Menengok sejarah industri Indonesia, sejak merdeka sampai kini, didapati tidak sedikit kisah kegagalan. Beberapa megaproyek ada yang salah sejak survei. Ada juga proyek yang gagal karena ditipu oleh mereka yang mengaku ahli dari luar negeri. Ada yang gagal karena masalah sosial. Ada juga proyek yang sebenarnya salah survei, tetapi dipaksakan tetap beroperasi.
Proyek Asahan yang membangun pabrik peleburan aluminium, PLTA Siguragura dan PLTA Tangga di Sumatera Utara, dengan nilai investasi sekitar 4,5 miliar dollar AS merupakan megaproyek yang sukses. Proyek ini berdasarkan survei akurat dan pengoperasian tepat waktu. Proyek ini juga mendapat pengakuan dari dua perguruan tinggi asing.
”Tahun 1961, begitu menjadi pegawai Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam), saya mulai merintis proyek ini. Saya ditawari Menteri Perdatam Chairul Saleh untuk memilih satu di antara ratusan proyek yang ditawarkan pemerintah. Saya memilih Proyek Asahan,” kata mantan juru runding dan Ketua Tim Teknis Proyek Asahan Bisuk Siahaan saat menginjakkan kaki di Kuala Tanjung, Kabupaten Batubara, lokasi Proyek Asahan yang kini dikelola PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Di tempat itu Bisuk mengenang kembali upayanya mengegolkan Proyek Asahan hampir 50 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alumnus Jurusan Teknik Kimia ITB itu berkisah, ia meminati proyek yang direncanakan pemerintah melalui Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun ini di tengah sedikitnya tenaga ahli di Indonesia. Semasa kecil ia pernah mendengar cerita dari kakeknya tentang proyek itu saat Pemerintah Hindia Belanda ingin membangun pembangkit listrik, tak jauh dari rumah kakeknya di Balige, Kabupaten Tapanuli Utara (kini Kabupaten Toba Samosir).
”Karena cerita itu, ketika lulus ITB, saya langsung mendaftar sebagai PNS di Perdatam. Saat itu kami yang lulus perguruan tinggi seperti terpanggil menjadi PNS. Saat itu, saya merasa negara membutuhkan saya,” kenang Bisuk.
Hampir menyerah
Tahun itu juga ia diminta pergi ke Medan untuk mempersiapkan survei awal. Dengan modal satu mesin tik ia segera mempersiapkan data awal untuk menyambut tim survei dari Uni Soviet. Waktu itu, Uni Soviet berminat membiayai Proyek Asahan. Tetapi, proyek ini dihentikan karena pemerintah mengalihkan dana untuk program Ganyang Malaysia.
Meski survei terlaksana, akhirnya proyek ini dihentikan karena meletusnya peristiwa G30S. Sejak saat itu, Proyek Asahan hilang dari daftar proyek pemerintah.
Meski pemerintah menghapus proyek ini, Bisuk berprakarsa untuk mempromosikan proyek ini kepada investor asing. Dengan biaya pribadi, ia membuat kantor dan mempekerjakan karyawan. Tiga tahun ia berpromosi, tak ada yang berminat.
Kemudian ada calon investor yang berminat, salah satunya adalah Kaiser Aluminium dari Amerika Serikat. Sebuah tim survei didatangkan dari AS. Bisuk ikut dalam survei di Kuala Tanjung.
”Saya hampir menyerah karena medannya sangat sulit. Tetapi, salah satu anggota tim survei dari AS tetap yakin akan menemukan tempat yang bisa digunakan sebagai lokasi pabrik, juga pelabuhan,” tutur Bisuk.
Kaiser Aluminium meminta agar pemerintah menyediakan PLTA karena ada aturan pihak asing tak diperbolehkan mengelola listrik. Usulan ini tak disanggupi pemerintah sehingga Kaiser Aluminium mundur.
Bisuk lalu mencari dana ke Bank Dunia. Bank Dunia menyarankan agar proyek itu ditender secara internasional. Bank Dunia hanya mau memfasilitasi tender itu. Tetapi, sampai waktu penutupan pengajuan proposal, tak ada perusahaan yang mendaftar.
