Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengembangkan produk pangan darurat yang diberi nama BiskuNeo. Selain tinggi energi, biskuit ini mengandung senyawa imunomodulator untuk membantu meningkatkan daya tahan tubuh.
Ketika bencana terjadi, sumber air bersih dan sarana sosial lain biasanya hancur sehingga korban akan kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya. Untuk itu, pangan darurat yang praktis dikonsumsi serta mengandung energi yang cukup sangat dibutuhkan.
KOMPAS/BPPT–BiskuNeo produksi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alternatif pangan darurat yang paling banyak diberikan kepada korban ketika terjadi bencana adalah mi instan. Padahal, pangan ini tidak praktis karena butuh air bersih dan kompor untuk mengolahnya. Sementara di hari pertama pascabencana terjadi, dapur umum belum tersedia.
Melihat kebutuhan pangan darurat bencana yang tinggi di Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pun mengembangkan produk pangan darurat yang diberi nama BiskuNeo. Pangan darurat ini dikemas secara praktis dalam bentuk biskuit dengan kandungan kalori yang tinggi.
“Satu bungkus BiskuNeo berisikan 10 keping biskuit lapis krim dengan berat total 100 gram. Setiap bungkus punya nilai energi sebesar 480 kalori atau setara dengan konsumsi satu bungkus nasi lengkap,” ujar Direktur Teknologi Agroindustri BPPT, Hardaning Pranamuda.
Selain tinggi energi, keunggulan lain dari produk ini adalah mengandung senyawa imunomodulator. Senyawa ini dapat membantu meningkatkan sistem imun atau daya tahan tubuh seseorang. Dengan begitu, para korban dan pengungsi diharapkan bisa terhindar dari serangan penyakit infeksi yang banyak terjadi ketika bencana terjadi, seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Biskuit dengan energi dan nutrisi tinggi ini sebagian besar menggunakan bahan baku lokal. Sekitar 80 persen bahan yang digunakan berasal dari bahan lokal, yakni dari tepung ubi kayu, ubi jalar, jagung, tempe, dan gula. Karena itu, BiskuNeo bisa diproduksi dalam jumlah yang besar dengan harga yang terjangkau sekitar Rp 8.000 per bungkus.
Adapun komposisi BiskuNeo ini antara lain, lemak nabati, pati singkong, tepung ubi jalar, tepung whey, tepung terigu, ekstrak tanaman, gula, dan sayuran kering. Dalam 100 gram atau satu bungkus biskuit ini terdiri dari 66,60 persen karbohidrat, sebesar 15,8 persen lemak, sebanyak 7,10 persen protein, dan 3,12 persen serat.
KOMPAS/BPPT–BiskuNeo
Pengkajian
BiskuNeo yang memiliki kepanjangan biskuit bernutrisi, energi tinggi, dan orisinil Indonesia ini sudah mulai dikaji sejak 2007. Masa pengkajian tersebut berlangsung selama dua tahun dengan kegiatan perekayasaan di laboratorium melalui beberapa formulasi pangan serta pengujian efikasi dan toksisitas.
Dari hasil perekayasaan tersebut, produk ini mendapat paten granted bernomor ID P0030043. Pada 2009, produk ini juga mendapatkan penghargaan 101 inovasi Indonesia dari Kementerian Riset dan Teknologi.
Pada 2010, BiskuNeo pun diujicobakan untuk diproduksi di industri melalui alih teknologi bekerja sama dengan PT Tiga Pilar Sejahtera.
Produk ini akhirnya mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan nomor MD 627111017335. Produk ini juga telah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Produksi massal pertama kali dilakukan pada 2011 atas permintaan Badan SAR Nasional. Saat itu, BiskuNeo diproduksi sebanyak 150 bungkus. Namun, produksi BiskuNeo sempat terhenti setelah itu sampai 2017 karena PT Tiga Pilar Sejahtera tidak bisa memproduksi biskuit di bawah 100.000 bungkus dalam sekali produksi. Sementara rata-rata permintaan paling banyak 500 bungkus dalam sekali produksi.
Meski begitu, perjalanan BiskuNeo tidak berhenti sampai di situ. Pada 2017, uji coba produksi kembali dilakukan melalui alih teknologi kepada PT Makindo Perdana. Setelah itu, BiskuNeo kembali didaftarkan izin edarnya ke BPOM dan mendapatkan nomor izin edar MD 235609023022 serta sertifikasi halal dari MUI.
Pemesanan pun terus berlanjut atas pemesanan dari Yayasan Baitul Mal Bank Rakyat Indonesia (YBM BRI). Pada 2018, BiskuNeo sudah diproduksi dengan total sekitar 54.000 bungkus. Pada 2019 meningkat menjadi sekitar 125.000 bungkus. “Tahun 2020 ini, BPPT sudah dapat kontrak lisensi atas pemesanan YBM BRI sebanyak 150.000 bungkus,” kata Hardaning.
KOMPAS/BPPT–BiskuNeo, Biskuit Praktis Tinggi Energi
Ia pun berharap agar produk ini bisa lebih dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Sejumlah pendekatan akan dilakukan kepada instansi pemerintah maupun swasta agar bisa mendukung pemanfaatan inovasi pangan darurat BiskuNeo ini.
“Kami harap seperti BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Basarnas, juga pihak swasta melalui program CSR (corporate social responsibility/tanggung jawab sosial) bisa menggunakan BiskuNeo sebagai upaya membantu memenuhi pangan darurat bagi korban dan pengungsi bencana,” tutur Hardaning.
Produk ini dinilai efektif membantu pemenuhan kalori korban bencana karena praktis dan tinggi energi. Ini terutama di hari pertama atau pun kedua pascabencana terjad ketika sarana dan prasarana darurat seperti dapur umum dan akses air bersih belum tersedia.
BiskuNeo ini telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan darurat bagi korban bencana, termasuk korban banjir di kawasan Jakarta dan sekitarnya awal Januari lalu. Kepala BPPT Hammam Riza menjelaskan, inovasi pangan ini bisa memenuhi kebutuhan pangan bagi pengungsi sekaligus jadi pengganti kebutuhan logistik, seperti mi instan dan nasi bungkus. Harapannya, pemanfaatan produk itu bisa diperluas sebagai solusi mengatasi krisis makanan yang biasa terjadi pada situasi darurat bencana.
Pengembangan
Produk BiskuNeo akan terus dikembangkan dalam kegiatan perekayasaan pangan darurat yang dilakukan BPPT. Produk ini kini masih tersedia dalam satu rasa, yakni rasa krim vanilla. Ke depan, varian rasa lain akan dikembangkan sehingga masyarakat bisa mendapatkan pilihan rasa yang lebih sesuai dengan masing-masing selera.
Produk ini sudah didesain untuk bisa dikonsumsi oleh masyarakat dari usia anak-anak hingga lanjut usia. Tidak disarankan dikonsumsi untuk bayi, terutama untuk bayi di bawah enam bulan yang masih mengonsumsi air susu ibu atau ASI eksklusif.
Pihak BPPT pun akan mengembangkan produk pangan darurat lain, khususnya bagi kelompok rentan seperti bayi, ibu hamil, ibu menyusui, dan lanjut usia. “BPPT konsisten menjalankan fungsi dan perannya untuk menghela pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya lokal untuk menghasilkan produk pangan yang jadi solusi atas masalah nasional,” ucap Hardaning.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor YOVITA ARIKA, EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 27 Januari 2020