Dampak gempa Sanriku pada 11 Maret 2011 di pantai timur Jepang menjadi momentum pemantauan seketika tsunami oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Kemampuan tersebut diharap berkesinambungan karena penting untuk menunjang sistem peringatan dini tsunami di Tanah Air untuk masa-masa mendatang.
Hasil pemantauan diperoleh dari empat buoy DART (Deep Ocean Assessment Realtime Tsunami) milik Amerika Serikat. Dari keempat buoy, antara lain Buoy DART #52402 yang berjarak 1.100 kilometer timur episentrum gempa yang telah diberi nama Sanriku 11 Maret 2011. Informasi juga diperoleh dari Buoy DART #52403 yang ditempatkan 900 km utara Jayapura.
”Hasil pemantauan tsunami seketika (real time) ini diteruskan ke Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sehingga bisa untuk peringatan dini adanya tsunami yang akan menimpa wilayah timur Indonesia,” kata Kepala Program Operasi Ina Buoy Tsunami Early Warning System (TEWS) BPPT Wahyu Pandoe dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (16/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Narasumber lain hadir dalam konferensi pers dengan tema ”Analisis Gempa Jepang dan Mitigasi Bencana di Indonesia”. Mereka adalah Deputi Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Ridwan Djamaluddin, Perekayasa Bidang Teknologi Sumber Daya Lahan, Wilayah, dan Mitigasi Bencana BPPT Mulyo Harris Pradono, serta Perekayasa Bidang Deformasi Kebumian, Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT Agustan.
Agustan memaparkan, tsunami masuk wilayah Indonesia kurang dari enam jam. Wahyu mengakui, adanya pencabutan peringatan dini tsunami oleh BMKG pada pukul 21.00 tidak disusul pembenahan peringatan dini berikutnya, hingga datangnya tsunami kedua di Jayapura saat tengah malam.
”Ada gelombang tsunami kedua berselang sekitar empat jam dari sebelumnya di Jayapura yang kekuatannya hampir sama dengan gelombang pertama. Biasanya tsunami besar hanya terjadi pertama kali,” kata Wahyu.
Sementara itu, Mulyo memaparkan, kesiapsiagaan Jepang memang harus diakui dalam menghadapi risiko gempa.
”Gempa di Aceh atau Padang sempat menghancurkan konstruksi bangunan bertingkat, tetapi di Jepang hanya berdampak pada robohnya atap plafon,” ujar Mulyo. (NAW)
Sumber: Kompas, 17 Maret 2011