Pelaku penambangan emas skala kecil didorong untuk menggunakan metode sianidasi sebagai pengganti merkuri dalam mengolah emas. Penggunaan merkuri sangat berbahaya bagi lingkungan dan manusia.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA—Warga menambang batu dan emas di sepanjang aliran Sungai Luk Ulo di Desa Kalipucang, Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Kamis (31/10/2019). Sebelum sebagai pemburu emas, mereka merupakan penambang pasir dan batu.
Pelaku penambangan emas skala kecil saat ini masih banyak yang menggunakan merkuri sebagai bahan pengolahan. Padahal, merkuri sangat berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Terdapat alternatif pengolahan berupa sianidasi sebagai pengganti penggunaan merkuri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski terkesan menakutkan, sianidasi relatif lebih aman bagi kesehatan dan meningkatkan produk lebih banyak. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menawarkan teknologi pengolahan ini bagi penambangan emas skala kecil (PESK).
Sekretaris Utama BPPT Dadan Nurjaman, Selasa (16/6/2020), mengatakan, sianidasi menggunakan senyawa sianida sebagai pelarut untuk mengikat emas. Senyawa beracun ini, ia mengingatkan, bisa membawa dampak positif jika dikelola dengan benar dan bertanggung jawab.
Proses sianidasi dilakukan dengan cara mencampur emas dengan air di dalam tangki dan senyawa kapur yang dimasukkan sedikit demi sedikit. Kemudian, natrium sianida dimasukkan jika tingkat keasaman atau Ph telah mencapai 10,50. Proses selanjutnya yaitu memasukkan karbon aktif, oksidator, dan reagen pendukung untuk mendestruksi racun sianida.
Tailing atau bahan yang tertinggal kemudian ditransfer ke kolam pengendapan. Lalu, secara alamiah sisa sianida bereaksi dengan oksidator dan sinar matahari sehingga pada akhirnya memenuhi baku mutu lingkungan.
”Setelah itu limbah baru bisa dilepas ke lingkungan,” ujarnya dalam webinar Pengolahan Emas Rakyat yang Bertanggung Jawab, Selasa (16/6/2020).
Dengan sianidasi, Dadan menyebut emas dapat diproduksi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan merkuri. Terpenting, dampak kesehatan ataupun pencemaran lingkungan jauh lebih bisa direduksi dengan metode ini.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli mengemukakan, PESK saat ini identik dengan tambang ilegal dan merusak lingkungan. Kerusakan lingkungan di antaranya akibat pencemaran merkuri dan penggunaan sianida tak terkontrol hingga perambahan hutan.
Dijelaskannya, merkuri merusak lingkungan karena pembakaran dilakukan terbuka sehingga mencemari udara. Selain itu, para pekerja juga sering terpapar merkuri karena tidak menggunakan alat pelindung diri ataupun standar keselamatan lainnya.
Menurut Rizal, merkuri masih kerap digunakan petambang karena alasan nilai ekonomis. Ini karena para petambang emas rakyat umumnya minim modal, teknologi, dan pengetahuan.
”Untuk melakukan pengolahan emas yang lebih kompleks, dibutuhkan peralatan seperti crusher (penghancur). Kemudian mengontrol limbahnya dan diolah kembali sehingga tidak dilepas lagi ke lingkungan. Itu semua membutuhkan teknologi dan modal,” katanya.
Dadan menyampaikan, PESK telah memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi, termasuk membuka lapangan pekerjaan dan mengurangi angka pengangguran. Namun, sebagian besar PESK dilaksanakan tanpa mengikuti kaidah pertambangan yang baik, khususnya terkait penggunaan merkuri.
Wajib berizin
Masih dalam webinar tersebut, Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non-B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Achmad Gunawan Widjaksono mengatakan, material sisa hasil penambangan emas masuk dalam daftar limbah B3. Selain memberikan izin, peran pemerintah, khususnya KLHK, juga turut mengawasi pengolahan limbah B3.
Dasar hukum pengelolaan limbah B3 tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 59 UU tersebut menyatakan bahwa pengelolaan limbah B3 wajib memiliki izin dari menteri, gubernur, bupati, atau wali kota sesuai dengan kewenangannya.
Selain itu, Pasal 102 dan 103 juga menyebutkan sanksi bagi pengelola limbah B3 tak berizin dan penghasil limbah B3 yang tidak mengelola limbahnya sendiri. Adapun sanksi yang ditetapkan yaitu pidana paling singkat satu tahun penjara dan denda paling sedikit Rp 1 miliar.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 17 Juni 2020