CATATAN IPTEK
Kemajuan teknologi penyuntingan gen telah memberi sejumlah manfaat bagi umat manusia. Namun penerapannya, terutama pada embrio manusia, perlu diawasi oleh rambu-rambu bioetik.
Penyuntingan genetika merupakan salah satu puncak kemajuan sains modern. Didukung teknologi yang kian mangkus seperti gunting genetik CRISPR/Cas9, ilmuwan bisa mengutak-atik cetak biru penciptaan makhluk hidup, termasuk manusia.
Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini mengeluarkan rambu-rambu untuk mengawasi penyuntingan genom manusia di tingkat embrio. Kenapa saintis perlu mengikuti anjuran ini?
Teknik penyuntingan gen sebenarnya telah dimulai sejak 1990-an. Prosedur ini dinamai demikian karena melibatkan upaya menghapus segmen DNA tertentu dan memasukkan gen baru, baik ke sel germinal maupun sel somatik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam kasus sel germinal (sel telur dan sperma) dan sel prekursor, penyuntingan genetik ditransmisikan ke keturunannya. Sedangkan pada sel somatik, merujuk ke semua sel lain dalam tubuh di luar germinal, modifikasi tidak turun-temurun.
Gunting genetik CRISPR/Cas9 memungkinkan para ilmuwan memotong DNA secara lebih presisi, murah, dan memungkinkan dilakukan pada semua genom makhluk hidup. Teknologi ini sudah digunakan untuk menghasilkan tanaman dan ternak transgenik, selain berpotensi dalam terapi berbagai penyakit kelainan genetik, sehingga membuat dua penemunya, Emmanuelle Charpentier dan Jennifer A Doudna, meraih hadiah Nobel Kimia pada 2020.
Di bidang riset biomedis, penyuntingan gen juga memungkinkan pembuatan garis sel isogenik dan modifikasi hewan untuk digunakan dalam penelitian. Hewan yang dimodifikasi (dikenal sebagai “chimera”) memiliki karakteristik yang melekat pada tubuh manusia. Dengan demikian, para peneliti memiliki model kontrol eksperimental yang sangat penting bagi pengetahuan empiris.
Teknologi ini juga memberi iming-iming besar bagi perbaikan kualitas fisik manusia, karena secara teori, teknik penyuntingan memungkinkan manipulasi gen sehingga sifat kognitif dan fisik sesuai permintaan yang dapat diturunkan ke individu.
Namun, ada beberapa risiko, misalnya, dengan germline dan pengeditan genom manusia yang dapat diwariskan, hal ini bisa memodifikasi sifat keturunan yang berarti bisa memicu dampak secara permanen pula. Bahaya dari rekayasa pengeditan genom ini menjadi sorotan pada tahun 2018 ketika ilmuwan China, He Jiankui mengumumkan telah mengedit genom embrio bayi perempuan kembar. Dia berargumen, pengeditan genom dilakukan agar gen bayi kebal pada infeksi HIV.
Rekayasa genom ini dilakukan He dengan menonaktifkan gen CCR5, yang mengode protein dan memungkinkan HIV masuk sel. Namun, penonaktifan gen memicu mutasi bagian lain genom dengan dampak kesehatan tak terduga karena gen CCR5 ternyata berfungsi melawan infeksi lain, seperti virus West Nile. Penonaktifan ini membuat gadis kembar itu bisa menjadi rentan penyakit lain.
Pada akhirnya, He dihukum. Selain dipecat dari kampusnya, dia juga dipenjara tiga tahun dan denda 3 juta yuan atau sekitar Rp 6 miliar oleh otoritas China karena memakai dokumen etik palsu saat perekrutan responden dan menukar sampel darah.
Sebagai tanggapan atas kasus ini, WHO kemudian membentuk komite yang terdiri dari panel multi-disiplin global yang terdiri dari 18 ahli. Komite ini bertugas mengembangkan standar dan pedoman untuk pengeditan genom manusia.
Setelah hampir tiga tahun bekerja, pada 12 Juli 2021, panel ilmuwan ini menerbitkan rekomendasi tentang mekanisme tata kelola kelembagaan, nasional, dan global tentang pengeditan genom manusia. Rekomendasi ini mengatur tata kelola dan pengawasan pengeditan genom manusia di sembilan area terpisah meliputi kewajiban pendaftaran pengeditan genom manusia; penelitian internasional dan perjalanan medis; penelitian ilegal, tidak terdaftar, tidak etis atau tidak aman; hak milik intelektual; dan pendidikan, keterlibatan, dan pemberdayaan.
Sekalipun tidak secara tegas melarang, rekomendasi tersebut berupaya mendorong tiap negara membangun kapasitas guna memastikan bahwa pengeditan genom manusia dilakukan dengan aman, efektif, dan etis. WHO dan Direktur Jenderalnya diminta mengawasi secara ilmiah dan moral dalam setiap usulan riset terkait pengeditan genom manusia.
Kepala Ilmuwan WHO, Soumya Swaminathan, saat peluncuran rekomendasi ini mengatakan, “Saat penelitian global menggali lebih dalam genom manusia, kita harus meminimalkan risiko dan memanfaatkan cara agar sains dapat mendorong kesehatan yang lebih baik untuk semua orang, di mana pun.”
Teknologi penyuntingan genom memang telah terbukti menghasilkan beberapa perubahan yang tidak diinginkan pada gen. Namun, hal ini juga dapat menghasilkan berbagai hasil yang berbeda bahkan di antara sel-sel dalam embrio yang sama.
Eksperimen para peneliti dari Columbia University yang dipublikasikan di jurnal Cell pada Oktober 2020 menunjukkan, percobaan laboratorium yang bertujuan untuk memperbaiki DNA yang rusak pada embrio manusia yang membawa mutasi penyebab kebutaan, ternyata bisa menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan, seperti hilangnya sebagian besar kromosom.
Dalam artikel berjudul “Don’t Edit the Human Germline” yang diterbitkan jurnal Nature (2015), Direktur Eksekutif Sangamo BioSciences di California, Edward Lanphier dan rekan menyatakan, pengeditan sel somatik gen adalah alat terapi yang menjanjikan, tetapi pengeditan sel germinal menjadi berbahaya dan tidak dapat diterima secara etis. Menurut mereka, risikonya termasuk mutasi acak yang terjadi pada genom yang dimodifikasi, konsekuensi yang merusak bagi generasi mendatang, ekstrapolasi prosedur untuk tujuan non-terapi, dan dampak negatif pada persepsi sosial tentang pengeditan sel somatik.
Bagaimanapun teknologi rekayasa genetika telah berkembang dengan pesat dan berpeluang memberi banyak manfaat. Namun sebagai sains yang berpotensi guna ganda (dual use research), teknologi ini harus tetap harus diawasi oleh rambu-rambu bioetik, terutama jika sudah menabrak batas penyuntingan pada embrio manusia.
Oleh Ahmad Arif, wartawan Kompas
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 25 Agustus 2021