Pandemi Covid-19 membuat operasi industri jasa wisata selam di lapangan tutup total. Kondisi itu memicu maraknya penangkapan ikan tidak ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup para pelaku wisata bahari.
Pandemi Covid-19 yang membuat operasi industri jasa wisata selam di lapangan tutup total berbuntut pada berkurangnya kegiatan pemantauan di lapangan. Masyarakat setempat yang tertekan secara ekonomi diduga kembali memilih jalur penangkapan ikan tak ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengawasan oleh aparat kini menjadi satu-satunya harapan agar ekosistem laut tak kian rusak dan malah membawa kerugian pada jangka panjang. Apabila laut—terutama ekosistem pesisir—telanjur rusak bisa berdampak buruk bagi peluang bangkitnya wisata bahari di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, wisata bahari, terutama rekreasi penyelaman, merupakan unggulan bagi Indonesia yang berada di segitiga terumbu karang dunia. Apabila keunggulan ini hilang, nilai jual apa lagi yang dimiliki Indonesia bagi para penghobi wisata minat khusus seperti ini?
Ricky Soeraputra, Ketua Umum Perkumpulan Usaha Wisata Selam Indonesia (PUWSI), mengatakan, dari survei yang dilakukan terkait dampak pandemi bagi industri selam dan wisata bahari, 24 pelaku usaha melaporkan, berkurangnya turis menyebabkan pelaku penangkapan ikan ilegal kembali marak di perairan sekitar. Ini termasuk di dalam kawasan taman nasional ataupun kawasan konservasi perairan daerah.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO—Penyelam mengidentifikasi kondisi beserta kelimpahan karang dan ikan di sekitar Pulau Hatta di Banda Naira, Maluku Tengah, Selasa (5/11/2019). Kondisi karang di Pulau Hatta menjadi kontrol atau pembanding dari kondisi pada perairan di Taman Wisata Perairan Laut Banda Naira serta Kawasan Konservasi Perairan Ay dan Rhun. Kegiatan Coral Triangle Center ini juga menyurvei kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Gubernur Maluku sejak tahun 2016 mencadangkan Kawasan Konservasi Perairan Ay dan Rhun seluas total 47.968,74 hektar.
”Terjadi downturn environment (penurunan kondisi lingkungan), suara bom kembali terdengar di Raja Ampat,” kata Ricky dalam diskusi virtual, Jumat (8/5/2020), yang diselenggarakan Divers Clean Action serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penangkapan ikan dengan cara merusak yang malah meningkat di beberapa daerah pada masa pandemi ini disebabkan ketiadaan aktivitas rutin di lokasi-lokasi penyelaman. Industri penyelaman selama ini menjadi ”mata” dan ”telinga” bagi otoritas setempat untuk melaporkan kejadian-kejadian perusakan berupa bom ataupun perburuan binatang dilindungi hingga pembuangan sampah di laut.
Namun, sejak Covid-19 berlangsung, Ricky menyatakan, ”Semua kegiatan menyelam di laut stop. Tidak ada wisata LoB (live on board), snorkeling, atau apa pun.”
Dari survei dengan responden terbesar di Bali dan DKI Jakarta tersebut, sejumlah 66,2 persen industri selam berhenti total. Sisanya 33,8 persen itu masih berusaha melalui wisata jasa edukasi dan sertifikasi e-learning.
Kerugian mencapai Rp 75,8 miliar per bulan dengan 1.784 pekerja terdampak. Itu baru pekerja formal atau pegawai-pegawai pada dive resort, belum tenaga informal. Contohnya, ibu-ibu pembawa tabung tangki udara bagi penyelam di Tulamben, Bali.
Ia pun mengakui, mayoritas pekerja pariwisata yang saat ini tidak ada kegiatan kembali ke laut, termasuk menangkap ikan hias untuk diperjualbelikan. Sebagian pekerja dirumahkan karena perusahaan tak mampu lagi menanggung biaya operasional.
Pada masa paceklik dunia pariwisata selam saat ini, sebenarnya tebersit harapan para pelaku industrinya bahwa tekanan wisatawan yang berkurang pada ekosistem karang berdampak pada pemulihan karang. Harapan lebih lanjut, kondisi karang yang kian moncer dan rapat itu bisa menjadi daya tarik memanen wisatawan untuk mengantre menikmati terumbu karang di Indonesia.
Menanggapi hal ini, Muhammad Yusuf, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mengatakan, informasi PUWSI akan menjadi masukan terkait pengawasan perairan lokal. Ia menekankan, meski sedang berlangsung pandemi Covid-19, aparat keamanan di laut terus berpatroli dan beberapa kali mengamankan penangkapan ikan ilegal yang dilakukan kapal asing.
Contoh terkini adalah hasil operasi kapal pengawas KKP yang membekuk kapal asing ilegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716 pada 8 Mei 2020 lalu. Kapal bernama FBca Canther Jhon tersebut mengoperasikan alat penangkap ikan tuna handline dan diawaki oleh delapan orang berkewarganegaraan Filipina.
Selain ancaman bom ikan dan aktivitas penangkapan ilegal lainnya, peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muhammad Reza Cordova, pun menunjukkan, masa pandemi Covid-19 ini tak membuat ekosistem di laut bebas dari tekanan. Meski jumlah sampah ke laut relatif berkurang dibandingkan masa sebelum pandemi, ia bersama koleganya menemukan sampah baru jenis masker medis dan alat pelindung diri (APD/ pakaikan hazmat) di perairan Teluk Jakarta.
Survei LIPI juga menunjukkan, pandemi ini memunculkan perilaku baru berupa pesan antar makanan dan belanja daring yang kian meningkat. Yang disoroti adalah pengemasan makanan ataupun barang-barang belanjaan yang berlebihan dengan sejumlah lapisan plastik yang tak perlu.
Apabila pengelolaan sampah—termasuk pengurangan dan pengumpulan—di darat tak baik, kemasan-kemasan plastik ini bisa ”bocor” dan mengalir ke perairan, lalu berakhir di sungai. Ini karena 80 persen sampah di laut berasal dari pengelolaan sampah yang buruk di daratan.
Jadi, meski pandemi Covid-19 seolah membuat kegiatan manusia berhenti merusak dan mencemari alam, pada ekosistem laut, kondisinya tidak sebaik itu. Bom ikan dan sampah masih terus menghantui.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 26 Mei 2020