Uang pribadi
Proyek Asahan kembali hilang, tetapi Bisuk tidak menyerah. Ia kembali mencari investor. Salah satunya, Wakil Presiden Direktur Sumitomo Chemical H Sugano dari Jepang. Sumitomo pun berminat. Mereka berunding. Selain di Jakarta, Sumitomo meminta agar perundingan juga di Tokyo, harapannya Pemerintah Jepang bisa terlibat dalam pembiayaan.
”Saya pikir perundingan paling tiga kali, wah, ternyata sampai tiga tahun. Semua biaya dari uang pribadi dan keluarga saya. Kepalang basah, saat itu saya menyampaikan kepada Ketua Tim Teknis Penanaman Modal Asing BKPM Prof M Sadli bahwa keluarga siap menanggung biaya perundingan,” katanya.
Ketika soal anggaran terselesaikan, pemerintah menunjuk Ketua Tim Perunding Prof M Sadli. Setelah sejumlah penundaan akibat krisis minyak dan kesulitan keuangan Indonesia, Proyek Asahan menjadi proyek pemerintah dengan investasi dari Jepang dan Indonesia.
Sejak itu, Bisuk diminta menjadi Ketua Tim Teknis Proyek Asahan hingga proyek diresmikan Presiden Soeharto, dan dikelola PT Inalum, mulai 1983.
Penyelesaian proyek ini mengagetkan dunia internasional karena masih jarang industri besar di negara berkembang bisa diselesaikan tepat waktu. Apalagi, saat itu ada kasus industri baja di India yang gagal karena salah perencanaan.
Dua perguruan tinggi di AS, Center for International Studies Ohio University dan Pittsburg State University, mengadakan penelitian selama beberapa tahun tentang kesuksesan ini. Kedua perguruan tinggi itu memberikan penghargaan kepada Bisuk yang dinilai sukses.
”Kesuksesan proyek ini bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi karena kemampuan diplomasi dan yang terbesar adalah pendekatan sosial,” katanya. ”Kesalahan terbesar dalam proyek-proyek kita adalah tak adanya pendekatan sosial. Mungkin mereka merasa proyek akan berhasil hanya bermodal dekat dengan penguasa.”
Bisuk berharap sukses Proyek Asahan bisa dipelajari. Ia mengisi hari tuanya dengan menulis buku sejarah industri di Indonesia dan Proyek Asahan. Sejarah industri di Indonesia dicatat agar keberhasilan dan kegagalan menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya.
ANDREAS MARYOTO
Sumber: Kompas, Senin, 16 Agustus 2010 | 04:01 WIB
————-
Bisuk Siahaan Membangun Proyek Raksasa Asahan
Bisuk Siahaan dan proyek bendungan raksasa Asahan, bagaikan dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Betapa tidak, sejak awal riset, perundingan dengan pihak investor yang penuh lika liku, hambatan politis, keuangan, dan sebagainya, sampai akhirnya proyek itu dibangun dan kemudian diresmikan hingga dioperasikan, Bisuk terlibat.
Bisuk,putra kelahiran Balige yang merupakan alumni Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1955 menjadi pelaku dan saksi sejarah proyek besar, yang memberikan konstribusi cukup besar dan berdampak dampak positif bagi masyarakat Sumatra Utara dan umumnya Indonesia sebagai negara berkembang yang dipercaya investor.
Proyek Asahan kat Bisuk, merupakan bukti otentik mengenai potensi alam, sekaligus menunjukkan potensi kehalian anak bangsa dalam memuwujudkan mimpi menyejahterakan rakyat. “Proyek ini menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia mampu dan bisa membangun proyek besar terpadu, tegasnya
Sejak lulus ITB dan masuk sebagai pegawai Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Deperdatam). Dalam usia yang sangat muda, 26 tahun, Bisuk dipercaya menjadi Kepala Proyek Aluminium Asahan dengan tugas membangun Proyek Terpadu (integrated project) terdiri Pabrik Pengolahan Bauksit menjadi Alumina, Pabrik Peleburan (elektrolisa) Alumina menjadi batangan aluminium dan Pabrik Penggilingan Aluminium menjadi lembaran. Seluruh proyek itu memperoleh listrik dari Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Sigura-gura di Asahan.
