memilih jenis bebatuan, estetika, kegotongroyongan, kepemimpinan, dan keterbukaan. ”Revitalisasi dan aktualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan megalitik dapat menjadi kekuatan dalam membangun kehidupan bangsa,” ujar Bagyo.
Di seluruh Kepulauan Nusantara ditemukan 593 situs megalitik dengan 22 jenis atau bentuk. Situs megalitik Nusantara ini mulai muncul menjelang Masehi dan terus berkembang sampai abad ke-20 Masehi.
Dalam kesempatan yang sama, mantan Kepala Pusat Arkeologi Nasional Bambang Sulistyanto juga dikukuhkan sebagai profesor riset bidang arkeologi publik. Dalam orasinya, Bambang menyampaikan soal manajemen konflik dalam pengelolaan warisan budaya.
Ketua Majelis Pengukuhan Profesor Riset LIPI Iskandar Zulkarnain mengatakan, Bagyo dan Bambang adalah profesor riset kelima dan keenam di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara di tingkat nasional, mereka adalah profesor ke-447 dan 448. (ABK)
Sumber: Kompas, 2 Desember 2014