Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi membuat inovasi lapis lindung pemecah gelombang yang dinamai BPPT-lock. Inovasi ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri yang selama ini mengandalkan impor.
Sejumlah pelabuhan di Indonesia dilengkapi dengan infrastruktur breakwater atau pemecah gelombang untuk melindungi kapal dari hantaman gelombang tinggi. Lewat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Indonesia kini memiliki inovasi BPPT-lock sebagai lapis lindung pemecah gelombang.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–BPPT-lock yang terpasang di PLTU Pacitan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai negara maritim, kebutuhan lapis lindung pemecah gelombang untuk pelabuhan maupun pantai di Indonesia cukup tinggi. Pemecah gelombang ini diperlukan agar ombak di kolam labuh menjadi tenang sehingga tidak mengganggu proses sandar dan bongkar muat kapal.
Sayangnya, Indonesia selama ini masih mengandalkan lapis lindung buatan luar negeri. Berangkat dari hal ini, Pusat Teknologi Rekayasa Industri Maritim BPPT mengembangkan lapis lindung pemecah gelombang yang dinamai BPPT-lock.
Tim perekayasa mulai mengembangkan BPPT-lock pada tahun 2008 – 2010. Kemudian, pada Agustus 2012, Kementerian Hukum dan HAM memberikan hak paten pada inovasi ini dengan nomor paten ID P0031532.
Secara umum, komponen penyusun dari lapis lindung BPPT-lock ini sama dengan produk yang biasa diimpor dari luar negeri, yakni tetrapod dan dolos. Perbedaan mendasar memang hanya terlihat dari bentuknya. Namun, justru ini yang paling krusial.
Secara visual, desain BPPT-lock berbentuk seperti tanda + (plus) dengan tambahan cabang ke depan dan ke belakang di bagian tengahnya. Artinya, satu unit BPPT-lock terdiri dari enam cabang yang ujungnya dibuat meruncing. Volume dan berat dari BPPT-lock ini beragam, disesuaikan dengan kondisi gelombang yang akan dihadapi.
Nilai hidraulik
Bentuk ini dibuat bukan tanpa sebab. Di sinilah letak inovasi sesungguhnya. Bentuknya yang memiliki banyak cabang dan gemuk tersebut ternyata mampu menghasilkan nilai hidraulik yang stabil saat diterjang ombak. Artinya, ikatan antar unit lebih kuat dibandingkan produk lain.
“Karena bentuknya yang sangat khusus, jika dipasang di pantai maka akan saling mengunci satu sama lain. Lebih stabil dengan buatan luar negeri sebelumnya,” kata Direktur Pusat Teknologi Rekayasa Industri Maritim Taufiq Arif Setyanto di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Selain itu, BPPT-lock juga lebih ekonomis karena kebutuhan bahan beton lebih rendah dibandingkan tetrapod atau dolos. Hal ini karena jumlah unit yang dipasangkan pada sebuah luasan pemecah gelombang lebih sedikit dibandingkan dua produk asing tersebut.
Satu lagi keunggulan BPPT-lock adalah pemasangannya mudah. Masing-masing unit lapis lindung dapat dipasang dengan pola yang teratur maupun acak.
Pada 2018, PLTU Pacitan mengalami petaka saat infrastruktur pemecah gelombang mereka rusak. Selain lapis lindung dolos yang rusak, pemecah gelombang mereka juga terputus sepanjang 110 meter. Di sini BPPT-lock mulai unjuk gigi.
Kontraktor PLTU Pacitan, PT Rekadaya Elektrika lantas mempercayakan BPPT-lock untuk menyambung pemecah gelombang yang terputus tersebut. Setidaknya ada 720 unit dengan ukuran beragam yang telah dipasang pada 2018.
“Untuk yang ditempatkan menjorok ke tengah laut kami menggunakan ukuran 13 ton per unit. Kita asumsikan itu sudah mampu menyerap ombak 7 meter. Untuk yang mendekati pantai sekitar 10 – 11 ton per unit,” ujar Taufiq.
Fungsi BPPT-lock tidak hanya digunakan sebagai lapis lindung pemecah gelombang di pelabuhan. Lapis lindung ini juga berfungsi sebagai pencegah abrasi di kawasan pantai. Sejumlah kawasan pantai yang sudah terkikis gelombang bisa dipasang BPPT-lock agar pengikisan daratan yang lebih parah bisa teredam.
Uji coba
BPPT-lock telah mengalami serangkaian uji coba di Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai (BTIPDP) Yogyakarta. Taufiq mengatakan, sebelum prototipe dibangun, terlebih dahulu dilakukan uji coba dengan skala kecil menggunakan lapis lindung berdiameter 10 sentimeter.
“Unit-unit tersebut ditumpuk dan diberikan simulasi gelombang laut. Dari situ kami mendapatkan nilai stabilitasnya,” ujarnya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Proses pembuatan BPPT-lock
Setelah paten dikeluarkan, butuh waktu enam tahun agar pemasangan BPPT-lock dilakukan. Salah satu kendala yang dihadapi adalah keraguan dari pihak kontraktor menggunakan produk ini untuk yang pertama kalinya.
Padahal, Taufiq menilai pasar BPPT-lock di Indonesia amat besar. Sejumlah proyek pengembangan maupun pembangunan pelabuhan barang dan perikanan sedang marak di dalam negeri. Selain itu, kawasan pantai yang daratannya terkikis ombak juga tidak sedikit jumlahnya.
Untuk tahun 2020, setidaknya ada tiga kontraktor yang siap memasang BPPT-lock sebagai lapis lindung pemecah gelombang mereka. PT Rekadaya Elektrika akan kembali menggunakannya untuk proyek lanjutan PLTU Pacitan. Proyek ini akan menggunakan 1.500 BPPT-lock.
“Jika pada 2018 mereka mendapatkan royalti gratis, untuk proyek 2020 nanti kami sedang bicarakan mekanisme pembagian royaltinya,” ungkap Taufiq.
Selain itu, BPPT-lock juga akan dipasang di pemecah gelombang milik PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Tuban. Kerusakan yang terjadi pada pemecah gelombang mereka saat ini tidak hanya mengganggu aktivitas pelabuhan tapi juga mempercepat sendimentasi.
Rencananya ada BPPT-lock sebanyak 17.939 unit seberat 6 ton per unit dan 11.493 unit yang berukuran 3 ton per unit yang disiapkan. “Karena lokasi Tuban berada di utara Jawa dengan kondisi ombak yang relatif kecil, maka ukuran BPPT-lock yang disiapkan juga kecil,” ujar Taufiq.
Terakhir, BPPT-lock rencananya juga akan digunakan oleh Pertamina Balongan untuk lapis lindung pantai di kawasannya. Panjangnya lebih kurang tiga kilometer. Oleh sebab itu, disiapkan BPPT-lock sebanyak 48.720 unit.
Menurut Taufiq, pemasangan BPPT-lock di PLTU Pacitan tahun lalu mengundang kontraktor lain untuk tertarik menggunakannya. Mereka mendapatkan testimoni. Bagi Taufiq, berhasil mengomersilkan inovasi ini sudah merupakan pencapaian yang berharga.
Oleh FAJAR RAMADHAN
Editor: YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 23 Desember 2019