Mimpi mewujudkan proyek besar itu sempat kandas. Gejolak politik akibat Pemberontakan 30 September 1965/PKI mengubah tatanan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi, Proyek Asahan pun kena dampak dan likuidasi karena pemrintah menghadapai kesulitan keuangan. Padahal, sebelumnya pihak Uni Soviet tertarik, bahkan sudah melakukan survei bersama Bisuk Siahaan.
Bersamaan meredanya geolak politik dan perubahan kepemimpinan negara, proyek Asahan dihidupkan lagi tahun 1968 dan Bisuk Siahaan diangkat menjadi Kepala Tim Tehnis Pembangunan Proyek Asahan.
Sejak itu, Bisuk memutar otak dan tak kenal lelah dan patah semangat untuk mewujudkan proyek Asahan, meski secara matematis, politis dan ekonomis, ketika itu, rasanya sulit membangun proyek besar dalam keadaan negara yang sulit.
Semangat pantang menyerah inilah yang kemudian ditulis Bisuk Siahaan dalam memornya berjudul “Proyek Asahan meantang Badai Demi Hari Depan”. Walaupun sudah memasuki usia 74 Tahun , sosok Bisuk Siahaan masih mengingat seluruh kejadian-kejadian yang dialaminya selama mengerjakan proyek Asahan, termasuk ketika Bisuk dan keluarganya akhirnya membiayai sendiri seluruh ongkos perundingan RI- Jepang selama tiga tahun, 1972-1975.Padahal perundingan itu dilakukan di Jakarta dan Jepang dengan jumlah delegasi yang lumayan banyak.
Tetapi, Semua biaya yang dikeluarkan Bisuk itu seakan tak ada arti mengingat jepang akhirnya setuju dan mebiayai proyek ini menjadi Proyek Persahabatan Indonesia-Jepang dan resmi ditandatangani 7 Juli 1975 dalam rangkaian kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang.Proyek ini akhirnya bisa rampung dalam kurun waktu 1978-1983.
Sementara PT Indonesai Asahan Alumnium (Inalum) yang dibangun dengan modal 411 miliar yen atau sekitar 4,2 miliar dollar AS dengan kurs saat ini, merupakan investasi asing terbesar ketika itu. Sesuai perjanjian, investor akan menyerahkan kepemilikan PT Inalum ke Pemintah Indonesia pada 2013, empat tahun lagi, diperkirakan Inodnesia akan mendapat devisa sekitar 750 juta dollar AS pertahun.
Bisuk mengharapkan, setelah kembali menjadi milik Pemerintah Indonesia, PT Inalum membawa dampak kemakmuran bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Atas jasa-jasa Bisuk mebangun Proyek Asahan ini, pemerintah pada Maret 2009 lalu mengabadikan nama Bisuk Siahaan sebagai nama jalan dengan nama “DR.Jalan Bsuk Siahaan” sepanjang 10 Km. Dalam upacara di persimpangan jalan antara Sidauruk dan jalan provinsi menjuju LTA Asahan.Bisuk, isteri dan keluarganya ikut hadir dalam peresmian nama jalan tersebut. Sebelumnya di tahun 1986, Bisuk menuliskan sejarah pembangunan proyek raksasa itu dalam buku “Kenangan Membangun Proyek Raksasa Asahan”, (aya)
Sumber: Berita Sore, Desember 9, 2009
—————
DR Ir Bisuk Siahaan Dikukuhkan Nama Jalan di Tobasa
Apresiasi dan penghargaan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir atas jasa-jasa serta pengabdian yang diberikan DR Ir Bisuk Siahaan ke Kabupaten Toba Samosir dengan pembangunan proyek raksasa pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sigura-gura (Inalum red), maka nama DR Ir Bisuk Siahaan dikukuhkan sebagai nama jalan satu ruas mulai Jalan Simpang Sirait Uruk Porsea sampai Pos Simangkuk (perbatasan kecamatan Parmaksian) dengan Kecamatan Pintu Pohan.
Peresmian dan penetapan nama Jalan DR Ir Bisuk Siahaan yang juga merupakan besan (Hula-hula red) dari DR Sutan Raja DL Sitorus Ketua Dewan Pendiri Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) ini, ditandai dengan penandatanganan prasasti serta pembukaan selubung oleh Bupati Toba Samosir Drs Monang Sitorus SH MBA, DR Ir Bisuk Siahaan serta disaksikan tokoh masyarakat, Kepala Desa, para Camat se-kabupaten Tobasa dan keluarga termasuk DR Sihar Sitorus (menantu red) Caleg PPRN DPR RI Dapil Sumut II nomor urut 1, Sabtu (28/2).
Penetapan dan peresmian nama Jalan DR Ir Bisuk Siahaan ini sesuai ususlan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat, para kepala desa, Badan Permusyawaratan Desa serta tokoh masyarakat dari beberapa desa yang ada di Kecamatan Porsea dan Parmaksian tahun 2008 lalu. Rekomendasi Camat Porsea dan Parmaksian yang disampaikan ke Pemerintah Kabupaten Toba Samosir dasar untuk menetapkan nama jalan tersebut, papar Bupati Toba Samosir Monang Sitorus.
Jasa besar dan pengabdiannya yang diberikan khususnya untuk Kecamatan Porsea,Parmaksian dan Pintu Pohan Meranti terutama dalam pendirian PLTA Sigura-gura sejak tahun 1970-an. Kehadiran PLTA ini,masyarakat di Sumut khususnya Toba Samosir dapat menikmati arus listrik sejak tahun delapan puluhan serta mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dengan kehadiran perusahaan yang menampung tenaga kerja yang besar khususnya masyarakat Batak, ungkap Monang Sitorus.
Sekedar mengenal Dr Ir Bisuk Siahaan putra Toba Samosir yang meneruskan proyek Asahan yang dikenal dengan “ Tugu Persahabatan” ini, dilahirkan di pinggir Danau Toba, 18 Nopember 1935, menyeslesaikan pendidikan Sarjana teknik kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB). Menapak karir di Departemen Perindustrian. Oleh Pemerintah RI pernah menugaskannya memperdalam ilmu bidang metalurgi ke Hongaria, Italia, Jerman Barat, Perancis dan Amerika Serikat.
Studi di beberapa pabrik peleburan aluminium di New Zealand, Jepang, Jamaika dan Kanada dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan yang akan dikembangkan membangun proyeks sejenis di Sumut. Tahun 1964 oleh Pemerintah RI diserahkan tugas untuk memimpin proyek aluminium di Asahan.
Dalam perjalanannya, banyak menghadapi berbagai tantangan, seiring terjadinya pergolakan di dalam negeri. Perubahan politik dan kelsulitan ekonomi akibat krisis minyak di Timur Tengah sempat mengancam proyek ini terhenti. Atas kepercayaan dirinya yang tinggi dan pantang mundur serta dapat meyakinkan Pemerintah Jepang untuk meneruskan proyek Asahan yang dikenal dengan “Tugu Persahabatan antara Indonesia -Jepang”. Tanggal 7 Juli 1975 ketika Perjanjian Induk proyek Asahan (Master Agreement for Asahan Hidroelectric and aluminium project) ditanda tangani, sambil berlinang air mata dan berkata di dalam hati, DR Ir Bisuk Siahaan, proyek raksasa dengan investasi sebesar US$ milyar, hari ini dinobatkan menjadi Tugu Persahabatan antara Indonesia-Jepang ,tanpa Pemerintah Indonesia mengeluarkan uang satu sen pun.
Di atas “pundak”nya dengan melibatkan 15000 karyawan bekerja siang dan malam, proyek Asahan yang pada saat itu merupakan pabrik terbesar di belahan Timur dunia yang jauh lebih besar dari pabrik yang ada di jepang ataupun Australia, diselesaikan dalam waktu 1735 hari.
Pernah juga sebagai Diplomat jadi Duta Besar RI di Wasington DC. Tahun 1983-1988 Asean Chamber of Commer sebagai ketua Asean Aluminium Club.Oleh United Nation Industrial Organization (UNIDO) mengangkat sebagai seorang aluminum expert Group. Komisaris utama Pabrik semen Baturaja, Komisasris Aneka Gas, komisaris semen Tonasa dan komisaris pupuk Sriwijaya.(T11/g)
Sumber: Harian SIB, Maret 1st, 2009
———————
Setahun setelah memperoleh ijazah Jurusan Kimia Teknik ITB, 1961, Bisuk diterima bekerja pada Departemen Perindustrian. Ketika itu ia ditanya mau ditempatkan di mana: Pabrik Baja Trikora (kini Krakatau Steel), Pabrik Pupuk Pusri, atau Proyek Asahan. Ia memilih yang terakhir.
Anak kedua dari lima bersaudara pensiunan jaksa tinggi itu dekat dengan kakeknya. Sang kakek, bekas demang di Asahan, suka bercerita tentang masa mudanya: kerap diajak menyertai petugas survei Belanda yang merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Asahan. ”Pokoknya, makmurlah kita kalau proyek ini terlaksana,” ujar Bisuk, menirukan kata-kata sang kakek.
Merantau ke Jawa sejak di bangku SD, begitu merampungkan SMA, ia mulanya mendaftar di FK UI. Takut ditugasi di kamar mayat, Bisuk lalu pindah ke FE UI. Tetapi, ini pun ditinggalkannya, karena rumahnya terlalu jauh dari kampus. Masuk Fakultas Psikologi, kuliah bubar sendiri karena tidak ada pengajar. Kemudian ia mendaftar di STO, Bandung, akhirnya menetap di ITB.
Pendidikan dan latihan tambahan di Hungaria dan Italia, di bidang metalurgi dan aluminium, seperti mendukung angan- angannya tentang Proyek Asahan. Menjadi Kepala Perwakilan Proyek Asahan di Medan, ia sempat bingung — bekerja tanpa dokumen, surat kuasa, uang, dan pengalaman, kecuali sebuah mesin ketik. Namun, harapannya mulai timbul ketika mendampingi pihak Uni Soviet, yang waktu itu akan menangani pembangunan proyek tersebut. Pecahnya G-30-S/PKI, 1965, menggagalkan rencana.
Kembali ke Jakarta, Bisuk membuka kantor dengan tiga staf — yang honorariumnya dibayar dengan sumbangan kiri kanan. Jadinya, ia hanya dapat membuat paper tentang situasi aluminiun dunia, yang ia kirimkan ke beberapa instansi pemerintah. ”Agar pemerintah tidak melupakan Proyek Asahan,” kata pria Batak yang pemalu dan rendah hati itu.
Juni 1984, ayah tiga anak itu melepaskan jabatannya selaku Wakil Ketua Otorita Pengembangan Proyek Asahan (OPPA) — setelah sekitar 20 tahun berupaya merealisasikan angan-angan masa kecilnya. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) telah berdiri untuk mengelola pabrik peleburan aluminium di Kualatanjung, dan dua PLTA, di Sigura-gura dan Tangga dirampungkan. Kembali ke Departemen Perindustrian, ia menjabat Kepala Pusat Pengolahan & Analisa Data.
Insinyur yang mampu menulis dan memotret itu berhasil merekam pengalaman dan pandangannya tentang Proyek Asahan, lewat bukunya yang terbit pada 1984, Sejarah Pembangunan Proyek Asahan.
Nama :
BISUK SIAHAAN
Lahir :
Balige, Sumatera Utara, 18 November 1935
Agama :
Protestan
Pendidikan :
-SD, Bogor (1949)
-SMP, Bogor (1952) SMA I, Jakarta (1955)
-ITB Jurusan Kimia Teknik, Bandung (1960)
-Pendidikan tambahan untuk Metalurgi dan Alumina Hungaria (1960)
-Job training di Italia (1963)
Karir :
-Komisaris Utama PT Semen Baturaja
-Wakil Ketua Asean Non-Ferrous Industries Federation
-Ketua Federasi Aluminium Indonesia
-Wakil Ketua Otorita Pengembangan Proyek Asahan (sampai 1984)
-Kepala Biro Data dan Analisa, Departemen Perindustrian (1984- sekarang)
Karya :
Sejarah Pembangunan Proyek Asahan, 1984
Alamat Rumah :
Jalan H. Nawi I/17, Cilandak, Jakarta Selatan Telp: 766632
Alamat Kantor :
Departemen Perindustrian Jalan Gatot Subroto, Kapling 52w53, Jakarta Telp: 512194